That Angry

3.1K 375 79
                                    

"E-erwin?"

Jika Levi merasa pernah tertimpa kesialan, maka itu adalah hari ini ketika tiba-tiba dia mendapati dirinya tengah bersitatap dengan alpha-nya dan terpergok sedang bersama alpha lain. Terlebih setelah dia bertekad melawan Erwin untuk tetap menemui Eren meskipun Erwin melarangnya. Dalam hati dia berdoa agar tidak ada hal buruk yang terjadi.

Napasnya tercekat di tenggorokan, paru-parunya seolah tidak mampu menyerap oksigen lagi ke dalam, dan Levi tidak bisa menemukan suaranya tatkala matanya tertahan pada iris sebiru langit Erwin yang menajam ke arahnya. Erwin hampir tidak pernah marah selama ini, namun melihatnya seperti sekarang ini rasanya sungguh menakutkan. Bahkan hanya dengan tatapan matanya saja seolah-olah sedang mencabik-cabik jaringan otot di tubuhnya dan membekukan seluruh persendiannya.

"Apa yang kaulakukan di sini, Levi?" geramnya tapi tetap bersalut ketenangan.

Lidahnya kelu dan bibirnya yang bergetar seketika menolak untuk berkompromi. Levi sadar seharusnya dia menjelaskan hal ini tapi otaknya tak bisa melahirkan jawaban yang tepat untuk disuguhkan pada Erwin. Levi benar-benar gugup, dia belum pernah dirundung kecemasan seperti yang melahapnya detik ini. "S-sudah kubilang aku harus-"

"Dan sudah kukatakan padamu aku melarangmu keluar hari ini, 'kan?"

Levi meneguk ludah kasar. Menggigil oleh feromon yang menyeramkan di sekitarnya. Nyalinya menciut hingga tak berani menatap Erwin yang masih menunduk marah padanya. Omega itu sangat ketakutan seperti anak kecil yang ketahuan mengompol. Kemarahan Erwin mengalir di setiap kata yang diucapkannya dalam nada datar. Dari sudut mata, Levi melihat Erwin yang mengambil duduk di sebelahnya seraya menghela napas pelan hampir tanpa suara. Oh, tidak! Levi tidak siap untuk menghadapi kemarahannya sekarang.

Akan tetapi, Erwin hanya diam di sana dan meletakan satu lengannya di pinggang Levi. Dia menikam Eren di seberang sana dengan pandangannya. Menyatakan secara tegas pada alpha Jaeger itu bahwa Levi adalah miliknya. "Kutunggu di sini sampai selesai," kata Erwin bernada mutlak, terdengar jelas dia juga berusaha agar melembutkan suaranya walaupun kehadiran Eren membuatnya ingin menjadikannya samsak tinju.

"Erwin ..."

"Cepat selesaikan, Levi, atau aku akan menyeretmu pergi sekarang."

Sekali lagi sebuah perintah yang tidak terbantahkan. Levi bungkam, tak ingin membuat Erwin semakin marah karena melawan perintah seperti sebelumnya.

"Setidaknya pesanlah sesuatu, Tuan Smith, kurasa Anda perlu bersantai sebentar," kata Eren menyarankan dan langsung mendapatkan tatapan dingin yang menusuk.

Levi bersyukur menghirup napas lega walaupun sedikit. Namun dia juga menyadari Erwin hanya menahan emosinya sesaat, mungkin karena dia hanya tidak ingin membuat keributan di ruang publik yang bisa merusak reputasi perusahaannya. Bagaimana pun juga, nama Erwin Smith telah dikenal banyak orang sebagai CEO perusahaan pengembang properti raksasa di benua Amerika, Hopeland Developer.

Sepanjang sisa pertemuan itu, Levi benar-benar gelisah sehingga merasa perlu berhati-hati saat berbicara dengan Eren. Tidak ada candaan dan suasana di meja mereka terasa persis seperti waktu ujian. Levi berusaha bersikap sesantai mungkin, sesekali melirik Erwin yang hanya terdiam menunggu di sampingnya. Kadang pria itu memainkan ponsel sebentar sekadar memeriksa pesan masuk.

"Ingin kupesankan kopi?" Levi menawarkan. Kecanggungan yang membatasi mereka benar-benar membuatnya tidak tenang.

"Tidak."

Dia bisa mati kebosanan, Levi bergumam dalam hati. Masih belum mengerti mengapa Erwin mau repot-repot menungguinya.

"Tuan Smith, tidakkah Anda harus kembali ke kantor? Jam makan siang sudah berakhir."

Curtain FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang