44. Fear Of Losing

10.2K 1.3K 165
                                    

Pintu kaca di hadapannya itu terbuka lebar membuat Rosé terkesiap dari duduknya.
"Do-dokter bagaimana adik ku?"

"Hasil CT scannya memperlihatkan bahwa terjadi pendarahan di otak. Walau terbilang cukup banyak, tapi lukanya dapat mengering dengan sendiri, jangan khawatir."

Mata hitamnya melirik pada Lisa yang terbaring di atas brangkar dengan beberapa perawat mendorongnya "Kami akan terus memantaunya sampai ia sadar. Jadi kau tenang saja."

Gadis bersurai blonde itu mengangguk lalu bergerak mengikuti brangkar yang membawa Lisa menuju lantai 12.

****

"Kau sudah merasa lebih baik?"

Jennie mengangguk pelan, melepas pelukan kakaknya yang begitu hangat "Ayo kita lihat Lisa, eonni. Aku merindukannya."

"Hm, Rosé bilang Lisa sudah di pindahkan ke ruang rawatnya, kajja."

Sepanjang perjalanan menuju ruang rawat adik bungsunya itu fikiran Jennie tak pernah menetap. Terus melayang kesana dan kemari memikirkan begitu banyak hal yang terjadi belakangan ini.

"Eonni aku takut kehilangan Lisa."

Jisoo menoleh saat adik ketiganya itu tiba-tiba saja bersuara dengan tatapan kosong "Senyumnya, tawanya bahkan kejahilannya... aku tak bisa hidup tanpa semua itu. Tanpa ada dia di sisi ku, aku tak sanggup."

"Jen, aku yakin Lisa akan baik-baik saja. Sama seperti 10 tahun lalu. Lisa kita akan berjuang, Olaf kita akan terus bersama kita."

"Olaf. Aku menyukai nama itu bukan hanya karena dia lucu dan membawa banyak kebahagiaan. Dia Olaf ku, kecil tapi bijak. Itu alasan ku begitu senang saat nama itu di gunakan untuk memanggilnya."

Keduanya terdiam membayangkan setiap kenangan yang mereka buat bersama selama 10 tahun belakangan ini "Eonni, aku tahu setiap yang datang pasti akan pergi. Tapi bisakah itu tidak berlaku untuk Lisa?

"Tidak."

Jennie tersenyum lirih "Apa kau mengatakannya karena dulu kau tak menyukai Lisa? Atau karena kau masih marah tentang investor itu?"

"Tidak. Aku mengatakannya karena... aku tak mau hidup dan percaya dalam kebohongan yang ku buat untuk menipu diri ku sendiri dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kenyataan itu memang sakit, tapi akan lebih sakit lagi jika kau tersadar dari kebohongan mu sendiri karena tertampar kenyataan."

Tarikan nafas panjang itu terdengar mengisi paru-paru Jennie yang terasa sesak.
"Geurae, tapi aku akan terus berusaha terlihat baik-baik saja saat berada di hadapan Lisa."

Jennie melangkah keluar dari lift mendahului Jisoo yang nampak terpaku di tempatnya "Pergilah lebih dulu, aku melupakan sesuatu."

Pintu lift kembali tertutup menyisahkan Jisoo yang terdiam membisu dengan tatapan nanar "Aku melupakan kekuatan ku untuk menghadapi kenyataan... melihat kondisi Lisa yang mungkin meninggalkan ku kapan saja."

****

Pintu kayu itu bergeser menampilkan Lisa yang terbaring di atas ranjang dengan masker oksigen menutupi separuh wajahnya.

"Bisakah kau memeluk ku sebentar?"

"Tolong... hanya sebentar."

Jennie masih ingat wajah gelisah Lisa yang memohon padanya saat di Paris beberapa bulan lalu. Mata bulatnya memerah dengan tangan dan tubuh yang bergetar hebat, tapi ia dengan teganya membentak bahkan menuduh adiknya itu macam-macam.

"Aku sudah tak sanggup eonni, biarkan aku melakukannya--- Jebal... biarkan aku melakukannya."

"Jika aku memeluk mu saat itu, apa semua ini tak akan terjadi Lisa~ya?" tanya Jennie bermonolog. Berdiri menatap sendu Lisa yang terbaring di hadapannya.

Apa jika ia tak melakukan perubahan, akankah Lisa baik-baik saja sekarang? Haruskah ia menyesali semua keputusan sepihak yang ia lakukan untuk melindungi Lisa? Salahkah jika ia takut kehilangan Lisa dan berusaha melindunginya dengan caranya sendiri?

"Karena aku tak tahu akan apa yang terjadi, maka itu aku berikan ini lebih dulu."

"Kau bilang aku seperti Papillion bagi mu, bukan?"

"Aku harap kalung ini akan selalu mengingatkan mu pada ku saat kita jauh."

Jennie mengambil langkah kecil untuk mendekati Lisa, bersimpuh di samping ranjangnya dengan tangan kurus Lisa di genggamannya "Hm, kau memang seperti kupu-kupu bagi ku. Kau bisa terbang bebas kemana pun kau mau. Kau cantik dan indah, membuat semua orang terpikat oleh mu. Tapi aku tak mau kau rapuh seperti kupu-kupu, mudah koyak dan rusak..."

"...Kau seperti Olaf bagi kami. Lucu dan bijak, membawa banyak kebahagiaan dengan tawa mu. Tapi aku tak mau kau seperti manusia salju yang meleleh saat hangatnya matahari menerpa mu."

Manusia memang tak ada yang sempurna, maka itu manusia hidup berdampingan untuk menjadi sempurna. Melengkapi setiap kekurangan yang ada satu sama lainnya. Sama seperti langit yang membutuhkan bintang untuk meneranginya, Jennie pun tak akan bisa hidup tanpa Lisa untuk menyempurnakannya.

****

Langkah kaki Yoona terhenti kala mendapati ramainya orang-orang yang memenuhi mansion Lee. Ia dan Minho pun turun dari mobil dengan rasa penasaran "Apa yang terjadi di sisi?"

"Tuan, nyonya. Nona Lisa---"

"Wae geurae? Ada apa dengan Lisaku?" maid di hadapan Yoona itu nampak menunduk takut, merasa bersalah karena tak bisa menjaga nona mudanya.

"Nona Lisa jatuh dari tangga. Kami tidak tahu apa yang terjadi karena nona Lisa menyuruh semua orang untuk tidak mengganggunya. Jadi kami mengosongkan mansion."

Yoona melebarkan matanya terkejut, apa yang terjadi sampai Lisa meminta semua orang untuk tidak mengganggunya "Nona Rosé datang dan langsung membawa nona Lisa menggunakan ambulan---"

"Jennie. Bagaimana dengan Jennie?" keduanya menoleh pada Minho yang melemparkan pertanyaan.

"Nona Jennie bersama nona Jisoo juga ikut ke rumah sakit menggunakan mobil. Kondisi nona Lisa tadi---"

"Sudahlah, yang penting Jennie baik-baik saja." Mata Yoona berangsur memerah menatap tak percaya Minho yang nampak tengah membuang nafasnya lega.

"Kau... benar-benar tak perduli sedikit pun pada Lisa, Minho? Darah daging mu sendiri, kau sunggu tak peduli padanya?"

"Dengar, Yoona. Dia sudah di tangani---"

"DIA?! Dia putri mu Minho, hasil dari diri mu. Tega kau melakukan semua ini terhadapnya?" air mata Yoona turun tak terbendung. Menyaksikan bagaimana Minho yang nampak begitu acuh pada Lisa, putri bungsunya. Darah dagingnya sendiri.

"Lalu aku harus apa? Menangisinya karena dia jatuh atau---"

"Menyesal, suatu saat nanti akan ku pastikan kau menyesal karena kehilangan Lisa!"

Like A Butterfly
Bekasi, 1 Januari 2021

Note :

Happy new years, everyone!
Semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih baik untuk kita semua.

Like A Butterfly ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang