That Attention

2.5K 307 36
                                    

Levi meletakan pena, selesai. Ujian akhir sudah berakhir dan senyumnya mengembang puas dengan sempurna begitu melewati ambang pintu yang memisahkan medan pertempuran akademis dengan udara segar nan sejuk khas musim gugur. Levi pun menarik napas dalam-dalam sembari memandang ke depan. Halaman kampus universitas diwarnai nuansa coklat kemerahan dengan sangat indah.

Ini hari Jumat dan semua mahasiswa seangkatan Levi akan merayakan malam ini dengan pesta di bar. Levi tidak pernah mabuk, kecuali malam itu untuk pertama kali dia merasakan manisnya wine mengalir turun di kerongkongannya, serta pusing yang membuatnya nyaris terjerembab ke lantai seandainya Erwin tidak dengan sigap mengulurkan lengannya. Levi pikir dia tak akan bisa bersahabat dengan alkohol sama sekali.

Levi memandang ke seberang lorong dan tanpa sengaja matanya menemukan Eren yang sedang berbincang dengan teman pirangnya, Armin. Pemuda itu berhenti berbicara lantas melirik ke arahnya. Tatapan matanya benar-benar menusuk dan dingin sampai tengkuk Levi terasa merinding melihatnya. Sejurus kemudian, Eren pun mengangkat salah satu sudut bibirnya dengan masam lalu bergegas pergi meninggalkan lorong bersama Armin.

Rasanya aneh dan teramat tidak menyenangkan mendapati Eren yang berubah seolah-olah berusaha menjauhinya. Padahal, Levi tidak pernah berharap akan menjadi seperti ini pada akhirnya. Levi ingin mereka bisa tetap berteman baik meskipun Levi akui, semua ini juga merupakan kesalahannya. Kini Levi berharap bukan hanya dirinya yang kembali melanjutkan hidup. Tetapi juga Eren.

Mencintai. Meninggalkan. Dibenci.

Levi tahu dahulu dia pernah sangat mencintai Eren. Mereka telah berbagi harapan akan masa depan dan rumah sederhana yang kelak mereka tinggali bersama. Membayangkan waktu minum teh di hari libur berdua dan menyaksikan para Jaeger kecil yang berlarian ke sana ke mari di taman kecil mereka. Impian itu begitu manis dahulu. Levi pun tersenyum kala mengenang betapa indahnya masa-masa yang tak akan pernah terwujud.

Tetapi sekarang semua telah berubah. Impian itu kini tinggalah mimpi hampa yang sudah tidak lagi bersisa rasa manisnya. Levi juga telah mengempaskan semua impian mereka ke jurang yang tak terlihat dasarnya, sehingga tangannya tak akan pernah bisa menjangkaunya kembali.

Itu pasti sangat menyakitkan bagimu, Eren.

Levi menyurukkan wajah ke telapak tangan. Sadar bahwa luka hati yang ditorehkannya pada Eren tak akan pulih semudah membalik telapak tangan. Levi merasa begitu jahat terhadapnya dengan membuang segenap cinta dan perasaan Eren yang telah dicurahkan untuknya. Dia akan hidup dalam kubangan rasa bersalah dan penyesalan karena pernah mencintai Eren hanya untuk melukai perasaannya.

"Maaf," lirihnya walaupun Eren tak akan mendengarnya saat ini. Dadanya menyesak.

Levi menggerakkan kakinya menyusuri koridor yang dipenuhi mahasiswa-mahasiswa yang gelisah menanti hasil ujian mereka. Meskipun tahu nilai mereka tak akan pernah jadi jaminan masa depan, tetap saja hari keluarnya hasil ujian cukup mendebarkan sampai jantung mereka ingin melompat keluar dari rongganya.

Koridor itu berisi dengan kasak-kusuk mengenai pesta. Para gadis tampaknya sibuk memikirkan pakaian apa yang akan dikenakan untuk pesta malam ini, sementara Levi mulai mencemaskan Erwin. Tidak mungkin dia pergi begitu saja tanpa ijin lagi, Erwin akan sangat marah nanti. Seandainya saja Conny dan Sasha tidak memaksanya pergi, Levi lebih memilih menghabiskan malam ini dengan membaca novel di rumah sambil minum teh.

Tetapi apakah Erwin akan mengijinkannya?

Levi hendak merogoh tas mencari ponsel ketika benda itu berdering. Tepat waktu sekali, panggilan dari Erwin. Akan tetapi, Levi merasa gentar menjawabnya, dia masih belum menemukan kalimat yang tepat untuk meminta ijin pergi ke bar nanti malam. Bagaimana jika dia salah bicara? Atau lebih buruk lagi kalau Erwin sampai menyinggung tentang Eren yang pasti juga akan datang ke pesta itu.

Menarik napas dalam sekali, Levi lalu mengangkatnya. "Erwin."

"Levi, kau ada waktu sekarang?"

"Ujianku sudah selesai." Levi tidak mengenali suaranya sendiri. Ada jeda singkat sebelum dia bertanya. "Ada apa?"

"Bisakah kita makan siang bersama? Aku sedang berada di dekat kampusmu." Suara Erwin jelas, lugas, tegas, dan berkuasa.

"Eh-" Levi berdeham pelan membersihkan suara. "Ya, di mana?"

"Aku akan menjemputmu sekarang."

Paru-parunya menarik napas terburu-buru setelah sambungan terputus. Ajakan sederhana itu terdengar seperti hadiah ulang tahun yang paling didambakan. Ini pertama kalinya Erwin mengajaknya makan siang bersama.

Pria pirang itu telah berdiri di luar gerbang ketika Levi tergesa-gesa menyeberangi halaman kampus dengan beberapa buku didekapnya. Setelan jasnya yang licin tampak mencolok, namun Levi bersyukur Erwin membawa mobil sedannya yang biasa. Punggungnya yang kokoh disandarkan pada pintu mobil dengan lengan terlipat di depan dada.

"Lama menunggu?" tanya Levi sambil mengatur napas setelah berlari kecil. Sekilas dia terlihat resah mendapati beberapa pasang mata yang melintas tertuju pada mereka atau lebih tepatnya, Erwin.

Alih-alih menjawabnya, mata Erwin justru tertuju pada buku-buku di dalam lengan Levi. "Kau kepayahan dengan semua itu, aku bisa menyusul ke dalam."

"Tidak!"

Ujung alis Erwin bertautan. "Mengapa tidak?"

"Aku ... t-tentu saja, a-aku tak ingin jadi pusat perhatian karenamu."

Jawaban Levi yang terbata-bata rupanya menggelitik hati Erwin. Rona merah tipis yang menyebar di seluruh kulit wajah dan telinganya semakin membuat Levi terlihat sangat menggemaskan di matanya. Wajah yang memerah itu ditundukan malu-malu, helaian lembut rambut legamnya jatuh menutupi kening, dan jemarinya mulai bergerak gelisah.

Seakan sadar sedang diamati, Levi pun mendongak hingga bersitatap dengan mata biru yang terpaku padanya. Ada gelenyar aneh yang membuat darahnya berdesir hangat saat jantung memompanya ke seluruh tubuh. Perasaan asing yang tidak pernah bisa dipahaminya perlahan-lahan menguak diri tatkala Erwin menatapnya begitu intens, mengabaikan dunia yang terus bergerak di sekeliling mereka.

"Ayo!" Tanpa diduga, Erwin mengulurkan satu tangannya sementara tangan yang lain meraih gagang pintu dan menariknya terbuka. Tak kunjung mendapat sambutan, dia pun berbalik menatap Levi. "Ada apa?"

Raut wajahnya berubah terkejut mendapati sepasang mata kelam itu berkaca-kaca. Bibir kecilnya bergetar seolah-olah hendak menangis detik itu juga. Terdorong naluri, Erwin pun menarik Levi ke dadanya sementara lengan-lengannya melingkari tubuh mungil itu.

Levi terkesiap. Merasa begitu nyaman di dalam pelukan Erwin yang begitu membuainya sampai melupakan dunia saat ini. Kehangatan sikap Erwin membuatnya begitu rapuh sehingga Levi merasa sangat bergantung padanya, seolah-olah dia akan meleleh dan hancur bila melepaskannya. Astaga, Erwin telah menjadi bagian solid dalam dirinya sekarang.

Siapa menyangka pria yang dahulu sangat kaku terhadapnya, bahkan mengabaikannya pada malam petama pernikahan mereka, kini menghujani dirinya dengan segenap perhatian yang menyenangkan. Mata birunya senantiasa menyorot lembut seiring waktu kebersamaan mereka. Atau sekadar perhatian kecil seperti meneleponnya saat sedang senggang di kantor. Bahkan, saat ini Erwin mengajaknya makan siang bersama. Levi sangat bersyukur dengan perubahan dalam pernikahannya.

Terpaan angin kencang menerbangkan dedaunan yang terenggut dari dahan-dahannya. Selama detik-detik dalam keheningan ditemani desah angin musim gugur itulah Levi bisa melupakan Eren barang sejenak. Menukar rasa bersalahnya dengan perasaan hangat yang melimpahi hati karena dekapan Erwin yang melindunginya. Hanya sesaat saja Levi merasa kenyamanan itu memenuhi jiwanya dan membanjiri pembuluh dengan hasrat ingin mencinta dan dicinta Erwin.

Astaga, perasaan macam apa ini, benarkah Levi telah menjatuhkan hatinya kepada Erwin terlepas bahwa dia adalah suaminya, tetapi sejak kapan?

"Kau akan kedinginan di sini, mari pergi."

***

Tell me if y'all enjoy this by drop onto comment below.

Note : Tebarkan bintang dan komentar setiap usai membaca!

Jepara, 9 April 2021
With love,

中原志季
Nakahara Shiki

Curtain FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang