39. Aku Ikhlas dan Aku Nyerah

27 2 0
                                    

~•~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~•~


Dua hari berlalu sejak tragedi itu. Kini Er berada dalam gelapnya malam. Hanya gelap. Di kamar sendiri. Tanpa rembulan yang kini tertutup awan. Tanpa bintang yang hilang karena polusi dan tanpa kekasih hati di sampingnya.

Air mata itu sekali lagi mengalir membasahi kertas yang saat ini ia pegang di atas meja belajar. Kenyataan membuatnya menyesali kehidupan. Mungkin seharusnya ia yang pantas mati, bukan wanita yang selalu ia sakiti.

Mungkin kau sudah siuman sekarang? Maaf ... aku pernah menyia-nyiakan kamu. Semua sudah menjadi runyam sekarang. Biarkan aku mengembara, menghapus luka yang tak dapat terhapus. Kecewa. Menyesal. Tapi kau tak perlu khawatir, kau akan segera lepas dari jerat ini. Dari hubungan toxic ini.

Seharusnya cinta memang harus diperjuangkan, bukan? Biarkan gue merenung akan kenyataan pahit ini. Sejujurnya gue enggak bisa lepas.

Biarlah yang berlalu. Sekarang gue udah enggak berani menatap wajah lo. Wajah kecewa lo tentang apa yang pernah gue perbuat. Lo pikir ... kenapa sekarang gue enggak ke rumah sakit nemein lo? Itu karena gue enggak siap ketemu lo! Apalagi natap wajah kecewa lo yang selamanya enggak bakal gue lupain.

Cinta itu enggak rumit, yang rumit itu gue! Sekarang ... gue enggak bisa ngelakuin apa-apa lagi selain meneteskan air mata. Gue menyadari, bahwa kau tak akan pernah membuka pintu hatimu lagi. Selamanya! Gue tau lo kecewa! Dan biarkan gue menghapus lukamu dengan mengembara jauh dari lo!

Air mata Er semakin tak terbendung. Sebagian kertas bertuliskan kalimat-kalimat ungkapan itu basah bahkan robek.

Er hanya tersenyum membaca kembali tulisan-tulisan itu. Saat ini ia hanya dapat menyesali kenyataan.

Diambilah kado boneka yang tak sempat ia berikan kepada Ar. Er duduk dan menatapnya sejenak. Ia sadar boneka ini tak akan bisa lagi diberikan kepada sahabatnya itu. Kini ia harus mengembara jauh dari perasaan ini. Perasaan yang enggak bakal bisa menyatu.

"Seperti Sungai Rhone dan Sungai Arve, cinta kita tak akan menyatu."

~*~

Pagi ini Er bersiap pergi ke sekolah. Seperti biasa, sebelum berangkat ia harus sarapan dulu.

"Er, gimana keadaan, Ar?" tanya Bu Mala yang melihat anaknya itu baru duduk di meja makan.

Er tak menjawab.

"Er? Bagaimana?""

Er hanya menggelengkan kepala.

"Sayang ... jangan sedih, dong!"

Bu Mala menghampiri tempat duduk Er kemudian mengelus-elus rambutnya. Sontak Er memeluk tubuh wanita itu.

Er & Ar  ✔️ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang