Levi merasa pucat dan tidak bisa tenang saat kembali ke rumah. Bayang-bayang lantai dansa seketika mengabur sehingga dia kesulitan membedakannya dengan mimpi indah yang terenggut saat terbangun. Akan tetapi, sentuhan di bibirnya sangat nyata, hangat, tekanannya begitu lembut. Tidak ada mimpi yang senyata itu.
Dia sedang menyisir rambut di depan cermin saat Erwin keluar dari kamar mandi dengan handuk katun yang melilit pinggulnya. Oh, ya Tuhan, apa dia berniat menyiksanya lagi? Hanya dengan menyuguhkan punggungnya yang menyerupai segitiga terbalik, bahu lebar berotot, dan pinggang yang ramping.
Ini tidak bagus!
Tangannya kini berada pada lilitan handuk dan bersiap membukanya. Merasakan radar bahaya yang akan memacu detak jantungnya, Levi memejamkan matanya rapat-rapat. Erwin berdiri tidak jauh di belakangnya, sehingga cermin itu bisa memantulkan pemandangan di sana dengan sempurna.
"Levi?"
Seketika Levi menyesal telah membuka matanya. Erwin masih di sana, sudah mengenakan celana piyama namun tidak dengan bajunya. Benda itu tetap menggantung di tangannya menunggu untuk membungkus badannya yang berlekuk menggiurkan. Astaga ... mengapa dia begitu ceroboh?
Erwin mengerutkan kening, mungkin menyadari kalau Levi benar-benar gugup melihat keadaannya saat ini, "kau sakit? Wajahmu merah."
Membuka mulut ingin menjawabnya namun Levi langsung mengatupkannya kembali demi harga dirinya, tak ingin Erwin tahu betapa kencang debaran dalam dadanya dan jauh dalam relung hati, Levi menyukai getaran-getaran yang menyengatnya ketika mata sedingin es itu menghunjam padanya.
Namun tiba-tiba dia teringat sesuatu yang terus mengusik pikirannya seusai dari pesta, seakan itu bisa memberinya mimpi buruk malam ini jika tidak segera diceritakan.
"Kau lelah, Levi, lekaslah tidur," perintahnya.
"Erwin." Levi berbisik menyergah. "Aku ingin menanyakan sesuatu."
Pria pirang itu menatapnya lekat-lekat dan menunggu dengan ketenangannya yang mengerikan. Levi segera menurunkan pandangannya ke lantai, tatapan Erwin membakar kata-kata yang telah disusunnya menjadi abu dan berserakan. Susah payah Levi mendorong suaranya agar merangkak naik dari tenggorokan.
"Ini tentang Marie."
Otaknya memunculkan bayangan Erwin yang menatap Marie dengan sorot kerinduan saat di pesta.
"Aku hanya ingin tahu, apa yang pernah terjadi pada kalian di masa lalu?"
Pertanyaan yang dilontarkannya dengan frustasi itu seketika membuat mereka berdua terdiam. Mata setenang lautan biru berubah muram. Sebenarnya Levi tak ingin menyulut pertengkaran dengan Erwin, namun pertanyaan itu terus-menerus mendesaknya sampai di ambang kewarasan.
Levi takut apabila Erwin masih menempatkan nama itu dalam ruang teristimewa di hatinya. Khawatir jika suatu saat Erwin berbalik pergi meninggalkannya. Levi tak ingin itu terjadi, namun yang paling krusial adalah dia ingin meyakinkan hatinya bahwa Erwin tidak hanya menganggapnya sebagai boneka pengganti. Mengingat beberapa kali pria itu menciumnya sementara mereka tidak pernah menyatakan sepatah pun kata cinta. Levi ingin tahu bagaimana perasaan Erwin terhadapnya.
"Aku tidak yakin kau benar-benar ingin mendengarnya," ujar Erwin setelah beberapa detik terbenam dalam pikirannya sendiri. Ketidaksukaan terdengar jelas dalam setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Tetapi Levi menahannya, mendongak dan menatap matanya sedalam mungkin. "Mengapa kau tak berterus terang saja? Aku ingin tahu."
"Ini sudah larut malam, kau perlu tidur." Erwin mencoba mengabaikan pertanyaannya dan lari dari topik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Curtain Fall
Fiksi Penggemar[Fanfiction of Attack on Titan by Isayama Hajime, mainship : Erwin Smith x Levi Ackerman (EruRi)] Start : February, 20th 2021 End : April, 24th 2021 Edited : September, 27th - 29th 2021 Sejak dilahirkan, Levi Ackerman tak pernah mengenal siapa ayahn...