That Statement

5.4K 623 51
                                    

Hujan rintik-rintik mengiringi berakhirnya upacara pemakaman Edward Smith.

Para pelayat telah berangsur-angsur membubarkan diri dan meninggalkan seorang pemuda yang masih setia bersimpuh di sisi makam. Matanya berair, menyiratkan kesedihan yang mendalam dan dia telah hampir kehabisan air mata saat ini. Sisa-sisa lelehannya kini tergantikan oleh air hujan yang semakin deras berjatuhan menimpa wajahnya yang bergaris lembut nan manis namun tercoreng oleh rasa kehilangan.

"Tuan Smith, Anda tahu, aku tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah sebelum bertemu dengan Anda." Dia terus mengoceh seolah-olah Edward Smith yang telah terbaring dalam peti matinya bisa mendengarnya dari dalam pusara itu.

Hujan turun semakin deras namun Levi Ackerman masih betah berada di sana. Tanpa peduli hawa dingin dan basah yang menyentuhnya. Dia masih ingin berbincang dengan sosok ayah yang selama ini menemaninya. Satu-satunya figur seorang ayah yang dikenalnya setelah ditinggalkan ibu dan pamannya di dunia yang penuh ingar-bingar ini.

"Kupikir kita bisa makan es krim bersama setelah kelulusanku nanti." Suaranya tercekat akibat menahan isak tangis. "Bukankah aku sudah mengijinkan untuk mengajak Erwin juga? T-tapi mengapa Anda justru p-pergi begitu saja? Katakan, Tuan Smith, mengapa?!"

Tanpa bisa ditahan lagi, tangis Levi kembali meledak. Kepergian sosok Edward Smith menjadi pukulan telak yang menghantam relung hatinya hingga hancur berkeping-keping. Dia tidak pernah mengenal siapa ayah kandungnya atau bahkan sekadar merasakan kasih sayangnya. Barang sepercik pun tidak.

Tetapi pria yang selalu dipanggilnya Tuan Smith itu akhirnya datang dan merengkuhnya, menghujaninya dengan segenap cinta seorang ayah terhadap anak. Mengisi kehampaan yang menggerogoti hatinya selama bertahun-tahun hingga bibir tipisnya tidak mampu lagi mengembangkan senyuman. Hanya Edward Smith-lah satu-satunya ayah yang diketahuinya.

Lantas sekarang apa lagi? Levi telah kehilangan satu-satunya sumber cahaya hidup yang tak pernah luput menerangi jalan hidupnya. Sejak pertama kali dia bertemu dengannya sebagai dosen dan mahasiswa, ikatan mereka telah menguat sampai pada taraf ayah dan anak. Membuatnya merasa berharga, dilindungi, dan dicintai.

"Aku bahkan belum memanggil Anda 'ayah' ..." lirihnya.

"Levi." Suara seseorang menegurnya di tengah deras rintikan hujan. "Ayo, kita pulang."

Di saat yang sama orang itu juga melindunginya dari hujan dengan sebuah payung hitam di tangan. Levi mendongak dan langsung bersitatap dengan Erwin Smith. Mata pria itu sangat biru dan indah, sekaligus dingin dan dalam layaknya samudra yang mampu menenggelamkan apa saja. Warna yang sama persis dengan yang kini telah terpejam rapat, kecuali nuansa dinginnya yang begitu pekat ketika menyorot.

Sesaat Levi merasa seperti terserap ke dalamnya. Dia hampir melupakan dunia di sekelilingnya ketika Erwin menatapnya begitu intens dengan ekspresi datar yang tak bisa ditebak. Entah apa yang tengah dipikirkan pria itu. Lalu dia berucap. "Pulang, sekarang."

Bagaikan perintah mutlak, Levi beranjak bangkit perlahan. Erwin mengulurkan tangan yang bebas dan disambut Levi dengan ragu-ragu. Alpha pirang itu pun terengah saat merasakan betapa dinginnya tangan omega yang menggigil akibat hawa dingin. Kemudian mereka berjalan turun menuju mobil Erwin yang terparkir di luar gerbang. Sopir keluarga Smith telah menunggu di balik kemudi, Erwin menuntun Levi untuk duduk di bangku belakang bersamanya. Tidak lama kemudian, mobil sedan itu melaju membelah jalan raya yang diguyur hujan.

Suasana hening, tak satu pun yang berniat membuka percakapan. Levi termenung sambil memeluk dirinya sendiri, sedangkan Erwin menatap hampa ke luar jendela. Mereka berdua tenggelam dalam lamunan masing-masing tanpa memperhatikan satu sama lain sampai akhirnya tiba di kediaman megah keluarga Smith.

Curtain FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang