27. Excruciating Melodies

4 3 0
                                    

Aroma terapi mengudara, tetapu bukannya membawa ketenangan. Orang yang menghirupnya malah disesaki oleh kenyataan.

Hugo mengibas-ngibaskan jari-jari tangannya yang mengeluarkan api hingga memadamkannya dalam beberapa kali kibasan. Ia berlari kecil sambil membawa sehelai kain yang perlahan terbakar.

Dirinya maupun Lucius sangat asing dengan hal ini. Ingatan masa kecilnya menggambarkan, ia tidak pernah diajari cara mengendalikan kekuatan ini. Yah ... mungkin juga karena di waktu itu ia disangka terlahir sebagai bangsawan Ignis tanpa kekuatan. Kasarnya seperti aib, tetapi ia berhasil bertahan tanpa meruntuki keadaan.

Hugo menarik nafas. Perlahan ia mengendalikan sensasi hangat yang muncul dari tengah punggung hingga menjalar ke kedua tangan.
Hawa pegunungan nan khas, serta kesunyian membuatnya fokus tanpa merasa takut akan lepas kendali.

Perlahan percikan api muncul di ujung jemari tangan. Berawal dari kuning kemerahan menjadi biru menyala. Hugo mengepalkan kedua tangannya dengan cepat ketika rasa hangat yang sama menjalar cepat.

Tiba-tiba, hangat yang ia rasakan berubah menjadi sensasi dingin. Ia menatap ke rerumputan yang ia pijak, itu mulai membeku. Kabut menghilang diikuti air danau turut mengeras seperti batu.

"Demi langit, apa yang...." Jili menutup mulutnya takjub. Sekelilingnya berubah bak dunia imajinatif nan begitu menawan. Ia melirik Hugo yang sama terkejutnya dengan apa yang terjadi. "Rambutnya memutih."

Suyin dan Yuan turut menyusul setelah merasakan kekuatan yang tidak biasa. Jika sihir elemen api cukup umum dilihat, es adalah sesuatu yang langka.
Terlebih lagi dari sosok Hugo bagian dari Ignis.

"Teman, bagaimana caranya mengembalikan semua ini?" Hugo yang pendiam, berangsur menjadi Lucius hangat. Seperti dua sisi saling bergantian mengambil alih di waktu yang tepat tanpa tumpang-tindih dan menimbulkan keanehan.

Bagi Suyin, yang mengenal Lucius secara mendalam, Hugo maupun Lucius adalah sama. Menghormati wanita tanpa pandang kasta hingga betapa rendah hatinya walau berstatus bangsawan.

"Buka kepalan tanganmu," ucap Yuan memberi saran.

"Kau pernah belajar tentang ini?" tanya Jili tak yakin tentang itu.

"Tidak." Yuan menjaga jarak, melihat ekspresi kesal terukir di wajah Jili. Gadis itu tertawa geli, kemudian mendekati Hugo.

"Sudah kuduga," gumam Jili.

Langit berangsur cerah, kicauan burung bak alunan musik nan merdu.
Satu kenangan terpantik, membawanya keingatan tentang sosok pemuda berambut putih dengan raut wajah lebih dingin dari makhluk manapun. "Air adalah ketenangan dan api seperti emosi. Kekuatan alami tidak membutuhkan banyak energi. Tetapi ada masanya berada diambang batas jika beradu dengan kekuatan lain yang sama kuatnya."

Hugo lagi-lagu menghela nafas, ia menatap satu per satu wajah di dekatnya. Lalu, keadaan kembali seperti semula, tetapi tanpa kabut yang menutupi dan rambutnya tetap berwarna putih.

"Jika waktu bisa terulang, aku ingin menghabiskan masa kecilku bersamamu." Yuan tersenyum, ia menatap Hugo penuh kehangatan.

Ia memang sekedar mengenal sosok Lucius dari mulut Suyin. Masa kecilnya dihabiskan di istana kaisar, walau ia sedikit merasa menyesal. Tetapi kini rasa itu mulai pudar, ia memahami betapa antusiasnya Suyin ketika menceritakan sosok Lucius.

Santun, ramah dan penyayang. Rasanya kehangatan selalu menyertai ketika berada di sisi lelaki itu. Hugo maupun Lucius menjadi sosok figur kakak laki-laki terbaik bagi Yuan.

Jili terdiam, tangannya menggenggam erat gagang pedang. Pandangannya terarah ke Hugo, memberi isyarat jika ia merasakan kehadiran orang lain.

Setenang apapun tempat yang mereka pijak, setelah kegelapan naik kepermukaan, tetap merasa aman adalah sesuatu yang sulit diyakinkan.

IgnisYu: Jade Of Fire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang