52. Fall Of

9.3K 1.2K 73
                                    

Jarum jam sudah menundukkan angka 10 malam, tapi ruang rawat Lisa tak kunjung sepi dari beberapa perawat yang sejak tadi tak berhenti keluar-masuk dari sana.

"Apa masih terasa sesak?" Lisa mengangguk pada Jennie yang sejak tadi nampak tak pernah lelah mengusap punggungnya.

"Lisa~ya dari hasil biopsi yang ku lakukan beberapa hari lalu, kanker mu ini sudah bermetastasis ke beberapa bagian tubuh dan salah satunya paru-paru. Jadi ku sarankan mulai sekarang kurangi aktifitas yang membuat mu kelelahan dan mempengaruhi pernafasan mu."

Separah itu, kan? Tapi Lisa bahkan tak pernah menyadarinya. Mungkin karena ia terlalu sibuk menyelesaikan masalah seorang diri sampai tak terasa bahwa kanker ganas dalam dirinya itu bisa berkembang begitu cepat menggrogoti tubuhnya.

"Kita bisa mulai melakukan pengobatannya besok, kau siap?"

Lisa mendongak, mendapati kedua pasang mata Jongsuk yang menatapnya begitu lembut "Apa tak bisa malam ini? Aku tak suka terlalu lama merasakan sakit."

"Kita akan mulai besok, eoh? Malam ini kita akan menemani mu tidur." Ucap Jisoo dengan senyum manis di bibirnya.

Klek~

Pintu ruang rawat Lisa kembali terbuka kali ini sosok Minho masuk diiringi dengan Rosé yang melangkah dengan kepala menunduk.

"Chaeyoung eonni, selama atas kesuksesan album baru mu." Gadis bersurai blonde itu mendongak dengan mata yang sembab dan hidung yang merah.

"Mwoya ada apa dengan wajah mu—"

"Pabbo! Sudah ku bilang untuk mengatakannya pada Jennie eonni bahwa kau sakit, sekarang lihat? Dasar bodoh, Lalisa—"

Isak itu kembali ketika ia melihat setengah wajah adiknya yang tertutupi dengan masker oksigen.

"Ya, kenapa menangis? Kemarilah."

Melihat hal tersebut terjadi di hadapannya, Jongsuk mengerti ini waktunya ia pergi dan membiarkan mereka menikmati waktu kebersamaan yang tersisah.

Tubuh tingginya itu berbalik mendapati sosok Minho yang berdiri sambil menatapnya dingin. Pria yang dulu menjadi sahabatnya, sekaligus pria yang telah merusak wanita yang telah ia jaga dan cintai.

"Saya akan kembali lagi nanti, selamat malam."

"Eonni..."
Mata kucing Jennie kembali terbuka saat suara serak Lisa memanggilnya pelan.

Ia menegakkan tubuhnya yang sempat terlelap di kursi samping ranjang Lisa. Di dapatinya Jisoo dan Rosé yang telah terlelap di sofa, sedangkan kedua orang tuanya entah kemana "Kenapa belum tidur?"

"I can't sleep. Bisa temani aku berbicara sebentar?" Putri kedua Lee Minho itu mengangguk.

"Dulu, aku tak bisa tidur karena insomnia ku. Tapi sekarang aku takut jika aku tidur, apa esok hari aku masih bisa membuka mata?"

Suasana malam yang sepi dengan derasnya hujan di luar sana membuat rasa sesak itu semakin terasa "Sejak kapan kau menyembunyikannya dari ku Lisa?"

"Beberapa minggu sebelum kita berangkat ke Paris dan saat berada di sana kaki ku mulai mati rasa."

"Kenapa... kau tak mau memberitahukannya kepada ku?" Jennie mengulum bibirnya, berusaha menahan desakan di dalam sana.

"Saat itu kau marah pada ku, dan ku fikir kau mungkin tak akan perduli." Haruskah Jennie kembali menyesal telah melakukan semua itu terhadap Lisa? Tapi bahkan rasa sesal itu tak pernah hilang dari ingatan dan hatinya.

"Tapi eonni, terimakasih... karena kau kembali menjadi Jennie eonniku."

Jennie mengangguk pelan, ia tak tahu harus bereaksi seperti apa saat mendengar kalimat itu terucap dari Lisa "Tidurlah, sudah malam. Jika kau tak tidur cepat besok pasti rasanya akan sangat lelah."

"Eonni apa menjadi dokter melelahkan?"
Gadis bermata kucing itu mengangguk pelan.

"Ku fikir jika aku terlahir kembali, aku ingin menjadi seorang dokter. Sepertinya itu lebih baik dari pada menjadi seorang aktris dan idol."

Usapan lembut itu terasa membelai pucuk kepala Lisa "Semuanya sudah di tentukan. Awal dan akhir hidup setiap orang itu sudah di atur oleh tuhan."

Jennie mengernyit kala tiba-tiba saja mata Lisa terpejam. Fikiran negatif itu mulai berdatangan memenuhi kepalanya "Lisa..."

"Jadi tidak apa jika aku merasa lelah bukan?"
Ucap Lisa dengan suara serak tanpa membuka kedua matanya.

"Awalnya aku berusaha untuk melawan dan terlihat baik-baik saja, tapi eonni... kematian itu menakutkan."

Dari sudut matanya tetes demi tetes air mata itu perlahan jatuh membasahi bantal "Membayangkan apa yang akan terjadi setelah aku sudah tak bernafas dan meninggalkan kalian membuat ku begitu ketakutan."

"Rasanya jauh lebih menakutkan di bandingkan tinggal di dunia tanpa seorang pun menginginkan ku."

Jennie bergerak naik ke atas ranjang, memeluk tubuh kurus Lisa yang bergetar karena menahan tangis. Selama ini ia takut akan kehilangan sosok Lisa, tapi ternyata adiknya itu jauh merakan takut akan kematian.

"Karena tak ada seorang pun di dunia ini yang siap untuk mati, begitu juga aku."

****

Siang ini Lisa baru saja menyelesaikan beberapa tes dan kemoterapinya. Ia merasa jika semua tenaganya itu hilang entah kemana "Kau ingin sesuatu?"

Bungsu Lee itu menggeleng pada sosok Jisoo yang menghampirinya "Jennie akan datang setelah pekerjaannya, selesai tunggu saja."

"Dimana Rosé eonni? Aku terakhir melihatnya tadi malam."

Sulung Lee itu tak menjawab, ia hanya menatap Lisa dengan tangan menopang kepalanya di atas kasur "Apa ada yang salah dengan wajah ku?"

"Ani, aku hanya terheran. Kenapa wajah mu masih terlihat cantik bahkan saat kau kelelahan?"

Inilah Jisoo. Kakak sulungnya yang senang sekali menggombal dan membuat suasana hatinya membaik "Aku juga terheran, kenapa wajah mu begitu cantik tapi tak seorang pun mengencani mu."

"Ya! Jangan memancing ku—"

"Mwo! Kau ingin apa dengan adik ku?" Keduanya menoleh pada Jennie yang melangkah mendekat.

"Ini tidak adil, mana bisa dua lawan satu? Akan ku suruh Rosé untuk segera datang, lihat saja nanti."

Putri sulung Lee Minho itu berlalu dengan ponsel di telinganya. Meninggalkan Lisa dan Jennie yang terkekeh setelah menatap tingkahnya yang jauh dari kata dewasa.

Setelah merasa cukup jauh dari kamar rawat Lisa. Gadis bersurai hitam itu memilih terdiam di salah satu kursi di koridor yang sepi.

Beberapa saat yang lalu ia mungkin bisa membuat kedua adiknya itu tertawa, tapi ingatannya akan percakapan yang tak sengaja ia dengar tadi membuatnya begitu sesak berada di sekita Lisa.

"Minho~ya jika pun kau melakukan jutaan operasi pada putri mu tidak menjamin kesembuhannya. Dia hanya semakin tersiksa dan—"

"Aku tidak mau kehilangannya!" Suara ayahnya itu terus menghantui fikirannya sejak beberapa jam yang lalu.

Ia bahkan membatalkan semua jadwalnya hari ini, hanya untuk melihat dan menemani adik bungsunya itu. Tapi setiap kali melihat Lisa yang tersenyum membuatnya begitu ketakutan.

Bagaimana jika beberapa saat nanti ia tak bisa melihat senyum itu lagi? Bagaimana jika siang nanti ia tak bisa lagi mengajak adiknya itu berbicara?

Jisoo takut dan lebih buruknya lagi ia tak bisa melakukan apapun "Jangan pergi Lisa. Kau datang bukan untuk singgah, bukan?"

Like A Butterfly
Jakarta, 2 Februari 2021

Note :

Makasih buat 2k nya.
Dan buat yang nanya punya sosmed gak, ada Instagram namanya : rubymatchaa.

Like A Butterfly ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang