That Warmness

3.2K 368 59
                                    

Levi mendengar bunyi kunci diputar sebelum merasakan punggungnya menghantam sofa empuk. Darah seolah mengalir deras ke otaknya memberi sensasi pusing yang tiba-tiba sementara sesuatu yang lain menindih pinggul dan lengannya. Levi terkunci di sofa dan buku di tangan kini merosot jatuh ke lantai linoleum.

Mata biru di atasnya menatap dengan kemarahan yang bergejolak seperti bunga api. Levi bertanya-tanya, apa ada yang salah dengan ucapannya sewaktu di mobil? Terkadang dia mengutuk sifat terus terangnya yang dengan tidak tahu diri muncul saat situasi tidak sedang baik. Sepertinya Dewi Keberuntungan sedang enggan berpihak padanya hari ini.

"Seperti itulah perasaanku melihat kau menemui Eren tanpa ijin," geraman Erwin terdengar seperti auman serigala yang marah ketika teritorinya diganggu.

Levi berbaring diam, lebih karena bingung memikirkan cara untuk menyingkirkan tekanan tangan Erwin di tubuhnya. Dengan massa otot yang sempurna, bobot Erwin terlalu berat untuk ditanggung tubuh kecilnya. Erwin membungkuk lebih dekat, otot-otot perutnya yang keras terasa dari balik setelan jasnya. Wajah Levi memanas dan merah, menyadari ujung bawah kemejanya tersingkap menampilkan seberkas kulit perutnya yang rata dan mulus.

"Maafkan aku!"

Bibir Erwin hanya berjarak setengah jengkal ketika Levi menyemburkan kata-kata itu akibat dorongan panik. Sejak dulu dia tidak bisa mehilangkan kebiasaan lamanya. Levi akan bicara dengan nada tinggi ketika sedang terpojok. Erwin pun menegakkan punggungnya, kecewa sekaligus geli melihat reaksi Levi.

"Kau sudah melanggar perintahku."

"Bukankah sudah kukatakan sebelumnya? Kami hanya bertemu untuk tugas kuliah!"

Levi menghela diri ke posisi duduk setelah Erwin mundur dan berjalan mendekati meja kerjanya. Tidak ada bedanya dengan meja kerja di rumah, penuh dengan tumpukan berkas dokumen dan laporan-laporan yang menunggu disentuh.

"Aku tidak suka kau melawan perintahku." Erwin menjumput sesuatu yang tergeletak di dekat laptop. Terlihat seperti secarik kartu undangan. Erwin membuka dan membacanya, sementara bibirnya terus bergerak mengeluarkan kata-kata. "Kau seharusnya tidak mengulangi lagi kesalahanmu."

Vonis yang dijatuhkan Erwin tidak bisa diterima Levi meskipun dia tidak menyanggah bahwa itu memang kesalahannya. Tetapi bukankah dia melawan juga karena Erwin yang sama sekali tidak mau mendengar alasannya?

"Erwin! Kau-" suara Levi tiba-tiba tersangkut di pangkal lidah. Sangat sulit untuk melontarkan sepatah kata lagi karena bola mata kelamnya memanas begitu saja. Levi tak ingin menangis. "Lupakan!"

"Levi ..."

"Kubilang lupakan!"

Erwin terdiam, ini adalah yang pertama kali Levi membentaknya. Biasanya dia penuh kelembutan dan tidak pernah menaikan suaranya. Erwin berpikir dia perlu memberinya waktu sendiri. Setelah itu, mungkin Levi akan kembali seperti biasa. Napasnya terembus pelan, Erwin duduk di balik meja kerjanya. Kartu undangan itu disimpan dalam laci. Erwin mencuri pandang ke arah Levi dan melihatnya sudah mengambil bukunya yang sempat terjatuh dan mulai membaca.

Levi menempatkan diri dengan nyaman di sofa biru itu. Gagasan Erwin sangat menggilai warna biru selalu mengusik pikirannya hingga dia mendecak kesal dan mengernyit. Namun di sisi lain, dia menganggap selera Erwin sama sekali tidak buruk dalam menyusun desain interior dan eksterior untuk rumah juga ruang kantornya. Levi pernah tanpa sengaja menemukan setumpuk lembaran desain di ruang kerja Erwin di rumah sewaktu membersihkannya.

Curtain FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang