Part 11. Tentang Ayah

8.5K 845 40
                                    


Dalam perjalanan menuju sekolah, Atika berjoget-joget sambil bernyanyi pelan mengikuti alunan musik yang terdengar.

"Ternyata kamu enerjik juga ya orangnya," nilai Ares yang mengamati gadis itu sedari tadi.

Atika tersenyum malu, menghentikan aktivitas jogetnya. "Malu-malu-in ya Om?"

Ares menggeleng, "Tidak, asal pada tempatnya. Jangan di depan pria lain. Awas saja kalau itu sampai terjadi."

Atika melongo, "Om...ngancem Atika?"

Melirik sekilas gadis itu, Ares kembali fokus ke depan. "Bukan ngancem, tapi ini perintah dari atasan. Kamu harus menurutinya tanpa bantahan."

Atika menahan tawanya, "Siap, Komandan!" seru Atika sembari hormat.

Ares tersenyum geli. "Dasar!" cibirnya.

Tak lama keduanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Atika," suara Ares kembali terdengar, membuat gadis di sampingnya menoleh ke arahnya.

"Kenapa, Om?"

"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Ares tetap fokus ke depan.

"Boleh,"

"Ayah kamu..."

"Ayah Atika sudah nggak ada, Om." potong Atika sebelum Ares menyelesaikan kalimatnya.

Suara Atika terdengar tidak biasanya, Ares menatap gadis itu sesaat untuk memastikan kalau pendengarannya tidak salah. Wajah gadis itu nampak menegang.

"Atika..."

"Jangan sebut Ayah lagi Om, Atika nggak mau bahas tentang Ayah." suara Atika mulai pelan. Wajahnya sudah berubah sendu.

Merasa ada yang perlu Ares selesaikan, pria itu menepikan mobilnya.

Atika masih terdiam, bahkan sepertinya gadis itu tak menyadari bahwa Ares menghentikan mobilnya. Pandangan Atika sedikit kosong.

"Atika..." tegur Ares pelan.

"Ayah Atika pergi Om semenjak Atika masih kecil. Kesulitan ekonomi membuat dia pergi, lari dari tanggungjawabnya. Dan sampai sekarang, aku bahkan ibu yang udah tenang di sana nggak pernah lagi ketemu sama Ayah. Ayah nggak pernah kembali. Entah di mana keberadaannya, kami nggak tahu." terang Atika dengan pandangan kosong.

Ares menelan salivanya. Seperti ikut merasakan kepedihan yang Atika rasakan, ia mendekatkan diri untuk memeluk tubuh Atika. Ares mengusap pelan lengan atas gadis itu, mencoba menenangkan.

Menatap sejenak wajah Atika, Ares begitu terkejut saat dilihatnya sebuah cairan bening yang keluar dari sudut mata terpejam gadis itu. Perlahan Ares menghapus jejak air itu hingga mata Atika terbuka.

Tak ada yang menyangka jika akhirnya jarak mereka bisa sedekat ini. Atika terpaku menatap mata Ares, begitupun sebaliknya. Ares pun tak bisa segera menjauhkan tubuhnya dari Atika, ia menikmati kedekatan itu. Hingga tiba-tiba terdengar bunyi ponsel dari saku Ares. Keduanya berakhir saling menjauh dengan perasaan gugup.

"Ya, Hallo?"

"Ya, nanti aku atur."

"Iya, iya, kau tenang saja."

"Aku masih di jalan."

"Baiklah."

Panggilan terputus. Ares menatap sejenak Atika yang duduk mepet ke arah pintu sembari memandang ke luar jendela.

Ares mendesah pelan. Apa yang sudah ia lakukan? Bagaimana kalau gadis itu jadi merasa takut padanya?

Tidak ingin terus larut memikirkan hal yang baru saja terjadi, Ares segera melajukan mobilnya kembali menuju sekolah Atika.

***

Atika kini tengah menulis materi yang baru saja di sampaikan pak Guru dengan anteng. Tiba-tiba bolpoinnya diambil oleh seseorang. Atika melotot marah pada orang itu.

"Sultan! Balikin nggak?!" teriak Atika kesal. Kebetulan guru memang sedang keluar.

"Ambil kalau bisa." ujar Sultan jahil.

Atika mendengus, "Dasar! Kekanakkan!"

Setelah mengucapkannya, Atika justru mengambil bolpoin lain dari tasnya. Tidak menghiraukan Sultan yang kini tengah menatapnya dengan alis terangkat satu.

Atika menulis, Sultan di depannya sengaja memandanginya. Atika tidak peduli, semakin ia meladeni orang itu akan semakin membuat Sultan merasa senang. Biar saja ia cueki.

"Atika, kok kamu cantik sih," ujar Sultan menggombal.

Atika diam, terus fokus pada aktivitasnya.

"Kamu...keturunan peri ya? Bisa imut banget gitu,"

Brak!

Atika menggebrak meja dengan keras membuat semua mata memandang ke arahnya.

"Jangan ganggu kenapa sih?!! Pergi sana!!" sentak Atika.

Tanpa ada rasa takut, Sultan berdiri santai. "Nih, bolpoinnya."

Atika menatap bolpoin itu. Hendak mengambilnya, Sultan justru mempermainkannya dengan memindah-mindah posisi bolpoin itu agar Atika sulit meraihnya.

Atika sudah cukup kesal, hingga tiba-tiba tangan seseorang meraih bolpoin itu dengan mudah dan menyerahkan padanya.

"Terimakasih, Ris." ucap Atika pada Haris. Haris mengangguk.

Namun lain dengan Sultan, kini pria itu menatap sengit Haris seakan mengibarkan bendera permusuhan.

Berjalan santai melewati Haris, Sultan menenggor pundak laki-laki itu. "Sok pahlawan!"

Haris hanya menoleh santai pada Sultan sebelum kembali ke tempat duduknya.

***

"Assalamu'alaikum, Bibi..! Atika pulangggg!! Yuhuuu," Seru Atika memasuki rumah.

"Bi..? Bibi...?" panggil atika saat Bi Was tak kunjung menjawab salamnya.

Dari jaraknya, Atika bisa mencium aroma masakan yang begitu harum. Lantas ia mengendus-endus mengikuti arah asal aroma itu.

Dan akhirnya Atika berhenti di dapur, mendapati bi Was yang sibuk memasak.

"Waah... harum banget Bi? Masak apa-an sih?" tanya Atika buru-buru menghampiri bi Was.

Bi Was tersenyum, "Opor ayam, Non."

Atika bertepuk tangan pelan. "Yey!! Akhirnya setelah sekian lama nggak makan opor ayam, sekarang makan juga." soraknya begitu gembira.

Bi Was hanya geleng-geleng kepala sembari tersenyum.

"Atika bantu ya, Bi?" tawar Atika.

Bi Was mengangguk, "Boleh," jawabnya lalu berbalik menatap Atika. "Tapi Non ganti baju dulu, sama taruh tasnya."

Atika langsung mengangguk mantap sebelum ngacir pergi membawa tas dan buku-buku tebalnya.

Tak lama kemudian gadis itu kembali dengan pakaian andalannya. Sebuah gamis simple dengan khimar instan. Atika langsung mendekati bi Was. "Apa yang bisa Atika bantu, Bi?" tanyanya semangat.

"Iris bawang, Non bisa?"

"Yaampun, masa iris bawang aja nggak bisa sih Bi? Malu-maluin deh," sahut Atika sambil mencari keberadaan si bawang. "Mana Bi bawangnya?"

"Itu di rak, tolong dikupas dulu ya, Non." bi Was nyengir.

"Huuh, si Bibi." cibir Atika. Bi Was hanya cengengesan.

"Berapa Bi bawangnya?" Atika bertanya setelah selesai mengupas beberapa bawang.

"Kira-kira sepuluh butir aja dulu, Non, nanti gampang kurang."

"Baiklah.. It's easy....!"

"Hah? ngomong apa Non?"

Atika nyengir bodoh, "Enggak kok Bi, Atika juga cuman gaya-gaya-an aja," jawabnya lalu tertawa heboh.

*****

Ceritanya menghibur atau enggak sih?

Kasih masukan ya...? 😊

Bukan Sugar Baby (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang