Part 6. Dugaan Bi Wasri

11.4K 1K 32
                                    


Sore harinya, Bi Was membersihkan rumah. Saat hendak menyapu lantai atas, dia melihat kedua majikannya keluar masuk kamar yang sama.

Bi Was merasa terheran-heran, namun ia sadar itu bukan urusannya. Mengabaikan sebuah dugaan yang belum tentu benar, ia berjalan mendekati kamar yang di dalamnya terdapat dua orang berbeda jenis itu.

"Permisi, Tuan. Kamarnya mau Bibi bersihkan." ucap Bi Was di ambang pintu.

Ares mengangguk, "Iya, Bi." jawabnya lalu beralih menatap Atika. "Ayo Atika kita keluar dulu."

Sepeninggalan kedua majikannya itu, Bi Was menyempatkan diri mengamati isi kamar. Kamarnya biasa seperti kamar seorang pria namun dalam kamar terdapat dua lemari yang cukup besar. Ia juga melihat ada sebuah mukena yang tersampir pada castok.

Merasa cukup terkejut, Bi Was segera mengerjakan tugasnya untuk menyapu. Berkali-kali ia mengucap istighfar karena merasa sudah lancang akan privasi majikannya.

"Biarlah itu jadi urusan mereka." gumam Bi Was pelan. Meski dalam hati ia tetap tidak menyangka kalau dua majikannya itu yang awalnya dia pikir saudara justru memiliki hubungan khusus.

***

Bi Was selesai memasak makan malam. Ia menyiapkan beberapa jenis makanan di atas meja lalu memanggil kedua majikannya untuk makan.

Merasakan suatu hubungan yang tidak benar pada majikannya, Bi Was cukup banyak diam, tidak bisa menutupi rasa kecewanya. Bukan bermaksud untuk ikut campur, namun wanita itu hanya mengharapkan kebaikan dari keduanya. Tidak baik jika menjalankan hubungan tanpa restu keluarga hingga mereka seatap sebelum menikah.

Nampak kedua majikannya duduk di meja makan berseberangan. Bi Was mengamati gerak-gerik keduanya. Nampak acuh tak acuh tidak seperti seorang pria dan wanita yang saling jatuh cinta.

Diamati lebih dalam, mereka juga sepertinya memiliki usia yang cukup berbeda jauh. Apa benar mereka sepasang kekasih? Kalau bukan sepasang kekasih kenapa satu kamar?

"Om, jangan diambil semua dong tempenya! Kan Atika juga mau itu!" protes Atika kesal begitu melihat Ares mengambil semua sisa tempe yang berjumlah tiga potong.

"Masih ada ayam, Atika.. Itu protein juga kan?" jawab Ares santai sebelum melahap rakus potongan tempenya.

"Beda! Ayam itu protein hewani, Atika maunya tempe!" kukuhnya tidak mau mengalah.

"Bi, tempe mentahnya masih? Tolong kalau masih gorengkan lagi buat aku ya..." goda Ares sengaja, melihat Atika melotot Ares segera meralat ucapannya. "Eh maksudnya buat gadis bawel di depanku ini, Bi."

Bi Was tersenyum geli melihat pertengkaran kecil mereka. Hendak menjalankan perintah, ia urung karena majikan perempuannya justru mengatakan tidak perlu padanya.

"Sudah Bi besok lagi aja goreng nya." putus Atika lemas.

Melihat Atika yang nampak tak semangat, Ares mengitari meja makan untuk duduk tepat di sebelah Atika sambil membawa piringnya.

Ares mulai mengambil potongan tempenya lalu menyodorkannya ke mulut Atika dengan perlahan. "Maaf,"

Masih menunjukkan wajah sendu, Atika menatap tempe itu dan Ares bergantian. Ia bingung dengan sikap Ares yang kadang bisa sangat lembut namun juga bisa begitu menyebalkan.

Dengan perlahan ia membuka mulutnya. Ares segera menyuapkan tempe itu pada mulut Atika.

"Maaf, Atika kekanakan." cicit Atika menyesal.

"Aku yang kekanakan," sahut Ares sambil menyodorkan kembali tempe yang tersisa. Atika kembali melahapnya. "Sudah habis ya?" tunjuk Ares pada piringnya.

Atika mengangguk, "Makasih Om."

Ares mengembuskan napasnya berat, memikirkan suatu hal yang mengganjal dalam hatinya semenjak menikah dengan gadis itu.

Melihat Bi Was sudah tidak duduk di kursi dekat kitchen set, Ares berniat mengungkapkan keluhannya.

"Boleh aku mengatakan sesuatu, Atika?" katanya tiba-tiba. Atika hanya mengangguk sambil meneruskan makannya.

"Bisakah mulai sekarang kamu tidak memanggilku 'Om'?"

Atika langsung menatap Ares, "Om keberatan ya?"

"Jujur saja iya. Sejak awal panggilan itu mengganggu pendengaranku Atika, bagaimanapun kita sepasang suami-istri. Pantaskah kamu memanggilku Om?" terang Ares. "Lagi pula aku ini bukan Om kamu." gerutunya mengalihkan pandangan.

Mendengar gerutuan Ares, Atika justru merasa terhibur. Ia terkikik pelan. "Jadi Om pengennya aku panggil apa?" bisik Atika, takut Bi Was mendengar percakapan mereka. Tidak tahu kalau sebenarnya bi Was sudah mendengarnya dan dia cukup terkejut mengetahui fakta yang ada.

"Ya apa terserah, selayaknya panggilan seorang istri pada suami aja."

Atika nampak berpikir, merasa menemukan panggilan yang tepat Atika menjentikkan dua jarinya. "Papa, Om?" tanyanya antusias.

Ares ingin sekali menepuk keningnya mendengar usulan Atika. Ia benar-benar tidak mengerti jalan pikiran gadis itu. "Kita belum punya anak, Atika.. Mana bisa aku dipanggil papa."

Atika muram, sekaligus bingung dan enggan untuk berpikir kembali. "Terus apa dong Om?" geramnya sebal.

"Mas aja," usul Ares dengan wajah datar. Sebisa mungkin ia tidak menunjukkan muka mupengnya untuk dipanggil 'mas'. Bukan karena ingin romantis, tapi seperti yang sudah ia jelaskan pada Atika bahwa panggilan om dari gadis itu untuknya benar-benar mengganggu pendengarannya selama ini. Lagi pula tidak baik kan jika ia membiarkannya terlalu lama? Bisa-bisa lidah Atika jadi terbiasa.

Menoleh ke arah gadis itu kembali, Ares justru mendapati Atika yang juga tengah menatapnya.

"Mas, mas, mas," Atika membeo menuruti panggilan yang diusulkan oleh Ares, seolah mengetes suaranya. "Ehm! Mas, mas, mas..." ucapnya mulai melembut bahkan terdengar menggoda. Atika seketika menertawai suaranya sendiri. Tawanya menggelegar hingga Ares merasa terganggu.

"Apa yang salah Atika?"

"Aduh, duh, Om, perut Atika sakit." keluhnya memegangi perut. "Panggilan itu kayaknya lebih cocok dipakai sama wanita dewasa deh Om, lah Atika? Masih kecil gini.. nggak cocok deh, nanti aja ya kalau Atika sudah dewasa baru panggilnya 'mas'." ujarnya tersenyum geli.

Ares hanya diam. Ia merasa ucapan Atika ada benarnya. Gadis itu belum cocok memanggilnya 'mas'. Sekarang ia merasa jadi bego sendiri. Entah apa yang ia pikirkan di awal hingga ia meminta Atika memanggilnya 'mas'.

"Om! Kok bengong?" Atika menggoyang-goyangkan telapak tangannya di depan Ares, membuat pria itu tersadar akan lamunannya.

"Baiklah, terserah kamu saja mau memanggilku apa. Yang jelas tetap sopan." putus Ares pada akhirnya.

Atika mengangguk-angguk, "Jangan marah ya Om?" ujarnya sambil menyentuh lengan Ares, membuat pria itu menatapnya lurus. Seakan sadar, Atika langsung mengangkat tangannya dari lengan Ares dan meringis malu. "Maaf,"

Setelah mengucapkannya, Atika meneguk air minumnya yang tinggal setengah. Kemudian berdiri dan beranjak pergi dari sana dengan perlahan. Sengaja menghindari tatapan Ares yang membuatnya merasa tidak nyaman.

*****

Bukan Sugar Baby (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang