34. in NYC

5 3 0
                                    

Alek mendengarkan dengan seksama ketika orang tua siswa mengadukan tingkah putra sematawayangnya yang menghajar anak mereka. Ia tak marah, tidak sedikitpun tersulut saat satu per satu makian di arahkan kepadanya.

"Apa anakmu ini dididik hanya untuk menjadi seorang berandalan?"

Alek bereaksi, ia memukul meja hingga mengagetkan semua orang yang ada di ruangan kepala sekolah. "Hina akau sesukamu, tapi tidak untuk Hugo. Anakku tak akan bertindak sembarangan jika putra bodohmu ini tidak menganggunya!"

Rasa hangat menjalar dari punggung kedua tangan. Alek bergegas keluar sambil mengepalkan tangan, ia tersenyum lembut ketika Hugo masih setia menunggu di area parkiran.
"Tak perlu merasa bersalah, Nak. Ayah tahu apa yang terjadi."

Diam-diam, disela berjalan menuju apartemen yang tak jauh dari sekolah. Alek menatap semburat mentari sore, angin yang berhembus pelan membelai wajahnya. Lalu, pandangannya terarah ke sosok Hugo.

Rasa bersalah merasuk, setengah ragu ia melepaskan cincin hitam bertakhtakan permata merah dan menyerahkannya kepada Hugo yang langsung menatap penuh keheranan.

Hugo enggan bertanya, mendadak sesuatu tak mengenakkan mengusik begitu saja. Menahan ucapan sebatas dalam hati, tentang mengapa tingkah sang ayah begitu baik hari ini.
Ayahnya, nan tegas serta tak segan memberikan hukuman ketika ia berulah di sekolah, menjadi sosok melankonis sepanjang hari ini.

Begitu pula sang ibu, tak ada sambutan manis ketika membukakan pintu. Hanya kesedihan terpancar di mata mereka. Hugo meneguk ludah, jantungnya berdetak tidak karuan, tetapi sekali lagi. Dirinya tak mampu angkat bicara untuk bertanya.

Ketika malam menjelas, ia tetap terjaga. Perasaan penuh kekhawatiran tanpa tahu alasannya terus menggentayangi. Tepat di pukul sebelas, Hugo melihat sinar kebiruan di luar kamarnya. Ia mengabaikannya sambil menatap cincin pemberian sang ayah yang tersemat di jari telunjuk kiri.

Perlahan, kesadarannya bak dikendalikan. Ia mengantuk, lalu terdengar suara jatuh di luar. Tetapi tubuhnya mendadak lumpuh disertai kilatan cahaya kebiruan yang berhasil menerobos masuk melalui jendela kamarnya.

Dengan penglihatan samar, simbol burung terukir di langit-langit kamar. Turut memancarkan sinar kebiruan yang perlahan meredup seiringnya kesadaran mulai menurun.
Bau hangus tercium, lukisan bulan bercincin di sudut kamar terbakar. Kesadarannya hilang.

Sebuah batu permata hitam yang bersinar kemerahan ketika diterpa cahaya mendarat di dada kiri pemuda itu. Lalu kilatan yang benar-benar akan membutakan manusia biasa memenuhi ruangan.

Asin khas air laut masih terasa di mulut, mengambil sembarang arah selepas terbangun dari tidur singkat setelah terombang-ambing di lautan, Hugo berjalan dengan pakaian yang setengah basah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Asin khas air laut masih terasa di mulut, mengambil sembarang arah selepas terbangun dari tidur singkat setelah terombang-ambing di lautan, Hugo berjalan dengan pakaian yang setengah basah. Bulir-bulir pasir menghiasi beberapa helain rambut pirang gelap yang dibiarkan tergerai. Hugo pikir, rambutnya sungguh bagaikan bunglon, di beberapa kesempatan dapat berubah keperakan lalu kembali seperti semula. Tak masalah, selama tidak mempengaruhinya ke jalan yang buruk.

"Ada tiga barang yang terlihat biasa, tapi akan berharga untuk seseorang. Sehitam malam tanpa bintang, seindahnya cincin bulan dan sang pelindung yang dapat dikendalikan. Di suatu tempat paling digemari oleh Ibumu." Ia mendadak tersenyum, lalu terdiam menahan kesedihan.

Tempat yang paling digemari Serephina bukanlah Ignis maupun Yu, itu adalah sesuatu yang tak disangka-sangka. Hugo baru menyadarinya dan mendadak teringat ketika sang ibu meminta izin untuk tidur di kamarnya dengan dalih diserang insomnia bahkan mimpi buruk.

Cincin bulan, lukisan yang ia buat bersama sang ayah, Alek atau Lorgan saat perayaan musim dingin. Lukisan sederhana berlatar belakang hitam, dengan keindahan bulan dikelilingi pancaran cahaya membentuk cincin.

Keduanya belum benar-benar terungkap, itu hanya memantik kenangan bukan memecahkan misteri sesuatu yang harus ditemukan Hugo. Apa ia harus kembali ke New York?
Tetapi bagaimana caranya?

Ah, jangan lupakan satu teka-teki. Sang pelindung yang dapat dikendalikan. Lalu, apa petunjuk-pentunjuk itu turut dapat menjadi alasan untuk mengakhiri semua ini?

Dejavu, Hugo duduk di sebuah pohon tumbang. Menghadap langsung ke pantai. Ia tatap burung-burung camar berburu ikan di permukaan air, lalu seekor elang hitam terbang rendah kemudian mendarat tak jauh dari lelaki itu.

"Aku tidak memiliki apa-apa, Teman. Tak ada makanan sedikitpun."

Burung itu seolah manusia, menatap Hugo dengan tatapan bahagia melalui sorot matanya nan tajam. Elang tersebut memekik sambil mengepakkan sayap dengan kaki masih menapak. Hingga, sebuah gulungan kecil terjatuh dari salah satu sayapnya.

Hugo mengambil dengan gerakan pelan. "Apa kau fokus mencari tahu 3 barang itu? Jika kau menemukan surat ini, 2 pilihan sudah tepat berada di pundakmu. Kau juga mungkin keliru seperti ayahmu, sang cincin bulan tidak seindah yang pernah terbayang."

Ketika kata terakhir terbaca, surat itu hancur menjadi debu halus. Menyisakan fakta bahwa teka-teki benar-benar belum terjawab sepenuhnya.

Feniks, sang elang hitam memberitahu namanya dengan menulis di atas pasir menggunakan paruhnya. Ia turut menunjukkan perubah bentuk, dalam sekejap menjadi sang Phoenix. Wujud sesungguhnya.

"Apa kau membunuh wanita itu?" Tatapannya berubah sendu. Kenyataan bahwa Mingxia adalah sang penjahat, membuat Hugo bersedih. Di sisi lain, kepercayaan terkikis. Walau terkadang memori masa lalu sebagai sosok Lucius mencegah Hugo bertindak untuk menyerang wanita tersebut, kini ia meragukan segala tentang Mingxia. Pandangan baiknya pada wanita itu perlahan berubah.

Feniks merespon dengan kepakan pelan. Memang terdengar aneh, tetapi Hugo langsung mengerti apa yang dimaksud makhluk itu.
Ia menghela nafas, lalu beranjak. Berjalan mengikuti kehendak hati, perlahan menjauhi deburan ombak.

Hugo kembali memasuki hutan. Asap membumbung, angin hangat membelai pipi dengan bau kayu terbakar mengusik. Kondisi hutan benar-benar memperihatinkan, mengingatkannya pada peristiwa kebakaran hutan yang marak terjadi di dunia modern.

Lelaki itu terus melangkah tanpa terpengaruh hawa yang sebenarnya tidak sehangat mentari pagi. Entah sang burung api meredam panasnya disekeliling ataukah kekuatan Hugo mengalami peningkatan.

Takdir untuk sang pewaris. Kemanapun ia berada, meskipun tanpa petunjuk arah tujuan. Di penghujung hutan, kemah-kemah berdiri kokoh. Dentingan pedang saling bersahutan, Hugo berlari ketika menangkap bendera putih bersulam Phoenix.

Feniks bertengger di bahu kanan Hugo tanpa melukainya sedikitpun.
Jalan setapak selebar dua meter menjadi pemisah dua kerajaan besar, layaknya jurang pemisah. Lalu, langkah lelaki itu terhenti. Ia merasakan kekuatan yang bertolak belakang. "Apa ini?"

Tiga tahun lalu, ketika ia pergi ke Southern, seorang pemuda berambut cokelat kemerahan pernah berkata, "Fire isn't water, Brother. It will sweep you sometimes."

Seorang pemuda yang tak lagi menjadi asing setelah Hugo tahu siapa dirinya sendiri. "Tapi itu tergantung digunakan untuk apa kekuatan tersebut, sesuatu yang menyalahi aturan akan menjadi bumerang." Ia bergumam.

Feniks memekik, ia terbang memutari area perkemahan pasukan Ignis dengan wujud yang berubah.
Dan Hugo mencari sumber kekuatan itu yang pada akhirnya membawanya ke sebuah sungai dangkal. "Aeros ... kuharap aku bisa pulang secepatnya."

Harapan tercetus, kenyataan lain mengintai. Apakah ini akan berakhir buruk? Hugo merasa tak sanggup memikirkan beragam kemungkinan yang akan terjadi setelah mengetahui suatu fakta yang mungkin inilah petunjuk terakhir.

"Kau juga mungkin keliru seperti ayahmu, sang cincin bulan tidak seindah yang pernah terbayang."

Kalung kristal putih berujung hitam, yang sangat indah dipandang. Namun, semua sirna setelah ia ingat apa yang ada di balik benda itu.
Cincin bulan hanyalah sekedar permainan kata, sosok kandidat besar yang diincar para kegelapan selain dirinya, Li Suyin.




Bersambung
11 Februari 2021

IgnisYu: Jade Of Fire [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang