🥀.01

120 13 10
                                    

-Penantian-

--¤♡¤--

Suasana malam yang sunyi, dengan balutan angin yang berhembus dengan kencangnya, menemani seorang insan yang sedang berdiri di balkon depan kamarnya.
Sabrina termenung lagi, entah sudah beberapa kali dia seperti ini.

Terdengar deritan pintu kamar Sabrina terbuka, namun gadis itu masih belum juga menyadarinya.
Bahkan suara Zhara mengucapkan salam pun dia tidak menyadarinya.
Zhara berjalan menghampiri Sabrina, menepuk punggung Shabrina pelan, hingga membuat Sabrina sedikit menggeliat.

"Kak?"

"Eh, iya sayang? Ada apa, malem-malem gini ke sini?" Tangan Sabrina terangkat membuai pipi Zhara yang sedikit tembam itu.

Zhara menatap lekat iris Sabrina. Tangan Zhara ikut terangkat untuk menyentuh tangan Sabrina yang berada di kedua pipinya kemudian menurunkan kedua tangan Sabrina dengan tatapan sendu. "Kak Brina habis nangis? Kenapa? Bahkan dari tadi Zhara panggil nggak sadar sama sekali?"

"Eum, ii ... itu, siapa yang nangis? Nggak kok, Kak Brina nggak papa," Sabrina mengelak dan menyeka bekas air mata di kedua matanya.

"Kok belum tidur jam segini, Hm?" Tanya Sabrina mengalihkan pembicaraan.

"Jawab dulu Kak, jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan." Ucap Zhara tak bisa dibohongi.

"Kan Kak Brina udah bilang, Kak Brina nggak papa, Kak Brina hanya rindu rumah." Ujar Sabrina sedikit berbohong. Gadis itu memang merindukan rumah, namun jika ia pulang, itu tidaklah mudah karena pertanggungjawaban dari Kakak Zhara alias Ustadz yang masih tidak jelas kepastiannya.

"Oh, emangnya Kak Brina nggak video call atau gimana gitu?"

"Nggak, Ra. Kak Brina takut ganggu mereka,"

Zhara menggenggan tangan Sabrina dan menariknya untuk masuk kamar. "Masuk aja Kak, gak enak di luar, anginnya terlalu kenceng ..."

Sabrina hanya pasrah mengikuti kemana gadis berusia enam belas tahunan itu menariknya.

...

Sorot sinar matahari dari ufuk timur mulai merangkak menembus jendela kaca kamar Sabrina. Gadis itu sedang muroja'ah tahfidz Al-quran nya.

Setelah merasa cukup, gadis itu melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil air minum.

Dan, di tengah perjalanannya..

Bug!

"Eh, Maaf." Iya, suara itu milik Zain

Sabrina hanya mengangguk pelan dan kemudian melanjutkan tujuannya. Benar saja, Pipinya sudah memanas, dan pasti sekarang sudah bersemu merah. Jangan sampai Zain mengetahuinya.

Meski gadis itu berada sekitar satu bulan di sana, namun tetap saja, ia masih malu-malu dengan Ustadz tersebut. Apalagi dengan kejadian hari pertama mereka bertemu. Ah, itu terlalu buruk. Sabrina tidak ingin mengingatnya.

"Mau kemana? Buru-buru gitu." Lagi, suara dari Ustadz berusia tak jauh dari Sabrina itu semakin membuat jantung Sabrina berdebar.

"Eum, itu mau ambil air." Jawab Sabrina jujur dengan menundukkan kepalanya. Ia begitu pandai untuk menjaga pandangan terhadap lawan jenis.

"Ohh." Jawab Zain singkat.

Jujur, kejadian satu bulan yang lalu itu masih membuat sikapnya dingin. Canggung singkatnya.

Gadis itu membalikkan tubuhnya. Dan dengan langkah tergesa, Sabrina pergi meninggalkan Ustadz itu. Dalam hati ia berucap jika ia masih saja tidak mampu untuk berada di dekat Ustadz itu.

PenantianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang