8. Badge

22 4 0
                                    

Hugo menatap lurus ke sebuah bangunan tempat di mana James dan Jili tinggal. Di depannya beberapa pemuda tengah berlatih menggunakan pedang kayu.

Hugo tidak tertarik untuk ikut, bukan karena mengetahui orang-orang itu membicarakannya dari belakang, tetapi ia memang tak menginginkannya saat ini.

Di dunianya berkelahi secara satu dengan lawan tak seimbang adalah hal biasa. Terkadang seminggu penuh ia harus mendapatkan hukuman dari pihak universitas, rekor terbaik adalah dipenjara selama satu bulan. Sebutlah ia lelaki 23 tahun berandalan. Menyadari hidupnya tidak lagi sama, Hugo hanya mengikuti alur setiap kaki terpijak di tempat ini.

Berjalan menghindari keramaian, Hugo mengitari kediamanan yang ia lihat barusan. Tiba di bagian belakang rumah tak sengaja ia menginjak benda logam berbentuk seperti miniatur tameng. Tepatnya sebuah lencana berwarna keperakan disertai ukiran emas rumit. Lalu di tengah-tengahnya terdapat satu pahatan tengkorak terhunus pedang.

Hugo memungut benda itu, lalu menyimpannya ke dalam saku celana. Hugo tak lagi mengenakan pakaian khas Yu setempat setelah James memberikannya pakaian baru ala Ignis. Kini ia mengetahui bagaimana tampilan pakaian resmi tersebut.

Ignis berarti api. Menjadikan burung Phoenix sebagai simbol kebanggaan mereka. Melambangkan keberanian hingga keabadian. Menilik dari beragam sumber, burung Phoenix dapat hidup ratusan tahun lalu membakar dirinya dan terlahir kembali. Suatu siklus keabadian, walau harus melalui rasa sakit, pikir Hugo.

Di sini keabadian agaknya bukan segala-galanya. Tanpa kekuasaan dan kemampuan, berawal dari anugerah menjadi suatu kekekalan nan membosankan.

Hugo mengeratkan ikatan ikat kepalanya. Lalu terlintas hal biasa, tetapi tak biasa ia lakukan di selama berada di tempat ini. Memanjat atap.
Ah---jangan fokus betapa rupawan dan mempesonannya dirinya, lemah-lembut hanya berlaku di kesempatan khusus. Itu sisi spesial yang ditujukan tanpa paksaan.
Sebagian dari dirinya yang sesungguhnya ialah memacu adrenalin dengan kata lain mengundang bahaya.

Satu saja langkah yang salah, bersiaplah jatuh dan menderita teramat sangat. Ia duduk sambil dengan leluasa melihat orang-orang menjalankan aktifitas. Hugo juga melihat Suyin keluar dari rumah pertemuan didampingi Mingxia.

Yuan bilang, Suyin sudah pulih total. Yah, tidak mengejutkan bagi Hugo. Wanita itu bahkan dapat menyembuhkan lukanya di hari itu, lalu memberikan ramuan yang mampu meredakan rasa sakit. Keberagaman ilmu bela diri bukan satu-satunya hal lumrah, sihir tak luput dari perhatian Hugo.

Jili berkata, orang Ignis mampu menguasai beragam elemen sihir terutama api. Termasuk James, tetapi walau penggunaan sihir umum dipraktekkan, tetap saja ada peraturan yang perlu dipatuhi. Cukup bagus menurut Hugo. Hanya boleh digunakan ketika di situasi darurat. Peraturan tercetus akibat peperangan yang entah kapan terjadi, jelasnya perang antara dua sihir yang saling bertentangan. Begitulah penggalan isi buku milik Dao Ming.

Jika ada yang melanggar, konsekuensi akan datang dengan sendirinya. Entah perlahan maupun secepat kilat.

Suyin menyadari sosok Hugo memperhatikannya dari atap. Lelaki itu lebih menarik dari seorang pria di sisi kanannya, terlalu berisik akan hal tak berguna. Senyuman yang awalnya tidak akan ia perlihatkan di depan Kun Lian, terbit menyadari Hugo tersenyum padanya.

"Orang Ignis, tak seharusnya berada di sini," ucap Lian menyiratkan permusuhan serta ketidaksukaan.

"Tolong berhati-hati dengan mulutmu, Tuan Kun. Dia tak akan ada di sini tanpa seizinku, begitu juga denganmu," sindir Suyin.

Lian bungkam. Bagaimanapun juga, Suyin adalah nyonya muda Li. Ia berkuasa atas semuanya di sini. Pria itu merasakan gejolak emosi di dada, Suyin yang ia kenal sangat dingin terhadapnya berubah hangat hanya karena senyuman lelaki Ignis tersebut.

"Tuan, jangan lakukan itu lagi," protes James sesaat setelah Hugo turun.

Jili memutar mata malas, suatu pemandangan membosankan. Gadis seperti Yuan bebas bergelantungan di tempat ia mau, lalu mengapa James sangat berlebihan hanya karena itu?

Lalu apa Hugo tak memiliki sisi emosi?
Marah?

Ah, mungkin belum saatnya.

"Tuan Kun Lian, lama tak berjumpa. Penampilanmu agak berantakan, tidak setampan biasanya," sambut Jili disertai seringai tipis.

Lian mengabaikan pria itu. Dengan angkuhnya ia tersenyum kepada Hugo. Seketika James pun bersiaga.
Permusuhan kental terasa antar keduanya, kenyataan Lian hanya tertuju pada Hugo seorang, tetapi sebagai pengawal, James diharuskan siaga.

Hugo melirik Lian, kemudian berlalu. Pilihan yang tepat, karena Yuan berlari dari depan gerbang. James dan Jili juga kompak melarikan diri.

"Mingxia, kau urus Tuan Kun."
Singkat, tanpa menerima bantahan. Raut wajah sedingin es itu mengikuti ke mana Hugo pergi, ia tak takut dengan siapa bersikap. Adalah haknya untuk memutuskan siapa saja tamu yang berhak menerima sambutan penuh kehangatan darinya.

"Hugo ... Hugo...." Suara selemah hembusan angin, tetapu sangat jelas di pendengarannya. Hugo sendirian, tak satupun orang terlihat di dekatnya. "Serahkan nyawamu...."

Ia takut, tetapi tak setakut ketika pertama kali mendengarnya. Suyin begitu berjasa menenangkannya melalui kata-kata sederhana.

"Hanya masalah waktu hingga ketakutan menjadi bagian dari dalam dirimu. Kau akan bosan, lalu tumbuhlah sisi keberanian."

Ya, Hugo merasa bosan dengan sisi ketakutannya. Sehingga berangsur dapat mengontrol rasa itu, walau masih terasa, tetapi tak sekuat dulu.
Jantungnya berdetak kencang, tetapi tangannya tidak lagi bergetar.
Takut perlahan menjadi rasa penasaran. Apa hanya dirinya yang mendengar bisikan tersebut?

Catatan orang tuanya terhenti di tengah-tengah buku, tepatnya mereka tak lagi menulis sesuatu di sana.  Hugo merogoh lencana yang ia temukan tadi, lalu membandingkannya dengan halaman pertama di cacatan itu. Terlukis hal serupa dengan benda di tangannya.

"Ayah menghilangkan hadiah kesepuluhmu, kuharap seseorang membuatnya persis seperti ini."

Hugo menyimpan kedua benda itu ke saku. Ketika ia berbalik, satu pukulan telak mengenai sudut rahangnya.
Sebuah pukulan tak biasa. Pukulan disertai tenaga dalam yang nyaris membuat Hugo tumbang.

"Tinggalkan wilayah ini segera, orang asing!"

Hugo meludah. Sosok Lian mengingatkan dengan orang tersebut. Seseorang yang berakhir di rumah sakit akibat kesombongannya.
Kedua tangan Hugo merasa gatal, sudah lama kedua tangannya tidak merasakan sensasi memukul seseorang.

"Bagaimana bisa?" Lian keheranan melihat Hugo yang masih berdiri dengan kokohnya. Pukulannya tak berdampak banyak, hanya meninggalkan jejak lebam. Tidak ada bedanya dengan pukulan biasa.

"Terima kasih, kau baru saja menyadarkanku." Hugo tersenyum, lalu mendekatkan diri ke arah Lian. "Menyadarkanku betapa bodohnya seorang Tuan Muda seperti dirimu." Ia menyerigai.

Lian berdecak, kemudian pergi sebelum orang-orang menyadari apa yang baru saja terjadi.

Sekelabat bayangan menyusup ke celah tembok. Asap hitam pekat terlihat untuk sesaat, lalu menghilang bersamaan dengan Hugo menoleh ke arah sana. Apapun perannya di sini, ada banyak hal yang harus ia lakukan. Terutama mencari sesuatu berhubungan dengan tempat favorit ibunya. Ia membutuhkan petunjuk untuk mengungkap kepergian orang tuanya.

"Tuan, mari kita pulang." James terlihat begitu sumringah di wajahnya nan lelah. "Kita akan kembali pulang. Kapal dari kerajaan menjemput, kita harus bergegas sebelum senja." Matanya berbinar.

James terlihat sangat bahagia layaknya anak kecil mendapat satu kantong penuh permen di malam halloween. Sangat riang hingga terbersit rasa curiga. Tak apa, mungkin perasaannya saja. Hugo bungkam, mengikuti langkah orang itu. "Begitu? Baiklah ... kuikuti permainan ini."


Bersambung
18 september 2020

IgnisYu: Jade Of Fire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang