5. Peristiwa Sekolah

95 13 4
                                    

Erhone terdiam. Bisa-bisanya gadis over happy ini memanggilnya sayang?

"Sayang lo kata? Gue sahabat lo?! Dan terus sampai kapan pun." Rhone berdecak pinggang, sembari menatap tajam gadis aneh itu.

Hening.

Arve langsung meneteskan air mata, kemudian pergi meninggalkan Erhone sendirian. Pria berambut hitam itu sempat mencegahnya, akan tetapi Arve berlari begitu cepat. Untuk kali ini, Erhone merasa sangat bersalah.

"Ini yang salah siapa, sih? Bukannya gue ya, yang harusnya marah? Kenapa jadi dia?" Erhone menghela napas, lalu berlari mengejar Arve.

~*~

"Ar, Ar, lo enggak apa, kan?" tanya Erhone, seraya mendesis gelisah.

Dari dalam kamar mandi, seorang gadis berambut hitam menjawab dengan keras.

"Pergi lo?! Katanya lo enggak butuh gue? Katanya gue yang gila? Katanya gue aneh. Kenapa sih lo enggak pernah ngertiin gue?" Ar kemudian menangis sejadi-jadinya.

"Ngertiin apa? Ada yang salah sama gue?" Er mengernyit heran.

"Lo enggak salah, tapi hati gu— "

"Hati? Lo salah pacaran? Lo salah pergaulan? Makannya, dengerin gue?!"

"Kayaknya lo enggak paham juga."

"Enggak paham apa?" tanya Er, bermuka datar.

"Ah, lupain."

Er menghela napas berat, kemudian ia mengetuk pintu kamar mandi dua kali.

"Ayo Ar, keluar!" pinta Er memelas.

Klek!

Seorang gadis dengan muka berantakan berdiri di hadapan Er. Rambutnya tak tertata, mata hitamnya merah, ia terus saja mengisak ingusnya yang mempet.

"E ... elo kenapa?" Er tertawa kecil, kemudian mengacak-acak rambut Arve.

Ar mendorong keras tubuh Er. "Jangan deket-deket gue!"

Er kemudian memeluk gadis compang-camping itu. Namun sekali lagi, Ar mendorongnya.

"Lo kenapa, sih?" tanya Er, kemudian meneguk ludahnya beberapa kali.

"Gue hampir bunuh diri." Ar menjawab dengan mata kosong.

"Astaga, jangan marah sama gue woi. Gue kan bercanda. Nanti kalau lo gini terus, gue bilang apa sama ortu lo?"

Ar menatap Er, dan membatin. "Jadi, dia cuma mentingin dirinya sendiri? Kenapa dia malah pedulinya sama orang tua gue?"

Er menyadarkan Ar dengan menggoyangkan tubuhnya. "Ar?!"

Ar tersadar."Ya, gue tahu lo cuma bercanda. Dan ... hari ini lo mau temenin gue pulang, kan?"

"Siap Bu Bos!"

~*~

XI MIPA 7. Ya, kelas para siswa penggiat belajar. Namun siapa sangka, justru kelas ini adalah kelas ternakal dari sekian banyak kelas yang dibicarakan di ruang guru.

Er menghela napas, karena lagi-lagi kelasnya ini sangat bising. Ia bahkan tak mau bergaul dengan anak-anak nakal seperti itu. Bahkan, enggak cewek, enggak cowok, sama aja. Geng cewek, sibuk membicarakan orang lain. Sementara geng cowok, sibuk merusak semua fasilitas kelas. Dan ... lagi-lagi satu kelas harus menanggung masalah itu.

Ya, pelajaran matematika. Dengan wali kelas sebagai guru matematika. Setiap hari, selalu mengomel. Er dibuat bosan dengan semua ceramah, yang bahkan ia seharusnya tidak terlibat.

"Anak-anak, sudah berapa kali ibu bilang, jangan main bola di kelas, jangan pecahin jam, rusak papan tulis, dan pecahin jendela. Apa belum paham juga?"

Calon-calon istri masih sibuk ghibah. Sementara calon suami menjawab dengan kasar.

"Belum, Bu?!" serentak mereka.

"Kami enggak peduli dengan pelajaran anda, Bu. Jika memang kita harus ganti rugi, silahkan saja. Anda mau lapor orang tua kami? Silahkan. Asal, jangan usik kebahagiaan kami. Ya enggak temen-temen?" Seorang pria dengan nama Bayu memimpin geng itu.

"Betul kata Bayu?! Lo, guru matematika jahat. Lo gak perlu pikirin kami. Kami udah gede. Lo itu sudah tua," balas Firman, ikut serta dalam keaduhan kelas ini.

Seluruh kelas disambut gelagak tawa.

"Oh gitu, ya?" Awas aja kalian. Saya laporin kalian ke kepala sekolah?!" Bu Dewi mendengus sebal. Ajaran siapa ini? Kenapa murid setega ini dengan guru?

"Emang gue peduli?" cibir Bayu, lalu seluruh kelas tertawa. Kecuali Er.

Bu Dewi sontak keluar dengan membanting pintu. Ini pertanda bahaya bagi Er. Ia tidak mau orang tuanya ikut dipanggil ke sekolah.

Gelagak tawa satu kelas terdengar sampai kelas lain. Kali ini, Bayu berhasil mengusir guru matematika jahat itu lagi. Jam kosong pun menyerang. Yey!

Kring!!

Bel pulang berbunyi kencang. Erhone dengan muka gusarnya, melangkahkan kaki keluar kelas.

Arve tak sengaja melihat pria itu. Ia pun menghampirinya. Kebetulan suasana kali ini hujan berpetir, membuat gadis itu melepas sepatunya agar tak basah.

"Er, lo kenapa? Munyun terus?" Arve tertawa kecil.

"Biasa. Ar yang pendek."

"Ih biasa kali. Mentang-mentang lo tinggi."

Er lalu mengacak-ngacak rambut Ar. "Sudah, enggak apa. Ayo pulang!"

"Setor, beruang es ini gak mau ngomong sama gue!" batin Ar, kemudian tertawa kaku.

Belum selangkah maju, petir menyambar dengan keras. Ini membuat Er sampai terjungkal jatuh. Ar yang melihatnya, merasa keheranan. Begitu juga siswa-siswi yang ada di sekitarnya.

Dari samping, dua orang pemudi membicarakan kecupuan Er.

Arve dengan sigap membantu Erhone berdiri.

"Lo kenapa? Baju lo basah loh!"

"Gue hanya trauma. Ini biasa terjadi."

Ar mengernyit heran. Pria serius seperti Er bisa trauma? Ha?"

"Gimana kalau kita duduk dulu?" Arve membuat Erhone menunggu lagi.

Tanpa banyak bicara, Er menarik tangannya dan membuatnya duduk di lorong kelasnya. Di sana, sudah tersedia bangku bercat putih.

"Jadi, dulu ayah gue hampir kesambar petir. Gue trauma Ar. Gue lihat pakai mata kepala gue sendiri. A ... ayah gue emang gak apa. Tapi ini membekas banget sama masa kecil gue. Bukan gue yang alamin, tapi malah gue yang trauma." Er menggelengkan kepalanya tak mengerti. Apa mungkin karena ia masih kecil, itu alasan mengapa dia sampai sekarang trauma?

Ar tertawa cekikikan.

"Kok lo ketawa, sih?"

~*~

Jangan lupa potenya guys!
Always support me!
Yes?
Ohh ... I hope.
Thank you, tinggalkan jejak komentarnya juga.

Sidoarjo, 26 Januari 2020

Lasmana Fajar Hapriyanto

Er & Ar  ✔️ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang