Jisoo terdiam menatap bingung wajah Jennie yang nampak basah "Ada apa Jen, kau baik-baik saja?"
"Apa Rosé sudah sadar?" Jisoo tahu sesuatu terjadi dan adiknya ini tengah berusaha menyembunyikannya.
"Tadi sempat terbangun lalu aku menyuruhnya untuk kembali tidur karena sudah malam. Sekarang ku tanya, kau bertemu Lisa kan tadi?"
Jennie membisu, bagaimana bisa kakaknya itu tahu "Kenapa kau tak mengajaknya ke sini? Aku masih bingung dengan pola fikir mu Jennie, bagaimana bisa kau melakukan—"
"Aku kecewa eonni! Aku kecewa dengan takdir hidupnya, aku kecewa dengan semua yang dia sembunyikan dari ku!"
Hela nafas panjang itu terdengar di iringi dengan pelukan hangat yang menyelimuti tubuhnya "Aku juga Jennie. Kita semua kecewa padanya. Tapi apa kau tak berfikir bagaimana perasaannya? Dia juga korban, tapi kau malah menempatkannya seolah dia tersangka."
Jisoo melepas pelukannya.
"Kau fikir apa yang dia dapatkan dari kebohongannya, tak ada! Dia juga kecewa pada dirinya sendiri, bahkan semua ini benar-benar menyiksanya Jen."Tangis yang ia tahan sejak tadi kembali terdengar "Lihat! Itu sepatu Lisa, dia memakaikannya pada mu karena dia tahu kau adalah kakak tersayangnya yang tak bisa menggunakan heels terlalu lama. Dia bahkan tak berfikir untuk alas kakinya sendiri."
Tangis Jennie terhenti saat dengan tiba-tiba saja ia teringat bahwa adiknya itu tak bisa menggunakan heels tinggi miliknya. Jadi dengan kata lain, adik bungsunya itu tengah berjalan entah kemana tanpa menggunakan alas kaki dengan suhu udara sedingin 13 derajat celcius di kota Paris.
Tok Tok Tok
Kedua gadis Lee itu menoleh saat pintu rawat Rosé terketuk, menampilkan seorang perawat dengan beberapa bungkus plastik "Maaf mengganggu nona. Aku hanya di mintai tolong untuk mengantar ini oleh seorang gadis."
Dari aromanya Jennie tahu belasan kantung plastik itu berisi makanan dan minuman "Siapa yang memintanya?"
"Seorang gadis tinggi berambut abu-abu. Ia bilang ini untuk kakaknya."
Perawat berseragam putih itu pamit undur diri, menyisahkan kesunyian di antar Jennie dan Jisoo "Aku akan mencarinya. Kau jaga Rosé dan jangan kemana-mana."
****
Lisa tak perduli dengan tatapan aneh orang-orang yang ia lewati. Melemparkan tatapan bingung pada dirinya yang berjalan tanpa alas kaki dengan sepasang heels yang berada di tangannya.
Jarak rumah sakit dan tempat tinggalnya terbilang cukup jauh. Tapi karena ia lupa membawa ponselnya, sedangkan uang yang tersisah di sakunya sudah ia gunakan untuk membeli makanan tadi.
Alhasil ia memilih berjalan kaki. Menempuh belasan kilometer dengan kedua kakinya sendiri "Sedikit lagi sampai Lisa, ayo!"
Ia terdiam sejenak menatap sebuah taman di dekat hotel tempatnya menetap selama beberapa hari ini. Sejak dulu Lisa sangat menyukai taman tapi sayang dulu ia tak punya waktu untuk ke sana terlebih ibunya itu sangat melarangnya.
Pintu hitam itu terbuka, membuat gadis berponi itu terdiam menatap kekacauan yang terjadi beberapa jam yang lalu karenanya. Mata bulatnya tertuju pada genangan darah milik kakaknya yang mengotori lantai dapur "Apa Rosé eonni baik-baik saja?"
Tarik nafas itu terdengar lalu dengan penuh ketelatenan bungsu Lee itu mulai membersihkan kekacauan di depannya. Meletakkan benda-benda yang berserakan kembali pada tempatnya dan terakhir mata gadis itu tertuju pada sebilah pisau dengan noda darah yang tergeletak di dekat meja makan.
"Jika itu terjadi, hadapi Lisa. Kenyataan memang sakit tapi itu lebih baik dari pada hidup dalam kebohongan dan rekayasa."
Kakaknya itu benar, tak seharusnya ia bersikap gila seperti itu. Ia harus menghadapi kenyataan tentang dirinya, walau itu berat.
Setelah selesai merapihkan dapur dan sekitarnya ia beranjak menuju kamarnya, kembali menemukan beberapa puluh butir obat penenang yang berserakan di sana.
Jujur ia merasa begitu lelah. Tubuhnya luluh bersadar pada tepi kasur di belakangnya, rasa nyeri yang ia rasakan di telapak kakinya itu menarik perhatiannya. Mendapati beberapa luka menghiasi kaki putihnya itu.
Belum sampai di situ, gadis Lee itu menarik salah satu lengan sweater yang ia kenakan dan kembali menampakkan luka sayat yang bahkan masih mengeluarkan darah. Mengingat insiden saling merebut pisau yang terjadi di dapur tadi bukan tak mustahil jika ia terkena sayatan panjang dari pisau tersebut.
Lisa menyandarkan kepalanya pada kasur. Mata gadis itu memanas menatap wallpaper ponselnya yang menampakkan wajah lucu Jennie yang tengah tertawa dengannya.
"Ah~ dokter pribadi ku sedang marah. Aku harus apa?"Gumaman lirih itu terdengar bersamaan dengan air mata yang menetes di sudut matanya "Eonni, aku sakit. Apa kau tak mau merawat ku lagi?"
Setelahnya gadis itu terkulai lemas dengan pandangan yang menggelap.
****
Melihat pergerakan dari sepasang mata yang tertutup itu membuat Jennie bangkit dengan segera "Rosé bisa dengar eonni sayang?"
"Lisa... dimana?" Putri kedua Lee Minho itu membisu. Bahkan dengan kedua mata yang masih tertutup kalimat yang pertama kali adiknya itu sebutkan adalah nama sang bungsu Lee.
"Istirahat, eoh? Kau harus banyak istirahat—"
"Aku bertanya eonni. Tolong di jawab. Dimana adik ku?" Pasang mata itu beradu saling menyiratkan suara hati mereka masing-masing.
"Jisoo eonni menyuruhnya pulang. Jadi kau istirahat saja—"
"Apa eonni sudah melihat berita itu? Pasti belumkan. Karena jika kalian sudah melihat Lisa tak akan sendirian di hotel."
Jennie mengeryitkan keningnya bingung "Identitas asli Lisa terbongkar eonni, media sedang menyorotnya sekarang. Dimana-mana hanya ada berita Lalisa Lee merupakan anak tidak sah dari Lee Minho. Semua orang tengah menyudutkannya, termasuk eonni."
Tubuh Jennie bergetar. Ia tak tahu, sungguh ia benar-benar tak tahu soal berita panas itu.
"Aku melihatnya beberapa saat sebelum aku pulang. Perasaan ku benar-benar tak tenang saat itu dan yang ku dapatkan adalah Lisa dengan pisau di tangannya."Jennie masih terdiam, tak menanggapi Rosé karena sekarang kepalanya itu mendadak pening dengan tatapan kosong "Eonni..."
"Dia masih menyimpan obat penenang selama 10 tahun ini tanpa sepengetahuan kita."
****
Lisa tak tahu pukul berapa sekarang, yang ia tahu tubuhnya itu terasa begitu remuk dan sakit. Ia masih di tempanya, terduduk di pinggir kasur dengan keadaan kacau di sekitarnya.
"Shh~" Lisa meringis memegangi kakinya yang kembali mati rasa. Keringat dingin memenuhi wajahnya yang nampak menahan rasa sakit.
"A-apa ada orang?" Ucap Lisa sedikit meninggikan suaranya. Beberapa tak mendapati sahutan ia mengerti bahwa kedua kakaknya itu tak pulang selamaman.
Dengan susah payah bungsu Lee itu bangkit, tak lepas dengan ringisan yang terus keluar dari mulutnya, ia terduduk di pinggir kasur. Menikmati rasa sakit yang menjalar di tubuhnya seorang diri.
Ting
Perhatiannya teralihkan saat sebuah pesan masuk yang membuat ponselnya berbunyi nyaring.
Jungkook
Lisa~ya...
Kau baik-baik saja, kan?
03.22 AMLike A Butterfly
Jakarta, 7 November 2020Note :
Kasian banget Jendeuk gw di hujat:'(
KAMU SEDANG MEMBACA
Like A Butterfly ✔
FanfictionHidup itu bukan hanya tentang bahagia dan tawa. Tapi juga tentang bagaimana caranya berjuang dan bertahan.