18. The Other Side of Yuanjun

8 4 0
                                    

Sekolah kekaisaran Yu---Wenling, puluhan tahun didirikan, untuk pertama kalinya di tahun ini sekolah dibuka untuk perempuan. Namun, Yuan tidak ingin bergabung dengan mereka, ia mengikuti Hugo.

Gadis itu menyamar, walau postur serta wajahnya tidak meyakinkan menjadi seorang laki-laki. Sejauh ini nampak berjalan lancar, tak satupun murid menyadari identitasnya.
Sebenarnya, Yuan tidak mengetahui keseluruhan alasan mengapa Suyin dan Jili membawa Hugo kemari. Bahkan meminta bantuan Dao Ming agar keberadaan Hugo dapat diterima dengan baik.

Dao Ming, gurunya itu memiliki saudara tiri berdarah Ignis.  Singkatnya, Hugo mengambil peran sebagai anak dari saudara Dao Ming. Walau murid lain tidak percaya sekalipun, mereka tak dapat bertindak semena-mena terhadap Hugo.

Yuan pikir, Hugo juga merasa bingung. Tetapi lelaki itu selalu terlihat tenang sambil membaca buku dengan salah satu tangan memangku wajahnya.

"Inilah mengapa aku tidak menyukai kelas sastra guru Dao," bisik Yuan.

Hugo tersenyum. Walau di dunianya, ia adalah mahasiswa di bidang seni, ada masanya Hugo merasa bosan juga jengah. Melalui ekspresi memang terlihat tenang, tetapi hatinya menjerit ingin bergegas pergi.
Yah ... di masa-masa sekolah menengah hingga kuliahnya dibumbui pekelahian antar sesama pelajar. Bukan karena ia ringan tangan, semua memiliki alasan. "Ya, ini mulai membosankan. Tapi cukup menarik karena ini sangat berbeda dengan tempat asalku."

Dao Ming berdehem. Lalu mengakhiri kelas sebelum Yuan membuka mulut untuk melayangkan protes. Ketika murid lainnya bergegas keluar, Hugo mendekati Dao Ming, membantu pria itu menyusun buku-bukunya.

Kelas didominasi anak dari kalangan atas, walau pakaian yang mereka kenakan sama. Status kekuasaan masih begitu terasa, mereka yang berpengaruh akan disegani.
Jika bukan karena Hugo, Yuan tidak akan datang kemari. Ia tak menyukai hal rumit seperti peraturan di sekolah, terutama orang-orang sombong berlatar bangsawan hingga saudagar. Ah ... rasanya melihat wajah angkuh meraka saja Yuan mendadak muak.

Dao Ming menepuk pelan pundak Hugo dengan seulas senyum. "Pulanglah, Nak. Nikmati waktu luangmu bersama anak nakal ini," ucapnya sambil menyindir Yuan.

Yuan membungkuk hormat dengan raut malas. Sedangkan Hugo melakukannya begitu sopan. Kemudian, Yuan memutuskan mengajak Hugo berkeliling di sekitar pusat kota. Tingkah Yuan yang periang dan bersemangat, membuat senyum Hugo terukir tak ada hentinya.

Pipi hingga kuping gadis itu memerah, Hugo ingin menghangatkannya. Namun, ia langsung teringat ucapan Jili dua hari lalu. "Sebisa mungkin jangan gunakan kekuatanmu, kau tidak sepenuhnya menguasainya."

Yuan menarik tangan kanan Hugo, mengajaknya masuk ke sebuah tempat yang cukup ramai walau di musim dingin.

Seorang pria menyambut dengan semangat dan sopan. "Nona Yuanjun, lama tidak bertemu."

"Kau ini berlebihan, sebulan lalu aku kemari."

Pria itu tertawa pelan, lalu tatapannya tertuju kepada Hugo. "Ah ... Anda pasti keponakan guru Dao, ini suatu berkat dari langit."

Hugo tersenyum tipis tanpa berniat menjawab. "Berita di sini setara dengan media sosial, cepat sekali menyebar," batinnya.

"Sudahlah, ayo ke lantai dua, Kakak."

"Baiklah."

"Tunggu dulu!" Pria itu panik dan menghalangi langkah Yuan gang hendak naik ke lantai dua. "Tempat yang biasa Anda pesan dipakai orang lain."

Yuan tak mempedulikannya, ia tetap melangkah dengan Hugo dengan setia mengikuti.

Alat musik petik dimainkan pelan, mengibur tamu yang berlalu-lalang. Hugo sesekali melirik beberapa wanita dan pria yang berpapasan dengannya.

Pelayan turut membawa nampan berisikan minuman, sorakan terdengar di lantai bawah.

Pintu dibuka dengan kasar, tepatnya ditendang. Menciptakan suara bising, seketika membuat dua orang pria sentengah mabuk menatap tajam Yuan.

Hugo menahan tawa sekaligus memuji keberanian gadis itu di dalam hati. Yah ... ia langsung teringat akan dirinya sendiri melihat tingkah Yuan.

Agaknya kedua pria itu tak berniat melawan, walau mereka setengah sadar. Mereka memilih pergi dengan langkah terseok.

"Sialan," desis salah satu dari mereka, tepat di depan Hugo.

"Kau juga." Hugo tersenyum miring ketika mereka menatapnya keheranan.

"Jadi kau sering kemari seorang diri?" Hugo dan Yuan duduk berhadapan.

"Terkadang bersama Jili dan James."

Sebelah alis Hugo terangkat. "James?"

Di bawah meja, Yuan memilin ujung bajunya. Ia diserang gugup setelah tak sengaja mengucapkan nama pria itu.

"Arak apel kesukaan Anda, Nona."

Yuan menghela nafas lega, merasa diselamatkan oleh seorang pelayan yang mengantarkan minuman. Sedangkan Hugo menyusuri ruangan yang ia tempati melalui tatapannya dalam diam.

Sepeninggal sang pelayan, keduanya sama-sama diam. Yuan sibuk dengan minumannya sedangkan Hugo mulai penasaran keadaan di luar. Ia sama sekali tidak tertarik mencicipi minuman memabukkan itu. Sebenarnya ia sedikit terkejut mengetahui Yuan bisa meminumnya. Hugo memang memiliki sisi berandal di balik sikap tenangnya, tetapi alkohol adalah suatu hal asing untuk ia minum.

Kedua pipi gadis itu memerah, namun ia masih sadar. Ia sangat tenang walau dalam keadaan menenggak banyak minuman.

Hugo menuruni tangga pelan. Hingga dinginnya salju menyambut tubuhnya yang tak lagi sehangat hari itu. Hari mulai gelap, jejeran lentera dinyalakan. Di sisi lain, sepuluh pria berusaha mengejar seekor kuda yang ditunggangi wanita berpakaian merah muda hilang kendali. Hewan tersebut bak banteng yang mengamuk. Membuat sang penunggang serba salah, ingin melompat tetapi beresiko. Setidaknya satu hingga dua tulangnya akan patah, begitu pikirnya.

Hugo menoleh ke arah sumber keributan. Pada awalnya ia tidak tertarik, hingga wanita itu melompat tepat ketika kuda hendak melintas di dekat Hugo.

Kesepuluh pria tersebut tidak menyadari apa-apa dan terus berlari mengejar sang kuda. Sedangkan wanita itu mendarat di atas tubuh Hugo. Ia bergegas bangun lalu menepuk-nepuk pakaiannya yang dikotori salju tipis. Ah ... penampilan agaknya lebih penting dari sosok Hugo yang menahan perih di tangan kirinya.

Punggungnya sakit, namun tidak sesakit tangan kirinya.
Lirikan tajam ia berikan ke arah wanita tersebut, kemudian berdiri tanpa sedikit pun mengeluh atas rasa sakit itu.

"Menyebalkan, mengapa selalu saja terjadi?"

Hugo berdehem. Wanita itu mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Hugo angkuh.
Baiklah, ia terlalu malas meladeninya. Ia berbalik arah berniat kembali menuju ke lantai dua, mengabaikan wanita tersebut dengan mudahnya.

"Kau tahu siapa aku?"

"Wanita korban amukan kuda," ucap Hugo tanpa menoleh ke arah lawan bicara lantas pergi.

Jawaban terkesan datar, namun sungguh terdengar mengolok-olok seketika membuat wanita itu kesal.
Ia menghentakkan kakinya pelan, kemudian bergegas mencari kesepuluh pria yang beberapa saat lalu.

Hugo menarik lengan bajunya hingga sebatas siku. Luka lebam hingga merah menghiasi kulit, beruntung ia masih bisa menggerakkannya walau harus pelan.

"Ayah ... Ibu ... aku takut." Yuan mulai merancau dengan suara lirih, ia dalam keadaan mabuk. Menyadarkan Hugo. "Kakak, kau menjadi alasan dia tersenyum. Kumohon jangan pergi." Mata gadis itu terpejam dengan kepala dibaringkan di meja, salah satu tangannya masih menggenggam cangkir keramik kecil.

Hugo memejamkan matanya sejenak, lalu menghela nafas. Sosok gadis periang itu sungguh berbeda saat ini, sisi rapuhnya menonjol tanpa disadari. Hugo mengusap rambut gadis itu pelan.  "Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, tapi kurasa semua pasti terjawab pada waktunya."

Perlahan-lahan, semua terungkit bersamaan dengan berlalunya waktu. Entah sedetik hingga satu tarikan nafas, hidup mereka ada digenggaman garis takdir. Mungkin setiap tindakan....

Bersambung

9 oktober 2020

IgnisYu: Jade Of Fire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang