Part 5. Pasar Tradisional

12.7K 1.1K 10
                                    

Sepulang jogging, Atika dan Ares mendapati seorang wanita paruh baya duduk di teras rumah. Ares langsung menyapa wanita itu dan seketika ia tahu wanita itu bernama Wasri. Ares dan Atika memutuskan untuk memanggilnya Bi Was.

"Ayo masuk, Bi." titah Atika sopan. Bi Wasri mengangguk tersenyum.

Memasuki rumah, Atika dan Bi Wasri menuju dapur. Sementara Ares naik ke lantai atas menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

"Di sini Bi, kamar Bibi." Atika menunjukkan sebuah kamar yang terletak di dekat dapur.

"Terimakasih ya Non,"

"Ish, jangan panggil aku Non Bi," sanggah Atika pelan. "Aku juga dulunya anak pembantu loh!" ungkapnya miris. Bukan karena malu memiliki ibu yang bekerja sebagai pembantu namun posisinya di rumah ini sungguh tidak terduga.

Melihat gadis di depannya melamun, bi Was mengelus lengan Atika pelan. "Sudah seharusnya kami memanggil majikan kami dengan sebutan Non, Tuan, Nyonya, Tuan muda, dan sebagainya, Non." Bi Was tersenyum. "Jangan sungkan untuk memerintah Bibi."

Melihat sikap lembut Bi Was membuat Atika teringat akan ibunya. Apakah dulu ibunya juga seperti bi Was di awal-awal bekerja? Apa ibunya selalu mendapat perlakuan baik dari majikannya?

Ya Tuhan ... Atika rindu ibu.

"Non, Non tidak apa-apa?"

Perkataan Bi Was menyadarkannya. Ia mengerjap sesaat menyembunyikan air matanya. "Ah tidak apa-apa Bi." Atika lalu memaksakan senyumnya, "Bibi beres-beres pakaian Bibi dulu ya, habis itu Atika mau ajak Bibi belanja bahan makanan."

Begitu mendapat anggukan dari Bi Was, Atika pergi dari sana.

***

Duduk di sofa kamar, Atika mengembuskan napasnya berat. Tak lama kemudian ia melihat Ares yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk kecil yang melilit di pinggangnya.

Cukup ternganga, Atika segera menutup wajahnya dengan telapak tangan. Secepat kilat ia beranjak dari duduknya. Masih menghindari tatapannya pada pria itu, Atika berjalan tergesa-gesa hingga tak sengaja kakinya menabrak sebuah meja kecil di sisi sofa.

Atika meringis merutuki kebodohannya. Dengan rasa sakit yang masih tertinggal, Atika berusaha berdiri dan berjalan keluar kamar. Tidak mengetahui bahwa Ares sedari tadi tersenyum mengamati tingkah konyolnya.

***

Atika baru saja keluar dari kamar mandi. Masih berdiri di depan pintu, ia mendapati mata Ares yang menyorot padanya.

"Kenapa mandimu lama sekali sih?" tanya Ares dari atas tempat tidur.

Atika melanjutkan langkahnya tidak memedulikan pertanyaan Ares. Tidak penting juga, yekan?

Duduk di kursi meja rias, Atika bisa melihat kalau Ares masih menatapnya. Atika seketika bingung harus melakukan apa di depan cermin. Menyisir rambut, sudah tadi di kamar mandi. Memakai cream wajah...tidak mungkin ia mengangkat khimarnya ke atas untuk dapat memakai krim itu. Bisa-bisa pria tak normal itu melihat bagian tubuhnya yang terbuka nanti.

Menimbang-nimbang cukup lama, Atika akhirnya memutuskan untuk ke kamar mandi kembali.

Ia beranjak, dan perlahan melangkah. Berjalan penuh hati-hati karena ia bisa merasakan sorot mata pria itu yang masih mengikuti kemana ia melangkah. Baru setengah jalan, tiba-tiba Ares mendahuluinya dan berdiri di sisi pintu kamar mandi. Menyenderkan tubuhnya lalu Ares melipat tangan di dada, seperti biasa.

Tidak ingin merasa terintimidasi, Atika tetap melangkah maju namun Ares langsung menghalanginya. Melangkah ke samping kanan, Ares ke kiri, ia ke kiri Ares ke kanan, begitu terus sampai akhirnya Atika memutuskan untuk menyerah. Ia  berbalik mengurungkan niatnya ke kamar mandi sebelum merasa khimarnya ditarik dari belakang.

"Haish, apaan sih Om!" sewot Atika berbalik kembali manarik lepas khimarnya dari tangan Ares.

"Kalau ada orang nanya itu dijawab Atika...!"

"Tau ah! Lagian pertanyaan Om itu nggak penting. Kemaren-kemaren juga Om kaya gitu kan sama Atika? Terus salah kalau Atika niruin sifat Om?"

Ares seketika melongo. Merasa malu akan sifat bodohnya, Ares berlalu begitu saja melewati Atika. Sementara Atika di tempatnya langsung berjoget ria tersenyum kemenangan.

***

Sesuai janjinya yang akan mengajak bi Was pergi membeli bahan makanan, kini Atika sudah berada di salah satu pasar tradisional. Atika merasa begitu gembira karena dirinya membawa cukup banyak uang. Merasa bebas untuk membeli apa saja yang dia mau.

Jangan tanyakan dari mana ia mendapat uang itu. Dari mana lagi kalau bukan dari pria tidak normal itu. Atika tidak punya uang dan barang berharga. Ah, sebenarnya ada. Dan itu hanyalah perhiasan pemberian Ares dan rumah peninggalan ibunya. Entah akan diapakan rumah itu, ia belum mendiskusikannya dengan Ares.

"Bi, beli berasnya yang bagus kata Om Ares." beritahu Atika pada Bi Was.

"Berapa kilo, Non?"

"Hah? Berapa kilo?" Atika bingung sendiri karena Ares tidak memberitahunya soal itu. "Duh, Atika nggak tahu Bi, menurut Bibi berapa?"

"Ya sudah sepuluh kilo dulu saja, Non,"

Atika hanya mengangguk.

Memilah beraneka ragam sayuran, Atika mengamati Bi Was dengan baik. Bagaimanapun juga suatu saat nanti ia juga harus menjadi wanita yang baik, rajin memasak dan pandai menabung. Eh, kok nggak nyambung sih.

"Beli bayamnya seiket doang Bi?" tanya Atika heran.

Bi Was mengangguk, "Bayam belinya harus dadakan Non, kalau sudah didiamkan berhari-hari rasanya tidak enak."

Atika hanya ber-oh ria. Baiklah ia mulai mengerti sekarang.

Setelah membeli berbagai macam jenis kebutuhan, Atika keluar dari pasar dengan membawa dua kantong kresek besar di kedua tangannya. Bi Was juga tak kalah repot, dia membawa tiga kantong kresek besar.

"Fiuh... Capek Bi." keluh Atika di dekat parkiran. "Kita beli es dawet dulu yuk Bi?"

Belum sempat mendengar jawaban dari Bi Was Atika langsung ngacir pergi meninggalkan dua kantong kresek besarnya. Ia bergegas mendekati si penjual es dawet yang gerobaknya sudah ia amati sedari tadi. Ia membeli tiga porsi, satu porsinya ia sengaja belikan untuk Ares yang sedang berada di mobil, menunggui mereka belanja.

Kini Atika dan Bi Was sudah berada di mobil. Atika langsung menyerahkan satu porsi es dawet pada Ares. "Nih Om! Aku beliin buat Om. Baik banget kan aku?" ujarnya menyengir lebar.

Sementara Ares hanya menatap sekilas es itu sebelum mengemudikan mobilnya meninggalkan pasar.

*****

Thanks,

Jangan lupa vote ya kalau sukak😍

Bukan Sugar Baby (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang