That Storm

3.4K 402 40
                                    

Dunia sangat terang dari luar kelopak matanya. Begitu hangat dan nyaman di ranjang ini. Levi membuka mata perlahan, menikmati suasana hening sekaligus terpaan sinar matahari yang menyapu wajahnya. Dia berbaring di atas seprai yang seharusnya lengket karena bekas percintaannya dengan Erwin semalam. Namun faktanya, ranjangnya justru terasa bersih, lembut, dan baunya khas deterjen beraroma lemon segar.

Levi berusaha menyerap seluruh kesadarannya yang masih terpencar di udara. Ingin memastikan bahwa yang semalam bukanlah mimpi belaka. Namun sekali lagi dia hanya mendapati ranjangnya bersih tak ternoda dan sisi yang ditempati Erwin kini terasa dingin karena ditinggalkan pemiliknya. Satu-satunya bukti yang tertinggal dari percintaan itu adalah sensasi nyeri di bawah tubuhnya dan kemeja biru kebesaran yang jelas bukan kepunyaannya. Levi mengerjap sambil meraba tubuhnya sendiri, kulitnya bersih dan merasa sejuk seperti baru tersentuh air.

"Oh, Tuhan," keluhnya sembari menyurukkan wajah di kedua telapak tangan.

Kenangan dari kejadian malam sebelumnya timbul perlahan dan samar-samar di dalam kepalanya yang masih didera pusing. Kucuran air hangat, sentuhan Erwin yang posesif, ciuman panas, dirinya yang menangis, serangan heat, lalu ... bercinta dengan Erwin. Levi menjerit kaget dalam hati. Masih begitu sulit untuk menerima kenyataan yang lebih mirip mimpi indah.

Levi melirik nakas di samping ranjang. Secangkir teh hitam dan sepiring roti isi tuna tersaji di atasnya. Apakah Nifa yang melakukan semua ini? Jika iya, mungkin Erwin yang menyuruhnya. Diam-diam Levi tersenyum membayangkannya. Meskipun Erwin selalu memberinya ekspresi dingin dan tak peduli, dia memikirkan semuanya. Ah, Erwin itu ... sikapnya kadang bisa sehangat sinar matahari tapi kadang sedingin es yang membekukan.

Levi beringsut duduk di pinggir ranjang. Teh hitam yang masih menguarkan uap hangat itu memang bisa diandalkan untuk melegakan tenggorokan yang serak. Roti isi tuna pun akhirnya menjalankan tugasnya membungkam perut yang kelaparan.

Ada bunyi deritan pintu yang dibuka. Jantungnya hampir melompat ke tenggorokan melihat siapa yang muncul. Erwin berjalan masuk tanpa menyapanya, hanya melirik sekilas dengan pandangan yang Levi bersumpah sempat menangkap sorot geli dalam mata biru itu. Apakah Erwin Smith baru saja menertawakan dirinya yang sangat canggung dan tidak terkoordinasi setelah mereka bergumul di ranjang dalam gejolak nafsu yang membara?

Demi Tuhan, ini sangat memalukan!

Melihat dari handuk kecil yang tergantung di lehernya, serta keringat yang membuat kaos abu-abunya melekat sempurna di badan hingga mencetak guratan otot-otot dada dan perutnya yang keras, tampaknya Erwin baru selesai berolahraga. Levi menyadari wajahnya yang memerah dan panas lantas mengintip ke arah pintu kamar mandi di mana Erwin menghilang. Dia melakukannya di saat yang salah karena mata Erwin biru cemerlang menjadi hal terakhir yang ditangkap mata kelamnya.

Pintu kayu itu menutup sempurna. Levi sadar mereka sempat beradu pandangan dan itu semakin menarik darah berkerumun di kedua pipinya. Teringat sebentar lagi waktu sarapan, Levi bergegas turun dan menapaki dinginnya lantai menuju lemari. Dia memilih celana pendek yang lebih nyaman untuk melengkapi kemeja besar Erwin di tubuhnya.

Levi mengamati sejenak pantulan dirinya di cermin meja rias, beberapa warna kemerahan yang mulai menggelap tidak bisa ditutupi. Juga dengan tanda gigitan yang paling menonjol di tengkuknya. Erwin telah menandainya, kesimpulan itu terbit begitu saja di dalam kepalanya. Meneriakkan kenyataan bahwa dirinya telah menjadi Mrs. Smith seutuhnya. Bisa jadi akan ada Smith kecil di rumah ini tak lama lagi.

Tidak buruk, lagi-lagi Levi tersenyum ketika berlarut dalam lamunannya. Membayangkan sosok bocah berambut pirang dengan mata sebiru langit yang cerah. Senyum ceria tersungging di bibirnya yang tipis dan gemar mengeluarkan celotehan cadel nan menggemaskan. Tanpa sadar, dia meraba perutnya yang masih rata. Desahan kecewa mengalir tatkala dia menyadari belum tentu ada janin yang tumbuh di rahimnya. "Mungkin suatu hari ..."

Levi melangkahkan kakinya meninggalkan kamar menuju dapur yang higienis dan modern, salah satu tempat kesukaannya di rumah ini selain perpustakaan dan taman di belakang bangunan rumah. Kini ada bahan-bahan untuk membuat pancake, sosis, dan beef bacon di meja. Karena terlatih sejak kecil, dia bisa menyiapkan sarapan tepat sebelum Erwin datang dan menarik kursinya di meja makan.

"Kau sangat bersemangat pagi ini." Erwin berkomentar ketika Levi mengambil tiga potong pancake di piring untuknya. "Menari sementara tanganmu memasak semua ini."

Menahan rasa malu karena telah diperhatikan. Levi membantah dalam gumaman pelan, "aku tidak menari."

Pagi ini terasa aneh, Erwin lebih banyak bicara bahkan tampak ceria dari biasanya. Meskipun Levi belum bisa menemukan alasan atas keanehan itu, dia sangat menyukai perubahan sikap Erwin yang amat menyenangkan pagi ini. Bahkan Nifa dan para pelayan pun tidak bisa menyembunyikan keheranan mereka tatkala kepala keluarga Smith yang baru itu tersenyum lembut kepada Levi.

Melalui pandangan yang penuh kekaguman, mereka sepakat bahwa kehadiran Levi adalah pelangi selepas hujan badai. Sehabis suasana muram karena kepergian Tuan dan Nyonya Smith terdahulu, akhirnya rumah itu tersentuh sepercik kebahagiaan lagi. Dalam hati, masing-masing mereka berdoa semoga kebahagiaan itu kelak dilengkapi oleh Smith kecil tidak lama lagi.

"Levi?"

"Erwin."

Kecanggungan kembali memisahkan mereka selama beberapa waktu. Kemudian Erwin berdeham pelan sebelum meneruskan ucapannya. "Apa kau masih nyeri?"

Levi hampir tersandung kaki meja, perhatiannya tiba-tiba terserap pada pertanyaan pribadi itu . Beruntung kopi di tangannya masih bertahan dalam cangkir putih sebelum Levi meletakannya dengan aman di sisi piring Erwin. "Kurasa tidak begitu parah," jawabnya lirih dan memerah. Lalu dia duduk dan mulai mengunyah pancake dan telur lambat-lambat sekaligus.

"Maaf, aku ... tidak bisa menahan diri."

Levi menangkap suara Erwin yang melirihkan pernyataan itu. Lagi dan lagi, dia merona memikirkan Erwin yang begitu mendesak di dalam tubuhnya. Dia menggeleng ringan lalu mengulas senyum lembutnya. "Lupakan saja. Kau berhak untuk itu."

"Itu akan menyulitkanmu melakukan apa pun."

"Aku baik-baik saja." Levi menurunkan garpu dan pisau makan lantas menatap Erwin lekat-lekat. "Sehamarusnya kau tahu aku tidak mungkin bisa menari dengan rasa nyeri."

"Sebaiknya jangan terlalu memaksakan diri."

Levi menyerah dengan menahan kejengkelan. Dia lebih memilih menandaskan sarapannya daripada berdebat dengan Erwin di pagi yang mulai mendung ini. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Hmm ... Erwin, aku akan bertemu Eren hari ini, kami harus berdiskusi untuk tugas presentasi minggu depan. Jadi-"

Kalimatnya tergantung ketika matanya menemukan rahang Erwin mengeras kesal. Levi mengernyit bingung dengan perubahan raut wajahnya yang tanpa sebab itu. "Erwin, apa aku mengatakan sesuatu yang salah?"

"Jangan menemuinya," Erwin menggeram.

Levi mendapati dirinya tersentak dan melongo mendengar jawaban Erwin. "T-tapi, itu untuk tugas kelompok. Aku akan menyelesaikan kuliahku dalam waktu dekat."

"Sudah kubilang tidak, maka tidak! Levi, jangan membantahku!"

Kenangan manis itu menguap dalam sekejap hanya karena bentakan Erwin yang melarangnya bertemu Eren. Padahal mereka hanya akan mendiskusikan tugas kuliah saja, tak ada hal lain. Lagipula, hubungannya dengan Eren sekarang ini sudah membaik dalam pertemanan. Apa masalah Erwin dengan kuliahnya dan mengapa dia begitu marah?

Levi ingin membantah lagi namun konfrontasi sama sekali bukan kesenangannya. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat dan dibungkam dengan potongan beef bacon untuk dilumat-lumat. Berusaha memaklumi emosi Erwin, mungkin saja dia hanya letih karena urusan di kantor. Namun tetap saja perasaannya terluka karena kata-kata yang dilontarkan Erwin.

"Setidaknya jangan menemui dia tanpaku, mengerti?"

***

Tell me if y'all enjoy this by drop onto comment below.

Note : Tebarkan bintang dan komentar setiap usai membaca!

Jepara, 15 Maret 2021
With love,

中原志季
Nakahara Shiki

Curtain FallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang