Part 8. Hukuman

12.3K 923 17
                                    

Atika menatap prihatin Haris yang sedang berlari keliling lapangan karena hukuman yang seharusnya untuknya.

Atika benar-benar tidak mengerti mengapa Haris rela melakukan itu hanya untuk murid baru seperti dirinya. Haris begitu baik, ia tak menyangka akan mendapatkan teman-teman yang begitu baik di sekolah barunya ini.

"Woy! Ngelamin lagi! Kesambit loh ntar!"

"Ipi-in sih kimi, Sil? Ngemengnye begete!"

Silvi tertawa keras. "Baik banget ya Haris sama kamu, Atika."

Atika mengangguk, "Aku juga nggak nyangka."

"Jangan-jangan dia suka lagi sama kamu," goda Silvi tak pernah bosan.

Atika menoyor pelan kepala gadis itu, "Aku bilang nggak usah kaya gitu. Aku nggak nyari pacar sampai kapanpun."

"Loh, kamu nggak mau pacaran sampai kapanpun Atika?" heran Silvi.

"Iya!" sahut Atika cepat.

"Kenapa?"

"Ya..." Atika nampak berpikir, "ya...karena aku maunya ta'aruf aja terus langsung nikah."

Silvi ternganga, "Kamu kayak santri aja, Atika."

Atika terkekeh, "Emang cuma santri doang yang kayak gitu?"

"Ya...biasanya kan?"

"Dalam islam seharusnya nggak ada pacaran, Silvi."

"Iya sih aku juga pernah denger begitu, tapi, kayaknya ngebayangin nikah sama orang yang belum kita kenal dengan baik rasanya gimanaaa gitu. Menurut pandangan kamu gimana sih? Coba aku pengen tahu."

Baru Atika akan menjawab, guru olahraga sudah memanggil semua murid untuk kumpul guna melakukan pemanasan.

"Kita sambung nanti, sobat." ujar Atika menepuk pundak Silvi.

Silvi tertawa pelan sebelum menggandeng Atika menuju arahan pak guru.

***

Pulang sekolah, Atika menunggu angkot yang lewat. Tiba-tiba motor seseorang menghampirinya.

Orang itu membuka helm fullface-nya. Ternyata Haris.

"Haris? Kamu mau minta celananya? Nanti biar aku cuci dulu." ujar Atika resah.

Haris tersenyum begitu menawan sampai Atika cukup terpesona. Begitu sadar, Atika langsung mengalihkan pandangannya.

"Kamu nunggu jemputan?" tanya Haris tidak peduli kalau Atika tidak menatapnya.

"I-iya, eh enggak, enggak, maksud aku, aku nunggu angkot. Ya, nunggu angkot." Atika menyengir.

"Yuk, bareng aja." ajak Haris.

"Ah, enggak, enggak, makasih." Atika tersenyum kaku.

"Udah... Nggak pa-pa. Sekalian aku mau tahu rumah kamu di mana."

Atika menunduk menyembunyikan perasaan resahnya. Ia tidak tahu bagaimana caranya menolak ajakan cowok itu, cowok yang sudah berbaik hati padanya.

"Aduh, Ris, gimana ya ... Aku nggak bisa dibonceng cowok kalau nggak mau dimarahin sama ibu aku." jawab Atika berbohong.

Namun sepertinya Haris cukup mengerti. Cowok itu tersenyum, "Yaudah, nggak pa-pa. Lain kali aja kalau kita sudah sama-sama dewasa." jawab Haris penuh arti. Lalu dia memakai kembali helmnya. "Aku duluan ya?"

Atika mengangguk sambil memaksakan senyumnya. "Hati-hati." ujarnya melambaikan tangan.

Haris mengangguk sebelum berlalu meninggalkan Atika.

Atika mengembuskan napas lega. Setidaknya aman... untuk hari ini, batinnya.

***

Atika melangkah gontai menuju rumah. Jarak rumah Ares dari jalan raya cukup jauh mengharuskan Atika berjalan kaki. Sebenarnya ia terbiasa berjalan kaki sewaktu ia tinggal di Semarang, namun di sana ia banyak temannya jadi berjalan kaki jauh pun tidak terasa. Berbeda dengan di sini yang selalu berjalan kaki sendiri, tidak ada teman ngobrol membuat ia merasa capek.

Atika membuka pintu gerbang, melangkah masuk dan memutuskan untuk duduk di kursi teras. Meluangkan waktunya sejenak guna menghilangkan rasa capek.

Bi Was tiba-tiba keluar, "Eh Non? Sudah pulang?"

Atika mengangguk, "Udah Bi. Atika aus banget Bi, bisa minta tolong ambilin air minum?" pinta Atika sedikit tidak enak.

"Tentu, Non. Jangan sungkan. Mau minum apa? Air putih, es teh manis atau jus?"

"Mmm...air putih aja, Bi. Maaf ya Bi Atika nyuruh-nyuruh gini," kembali Atika merasa tak enak.

"Jangan bicara begitu, Non. Ini sudah tugas Bibi. Tunggu ya... Bibi ambilin dulu," Bi Was kemudian masuk kembali ke dalam rumah.

Sepeninggalan Bi Was Atika terbengong. Ia memikirkan rumah Ares yang sempat membuatnya bingung. Pria itu sebenarnya membeli rumah ini kapan? Kenapa baru mencari ART setelah dirinya tinggal di sini? Seharusnya ART sudah ada jika pria itu menempati rumah ini, secara dia seorang diri mana mungkin mengurus rumah ini sendirian?

"Ini Non, minumnya."

Atika sedikit terkejut mendengar suara bi Was yang entah sejak kapan sudah berada di kursi seberang meja. Membuang ekspresi terkejutnya, Atika tersenyum.

"Makasih, Bi." ucapnya sembari meraih gelas yang berada di atas meja.

"Lagi ngelamunin apa, Non?"

Menoleh menatap bi Was, Atika tersenyum. "Nggak ada kok, Bi."

Bi Was mengangguk seraya tersenyum. Kemudian wanita itu memilih diam. Kini pikirannya berlayar memikirkan perihal apa yang ia dengar semalam. Ingin rasanya ia tahu alasan majikannya menikah di usia yang cukup muda bahkan masih sekolah. Dan rasanya mereka bukan menikah karena sesuatu yang sering orang-orang sebut kecelakaan. Majikan perempuannya nampak normal, tidak seperti wanita yang sedang mengandung.

"Bi? Bibi?" Atika berusaha menyadarkan bi Was yang justru gantian melamun.

Bi Was tersadar, ia tersenyum malu pada Atika. "Maaf, Non."

Atika sedikit mengangkat sudut bibirnya, "Bibi mikirin apa? Nggak betah?"

"Ah, Bibi betah kok, Non," sahut bi Was cepat. "Bibi cuma...penasaran sama hubungan Non sama Tuan. Maaf Non, Bibi tidak bermaksud ikut campur. Tapi Bibi sempat mendengar percakapan Non sama Tuan semalam. Maaf ya Non,"

Cukup terkejut, namun Atika berusaha tenang. Bagaimanapun bi Was akan tahu semuanya, cepat atau lambat. Atika lantas tersenyum, "Nggak apa-apa Bi, cepat atau lambat pasti Bibi bakalan tahu."

Atika tersenyum lagi, hendak melanjutkan ucapannya. "Aku...menikah karena aku hidup sebatang kara, Bi. Ibu meninggal, jadi Om Ares nikahin aku karena nggak tega ngeliat hidup aku yang bakal nggak keurus." terang Atika tidak begitu lengkap. Nyatanya yang tidak tega itu mamanya om Ares, bukan pria itu sendiri.

Bi Was nampak tersenyum sumringah, "Bibi nggak nyangka ada kisah pernikahan yang begitu menyentuh seperti ini. Bibi lega sekarang karena dugaan Bibi salah. Awalnya Bibi pikir kalian dua saudara yang memiliki hubungan khusus hingga kalian nekat seatap karena tidak ada restu dari keluarga. Duh, Bibi bener-bener ngaco deh, maaf ya Non?" sesalnya.

Atika terkekeh, "Mana mau Atika begitu, Bi. Mending idup jadi gelandangan daripada jadi gundik. Atika mau ya karena atas dasar dinikahi."

Bi Was kembali tersenyum, nampak lega. "Selamat atas pernikahan kalian." ucapnya tulus.

Atika tersenyum, miris. Banyak yang bi Was belum ketahui. Salah satunya kekurangan pria itu yang akan membuat pernikahan mereka tak kunjung mendapatkan keturunan. Haish, apa-apaan otaknya! Memikirkan terlalu jauh ke sana. Cukup bersyukur saja Atika...kamu tidak hidup luntang-lantung.

Atika menghela napasnya, menyugesti dirinya untuk terus bersyukur.

*****

Thanks,

Bukan Sugar Baby (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang