That Midnight

2.6K 282 75
                                    

Eren dan bocah yang serupa dengannya namun juga membawa beberapa bagian diri Levi.

Tak lama kemudian, Levi terbangun dalam keadaan syok. Mimpi itu begitu nyata ... sering menghampiri setiap tidurnya beberapa malam ini. Eren, bocah itu, padang bunga, dan sinar matahari senja yang sama berturut-turut. Apa arti mimpi aneh ini?

"Levi?" Erwin berbisik. Satu tangannya mengusap pipinya lembut. "Kau baik-baik saja?"

Terkesiap. Levi memandang ke luar jendela, hari masih gelap mungkin baru dini hari dan Levi merasakan betapa kering kerongkongannya. Dia bergerak bangun, meraih gelas air lalu menandaskan isinya. Setelah itu, barulah Levi menyadari ada air mata di pipi lantas menyekanya dengan jari-jemari.

Erwin menangkup wajahnya dan menarik perhatiannya. "Ada apa?" Mata biru langitnya sarat akan kekhawatiran yang kental.

"Itu hanya mimpi." Levi tak kuasa menahan perasaan sedih yang mencengkeram hatinya. Entah dari mana asalnya mimpi-mimpi itu, Levi takut akan menjadi nyata.

"Tidak apa-apa, semua beres."

Levi memeluk leher Erwin dan menumpahkan seluruh perasaan sedihnya di sana. Sampai kesedihan yang tidak logis itu mereda. Lantas dia menarik diri sejenak sebelum memajukan wajahnya untuk mencium bibir Erwin. Levi sangat membutuhkan pria itu demi memenuhi kebutuhan akut yang sangat menyakitkan. Kebutuhan agar Erwin tidak meninggalkannya.

Namun Erwin malah memberinya penolakan selembut mungkin dan mendorong bahu Levi menjauhinya. "Tidak." Erwin menatapnya dengan tatapan bingung sekaligus sedih.

Kedua lengannya terkulai lemah dan air mata yang aneh itu kembali mengalir dari sudut mata. Mungkin Levi sudah sinting, bibirnya bergerak samar menggumam permintaan maaf tanpa menatap mata biru yang tengah memandanginya.

Tiga detik berikutnya Erwin menariknya kembali ke dalam dekapannya, merapatkan tubuh kecil itu di dadanya. "Aku tidak ingin membuatmu marah kalau terjadi sesuatu pada anak itu."

Oh, sekarang apa? Erwin tak ingin melakukannya karena mencemaskan si janin? Itu sungguh menggelitik, Levi ingin tertawa namun dia hanya bisa mengulas senyum kecil dan mendengus geli. Kemudian dia mendongak lantas mengunci pandangan mereka di satu titik.

"Bukan masalah, asal kau melakukannya dengan lembut dan tak melukainya," kata Levi, "kumohon ..."

"Levi."

Erwin menginginkannya, tapi dia masih menahan diri agar tidak menyerang bibir yang terkuak di bawah wajahnya. Matanya berkilat lapar tanpa diinginkan, menyapu leher Levi yang berlekuk halus dan pucat. Dia membayangkan teksturnya. Kelembutan yang terbayang. Sepetak kulit di sana begitu hangat oleh gairah yang menggebu-gebu, Erwin telah merasakannya. Namun gairah heat sama sekali tak menyenangkannya.

Erwin ingin merasakannya tanpa demam yang turun tangan dan Levi sedang dalam gairahnya sendiri alih-alih heat. Penciumannya yang tajam mulai menelusuri gelombang harum nan manis dan lembut. Muaranya dari tengkuk Levi, titik kelenjar feromonnya berada. Sial! Gairahnya tersulut begitu saja akibat membayangkan seberkas kulit itu merona saat dikecup bibirnya.

Penderitaannya tidak cukup sampai di situ. Tatapan mata sayu yang dilayangkan Levi padanya semakin memperparah ereksinya. Rasanya sungguh menyakitkan dan Erwin sangat membutuhkan Levi untuk meredakannya. Demi Tuhan, mengapa Levi menyiksanya tengah malam begini? Tentunya dia harus menghadapi hukumannya sebelum fajar menyingsing nanti.

"Katakan kalau aku mungkin menyakitimu," bisiknya sebelum membaringkan Levi dengan hati-hati.

Tak ada jawaban bahkan sekadar anggukan. Levi diam dan mengikuti apa pun yang ingin dilakukan Erwin terhadapnya. Dia tahu tubuh mereka saling membutuhkan satu sama lain. Erwin tak suka dibantah, maka Levi tak akan membantahnya asalkan janinnya tetap baik-baik saja. Dan dia tahu walaupun entah sejak kapan, Erwin mulai memperhatikan si janin.

Curtain FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang