That Jealousy

3.9K 498 128
                                    

Pernikahan mereka tak terasa sudah berjalan satu bulan.

Sejak tragedi Levi telanjang kala itu, ada yang berbeda dengan perlakuan Erwin terhadap Levi. Setidaknya dia sudah tidak lagi sedingin sebelumnya walaupun masih tak banyak bicara dengannya. Erwin pun membiarkan Levi yang mengurus segala hal kebutuhannya, termasuk juga membereskan ruang kerjanya yang seringkali berantakan atau sekadar membuatkan kopi di pagi hari.

Namun, tentu saja ada satu lagi pengecualian. Erwin belum pernah menyentuh Levi di ranjang sama sekali. Erwin Smith bukan seorang alpha penderita impoten, bahkan dia jelas-jelas terangsang melihat Levi tanpa pakaian yang menutup tubuhnya. Lantas mengapa Erwin masih menahan diri ketika Levi sudah memberinya lampu hijau?

"Aku telah memenuhi janjiku, Ayah, kau senang di sana?"

Embusan angin musim gugur menarik helaian rambutnya menari di udara. Erwin membungkuk dan menaruh seikat bunga lili putih di atas batu nisan yang terukir nama sang ayah, Edward Smith.

"Tetapi ... dia tidak sepantasnya menerima semua ini." Erwin melirih dengan suara yang bergetar. "Aku sudah sangat jahat membiarkan dirinya melayaniku tanpa mendapat haknya. Aku sangat buruk."

Mata birunya meredup tatkala otaknya menggali ingatan dalam satu bulan ini, satu per satu gambar Levi bermunculan bagai film yang diputar lambat. Tanpa ada keluhan apa pun, Levi tetap menerima perannya sebagai seorang istri dengan penuh rasa syukur. Tetapi, kadang-kadang Erwin pernah mendengar isak tangis yang ditahan-tahan dari balik pintu kamar mandi. Itu terjadi dalam beberapa malam terakhir ini dan Erwin sadar betul, Levi yang ada di balik pintu itu.

"Dia adalah istri yang luar biasa, akulah bajingan di sini yang sama sekali tak bisa membalas ketulusan hatinya dengan cinta yang dia dambakan."

Erwin terus menyalahkan dirinya sendiri hingga tak menyadari langkah kaki yang menuju arahnya. Seseorang berhenti tepat satu langkah di belakang tubuh perkasa berbalut setelan jas hitam itu.

"Jadi, itu alasan Levi bersedih akhir-akhir ini?" tanya sebuah suara.

Erwin sendiri merasa tidak asing mendengarnya dan menoleh. "Eren Jaeger ... sedang apa kau di sini?"

"Mengunjungi makam bibiku. Oh, kau tidak datang bersama Levi?"

Erwin tidak menjawabnya, hanya menggeleng sekilas. Eren seharusnya sudah tahu apa jawabannya.

"Bagaimana hubunganmu dengan Levi, apa kalian bahagia?" Kata-kata Eren jelas dimaksudkan menyindir Erwin.

Kening di bawah helaian berwarna pirang mengerut pada pemuda berambut coklat kayu yang lebih muda darinya itu.

"Levi selalu menutupi leher dengan scarf, tapi tak ada bau feromonmu di tubuhnya." Senyuman sinis terbit di bibir Eren. "Menurutku itu cukup membuktikan bahwa kau belum mengikatnya."

Amarah mulai bergejolak di dasar hatinya. Hawa penuh kemarahan menguar dan ditujukan pada adik rekan bisnisnya. Sementara Eren masih berdiri menatapnya dengan angkuh. Mata biru Erwin terkesan mengerikan, seakan ingin menghunus Eren saat itu juga. Keheningan pun menyebar cukup lama di sekeliling mereka.

"Itu bukan urusanmu, Eren!" Erwin menegaskan. Entah mengapa dia sangat benci ketika menyadari ada sesuatu di balik ekspresi pemuda itu.

Keinginan merebut sesuatu dari musuhnya.

"Apa pun yang berhubungan dengan Levi adalah urusanku juga, Tuan Smith."

Pandangan Erwin seketika menggelap dan menyorotkan ketidaksukaannya, dia benar-benar bingung sekaligus kesal mendengar Eren yang berbicara seolah Levi adalah miliknya.

Curtain FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang