"Sebutkan waktu kematiannya." Ucap Jongsuk dengan suara melirih.
"Lalisa, 17 Juli 2020 pukul 07.17 malam dini hari."
"Andwe, dokter jangan ku mohon. Tuhan ini tak adil! Adik ku— Lisaku belum bahagia tapi kenapa kau memanggilnya!" Rosé meluruh ke lantai saat salah satu perawat menutup wajah Lisa dengan kain putih.
Suara itu beradu menjadi satu. Tangis dan jeritan itu menggema di ruang rawat milik Lisa.
Dan dari sudut ruangan Jennie hanya bisa berdiri dalam bisu, tatapan matanya lurus dan hampa. Ia kehilangan separuh dari hidupnya dan tak satupun hal yang dapat ia lakukan untuk mencegahnya.
"Ini semua salah mu Jennie. Kau tak bisa menyelamatkannya walau kau seorang dokter hebat sekalipun."
•
•
•
•
"Eonni~"
Mata kucing Jennie terbuka saat suara hangat Lisa menyapa. Sepasang mata hazel dengan tatapan lembutnya itu menyambut Jennie dengan rasa damai."Eonni mimpi buruk? Ku perhatikan tidur mu nampak begitu gelisah sejak tadi—"
Jennie tak ingin mendengar apapun saat ini, yang ia butuhkan sekarang hanya pelukan Lisa. Tubuh kurus adiknya yang selalu ada dan siap di saat ia membutuhkannya.
Katakan bagaimana Jennie bisa untuk ikhlas dan melupakan hal seperti ini jika Lisa selalu ada di setiap saat ia melewati banyak rintangan dalam hidup?
Ia orang yang tertutup dan dingin, dulu. Sebelum Lisa datang dengan senyum manis. Menjadi satu-satu orang yang bisa membuat Jennie mengidap PTSD sekaligus obat penengnya.
"Jangan pergi, hm? Sampai kapan pun, tak akan ku biarkan kau pergi."
****
Langkah pelan itu membawa Jennie yang mendorong kursi roda Lisa menuju taman rumah sakit "Hari ini langitnya cukup cerah."
Kedua gadis Lee itu memilih duduk di salah satu kursi taman, menikmati sore dengan beberapa pasien lainnya. Bahkan matahari sore yang bersinar nampak tepat menuju ke arah keduanya.
"Aaa Lisa!" Gadis bermata kucing itu memekik dengan tubuh beringsut ke arah Lisa.
"Mwoya, kau masih takut dengan kupu-kupu? Dia hanya terbang melewati mu kenapa kau begitu takut."
Jennie menegakkan tubuhnya, wajah gadis itu kembali berubah tegas dengan tangan yang bergerak merapihkan jas putihnya.
"Mereka menakutkan bagi ku."Lisa terkekeh menatap wajah kakak keduanya. Pertama kali saat Lisa mengetahuinya, gadis itu cukup terkejut. Ia berfikir dengan wajah dingin kakaknya itu siapa yang menyangka Jennie takut dengan hewan serapuh kupu-kupu.
"Jadi maksud mu aku membuat mu takut? Kau bilang aku papilionmu bukan?"
Jennie tak menjawab, ia hanya diam dengan pandangan yang beralih ke sembarang tempat "Kau tahu kenapa aku suka kupu-kupu? Karena aku ingin seperti mereka."
Jika Jennie paling anti dengan kupu-kupu justru Lisa sangat menyukai hewan bersayap tipis satu itu "Aku kagum pada mereka. Walau sayap mereka sangat rapuh bahkan kadang kala di jadikan bahan buruan. Mereka masih bisa perbang tinggi kemana pun mereka mau."
"Tetap saja mereka menyeramkan." Sahu Jennie yang masih bertahan pada pendiriannya.
"Semenakutkan apa mereka sampai banyak manusia yang menjadikannya pajangan dinding?" Jennie mengangkat bahunya acuh, ia sungguh tak perduli soal hewan walau nyatanya ia adalah seorang dokter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like A Butterfly ✔
FanfictionHidup itu bukan hanya tentang bahagia dan tawa. Tapi juga tentang bagaimana caranya berjuang dan bertahan.