That Snowdrop

2.3K 273 118
                                    

Cahaya matahari yang menembus tirai membuatnya terbangun. Levi menggeliat dan membuka mata. Pagi yang sejuk di bulan Desember dan whoah- apa ini? Erwin masih terlelap di belakangnya dengan satu lengan terjulur merengkuh pinggangnya. Levi melirik jam, satu jam sebelum waktu berangkat ke kantor. Tidak biasanya karena Erwin selalu bangun lebih awal. Erwin sangat disiplin dalam banyak hal.

"Erwin?" Levi menepuk-nepuk lengan yang melintang di perutnya. "Bangun, kau harus bekerja."

Tidak ada reaksi yang berarti, Levi memutuskan berbalik menghadap pria besar itu. Oh, sekarang dia pikir ini keputusan yang keliru. Levi melihat sebentuk wajah yang begitu jantan dan bergaris tegas dengan nuansa kanak-kanak. Erwin begitu tenang dalam tidurnya, tidak seperti ketika dia terbangun yang cenderung dingin dan sangat menyebalkan.

Mata birunya tersembunyi di balik kelopak yang mengatup rapat. Warna biru cemerlang yang kadang begitu hangat, kadang dingin. Satu waktu sangat menentramkan, di waktu lain mematikan. Ah, Levi rindu biru yang secerah langit musim semi itu. Dia meneliti setiap sudut wajah Erwin. Pria itu kini tampak lebih muda dari usianya yang melewati kepala tiga.

Levi ingin memandanginya sepanjang waktu, namun dia harus segera menandaskan biskuit graham dan segelas air yang selalu disiapkannya sebelum tidur. Cara ini rupanya cukup efektif mengatasi mual yang sangat menyebalkan itu. "Selamat pagi, Sayang," gumamnya sembari mengelus puncak perutnya yang terlihat lebih menonjol. "Kau semakin besar. Aku jadi terlihat gemuk."

Merasakan ada pergerakan di sisi lain ranjang, Levi menoleh dan mendapati Erwin terbangun lalu meregangkan lengan sebelum berpaling ke arahnya dan tersenyum lembut. "Selamat pagi, Levi."

Akhir-akhir ini Erwin bersikap lebih hangat dari sebelumnya. Hanya saja dia masih mengabaikan janin di kandungan Levi, seolah-olah janin itu tidak pernah ada sejak pertengkaran terakhir mereka. Ya ... setidaknya dia mencoba berpura-pura melupakan sebab Levi berkeras ingin melahirkan anak itu.

Ada perasaan aneh yang mendorong Levi untuk menghambur pada tubuh berotot keras itu. Keinginan untuk selalu dekat dan Levi tidak menampik kenyataan bahwa dia selalu merindukan Erwin setiap kali pria itu tidak bersamanya. "Selamat pagi," bisiknya dan Erwin memeluknya begitu hangat. "Kau harus bersiap ke kantor atau kau akan terlambat nanti."

"Sebentar lagi." Erwin memejamkan mata dan memberinya kecupan lembut di pipi yang tampak lebih berisi itu.

Levi menyandarkan kepalanya di dada Erwin, menikmati dekapannya, kecupannya, dan bunyi detak jantungnya. Irama yang berdentam itu bagaikan musik yang lembut sekaligus kuat dan menenangkan dirinya. Levi berharap momen ini berjalan lebih lama, namun dia tidak akan menahan Erwin dari kewajibannya. Maka, Levi menarik diri dan berkata, "ayo, bangun. Kau akan terlambat ke kantor."

Levi hendak turun dari ranjang ketika Erwin tiba-tiba menahan sikunya. "Natal kurang dari dua minggu lagi. Kau ingin ke suatu tempat atau sesuatu?"

Omega itu terdiam dan mulai berpikir. Agak aneh rasanya Erwin mendadak berbicara seperti itu. Namun perasaan hangat yang saat ini perlahan menjalari hatinya sungguh menyenangkan dan mungkin Levi ingin meminta sesuatu kali ini. "Aku hanya ingin di rumah dan merayakan natal denganmu," lirihnya dengan sepercik rona merah tersebar di pipinya. "Boleh, 'kan?"

~¤~

"Erwin, saljunya mulai turun!"

Alpha pirang itu baru saja selesai sarapan dan bersiap pergi ketika Levi berseru memanggilnya dari balkon yang menghadap ke halaman depan. Langkahnya kini berderap menuju Levi yang sedang menjulurkan tangan menampung butiran salju yang menari di udara menuju bumi. Titik-titik mungil berwarna putih bersih menempel di telapak tangan pucat dan halus.

Curtain FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang