Kepahitan hidup selama ini telah kurasakan
Dan yang paling pahit adalah mengharapkan seseorang.-Ali bin Abu Thalib.
-Penantian-
Kita bisa saja menginginkan seseorang yang kita pikir itu baik untuk kita. Tetapi Allah lebih tahu kebutuhan kita, terkadang apa yang kita inginkan bukan yang terbaik untuk kita.
Ya, Sabrina telah menyadari itu. Dia tahu, dirinya telah mengharapkan cinta lain selain cinta Allah, sehingga Allah timpakan perihnya sebuah harapan kepadanya. Sungguh ia telah membuat Tuhannya merasa cemburu.
Bibirnya tiada henti mengucap kalimat istighfar. Hari ini, dirinya telah berada di kota kelahirannya, kota pahlawan yang ia rindukan. Seharusnya dia kembali dengan perasaan senang. Namun nyatanya, ekspektasinya berbalik.
Kedua matanya menatap kosong ke arah kaca mobil, melihat jalanan luar yang sangat cerah berlawanan dengan hatinya yang gundah.
Setetes demi setetes air mata meluruh, ia merasakan sesak nan nyeri di ulu hatinya. Entah ini yang dinamakan patah hati atau entah apa.Pikirnya kembali melayang mengingat sekarang orang yang dirinya harapkan sedang bersanding di pelaminan. Bukan bersama dirinya, melainkan bersama seorang perempuan lain yang lebih dari segalanya dibanding dirinya.
Tanpa sadar, kedua matanya menutup secara perlahan. Sejak kemarin malam, gadis malang ini tak bisa tidur, malam itu ia habiskan untuk berdua dengan Rabbnya. Puncak terindah baginya adalah ketika dia terdiam dan menangis di ruang sepi, dan hanya Allah yang tahu dengan semua keluh kesah hatinya. Allah memang sandaran terbaik untuk hamba-hambanya yang tengah terpuruk meski hamba-Nya terkadang hanya datang ketika hamba-Nya butuh saja.
Hingga tak menyadari, kini Sabrina tengah berada di alam mimpinya. Betapa terkejutnya dirinya ketika mendengar suara dari sosok berjubah putih yang memungkurinya. Kalimat itu membuat ia kembali merasa bersalah kepada Rabb-nya.
"Mengapa engkau sibuk mengejar cinta haram? Sementara Tuhanmu Allah sudah menuliskan sebuah kisah cinta yang halal untukmu."
Sabrina menatap bingung, kini dirinya tertunduk penuh malu. Kini ia berpikir, betapa bodohnya dia yang telah mengejar cinta seseorang yang mencintai orang lain.
Ia kembali terbangun, terbangun dalam keadaan pelipisnya yang dipenuhi dengan kucuran keringatnya. Tanpa sadar, tangannya pun tergerak untuk mengusap pelipisnya kemudian menyalakan AC mobil yang berada diatasnya.
Kini kepalanya terasa begitu berat, tengkuknya pun begitu. Rasanya ia ingin segera kembali pulang untuk mengistirahatkan tubuhnya dan merebahkannya di kasur kesayangannya sebelum memeluk Ibundanya yang sungguh sangat ia rindukan.
Rasa sedihnya tiba-tiba berganti menjadi senang, walau rasa sedih itu masih ada setidaknya telah berkurang ketika mobil yang ia tumpangi telah memasuki wilayah kompleknya.
Hanya memakan waktu beberapa menit, gadis itu telah sampai di pekarangan rumahnya. Ia pun turun dan membayar taksi yang ia tumpangi.
Kedua kakinya berjalan menuju depan rumahnya. Ia menatap sejenak rumah yang ia tinggalkan hampir satu tahun lebih itu, menatapnya dengan mendongakkan kepalanya.
Tarikan lengkungan sabit dari bibir Sabrina terlukis indah, membuat ia lupa dengan segala kesedihan yang menimpa dirinya. Sabrina berjalan terus hingga mencapai pintu depan rumah, lalu mengetuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian
Spiritual[REVISI] On Going Salahkah jika seseorang mempunyai keinginan rasa cinta yang bisa berbalas? Tentu semua ingin cintanya tidak sepihak. Namun apakah mungkin Sabrina bisa mendapatkan balasan cinta dari seorang Ustadz? Sedang takdir buruk nan tidak m...