Mimpi yang sama terus saja berdatangan, namun bukan berarti Levi jadi terbiasa. Dia mendesah. Entah sudah berapa malam mimpi itu menggentayangi tidurnya. Lama-lama dia bisa terserang insomnia, namun itu akan membahayakan kandungan. Sebisa mungkin Levi tidak ingin memusingkannya. Dia tidak tahu apa artinya mimpi itu, selalu saja tentang Eren dan si bocah lelaki yang menggemaskan itu.
Levi menyeka keringat di dahi dan mengatur napasnya yang memburu, tangannya meraba sisi lain. Tempat tidur di sebelahnya kosong. "Erwin?"
Pintu berayun terbuka. Pria pirang baru saja masuk dari luar, tampaknya Erwin sudah selesai olahraga pagi. Sekujur kulit tubuhnya basah oleh keringat. Ada sehelai handuk kecil menggantung di leher.
"Levi," sapa Erwin dengan senyum tipisnya. Langkahnya berderap ke sisi Levi lantas mencium sekilas bibirnya. "Selamat natal dan selamat ulang tahun. Kau ingin hadiah?"
Pipinya merah padam, Levi menyentuh rahang Erwin di atasnya dan mendesah. Sesaat saja dia bisa melupakan mimpi anehnya. "Kau sudah memberikan hadiahku semalam."
Erwin terkekeh. Mata biru yang cerah memancarkan keceriaan yang sangat jarang diperlihatkan. Ekspresi ceria yang kekanak-kanakan. "Itu kau yang meminta."
"Aku menyukainya." Levi mengakui, wajahnya semakin merona.
Telapak tangan Erwin kini menyentuh pipinya yang merah membara. "Bagaimana perasaanmu?"
"Apa?" tuntut Levi.
"Kau terlihat habis bermimpi buruk seperti semalam."
"Oh, aku ..." Levi merenung sejenak, apa Erwin perlu tahu mimpi itu?
"Kalau belum ingin bercerita lupakan saja." Erwin tersenyum masam, terlihat seolah kediaman Levi telah menyinggung perasaannya.
"Erwin ..."
"Hm?" Dia terdiam sejenak. "Aku tidak ingin merusak suasana natal sekaligus hari ulang tahunmu, Nifa sedang membuat makanan manis kesukaanmu, scone dan ... kulihat tadi juga ada parfait matcha."
Bola mata kelam itu berbinar seakan ribuan bintang ada di sana. "Dari mana kau tahu?"
"Kau sering membuatnya dengan Nifa dulu, kalau kau lupa."
"Ah ..." Tiba-tiba Levi teringat sesuatu, "Erwin, bisakah kita mengunjungi Ayah?"
Erwin mengulas senyumnya. "Tentu saja. Ini sudah lama sejak terakhir kali ke sana."
"Terima kasih."
"Levi, teman-temanku akan datang malam ini. Kau ingat Mike, Hanji, Zeke ..." ucapan Erwin menggantung di udara selama sedetik penuh. Tiba-tiba canggung karena nama Zeke juga terhubung dengan Jaeger yang lain.
Menyadari kecanggungan itu, Levi mengangkat sebelah alis dan tidak mempermasalahkan lebih jauh lagi. Kalau hanya Zeke, Levi baik-baik saja. Setidaknya Zeke tidak seperti adiknya, Zeke memang bukan Eren.
"Aku akan sangat senang jika mereka bergabung dengan kita," ujarnya.
Erwin menatapnya ragu-ragu dan menangkap tangan Levi yang masih menempel di rahangnya. "Baiklah."
Levi tertawa. "Kau seperti senar yang akan putus."
"Yeah, karena kau sangat sensitif sejak dia di sana." Pernyataannya merujuk pada janin itu. "Dia ... lupakan saja, aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu."
Erwin menegakkan badan lalu masuk ke kamar mandi. Kata-katanya tadi menunjukan satu perubahan bagus antara dia dan si janin. Masih ada setitik pertentangan yang ditabuh Erwin. Dia masih belum sepenuhnya menerina janin itu, tetapi belakangan Erwin bersikap lebih toleran dari sebelumnya. Levi beranjak duduk di tepi ranjang dan mengelus perut buncitnya sambil tersenyum bahagia karena perubahan sikap Erwin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Curtain Fall
Fanfiction[Fanfiction of Attack on Titan by Isayama Hajime, mainship : Erwin Smith x Levi Ackerman (EruRi)] Start : February, 20th 2021 End : April, 24th 2021 Edited : September, 27th - 29th 2021 Sejak dilahirkan, Levi Ackerman tak pernah mengenal siapa ayahn...