21. Maafin Dia

42 4 0
                                    

Kelas kini telah dimulai. Er masih saja duduk termenung sembari mencoret-coret bukunya dengan tinta merah, sehingga beberapa dari kertas ini sobek karena tekanan-tekanan yang keras. Perlahan, air matanya mulai mengalir membasahi kertas tersebut. Warna merah di kertas itu pun perlahan memudar.

Hari ini ketepatan mata pelajaran fisika. Dan kebetulan, guru yang mengampu mapel ini sangat galak. Entah masalah apalagi yang akan menimpa Er dengan sifat emosiaonalnya yang akut itu.

"Erhone? Silakan jawab latsis no. 1," pinta Pak Sulaiman, guru Fisika.

Hening. Tak ada jawaban dari pria remaja itu. Ia hanya diam, mencoret, kemudian menyobek kertas itu. Ia seakan tak mau mendengarkan ocehan dari gurunya dan malah asyik sendiri.

Segera setelah melihat muridnya kacau, Pak Sulaiman menghembuskan napas panas, wajahnya memerah, tangannya mengepal, dan jari-jarinya mulai di renggangkan. Ini membuat murid-murid lainya tak berhenti menatap guru fisika itu. Tak ayal, banyak murid yang memilih diam daripada menunjukkan sikap canda gurau seperti yang dilakukannya kepada Bu Dewi waktu itu.

Pak Sulaiman kemudian memanggilnya sekali lagi. Tetap saja nihil. Budak remaja itu sama sekali masih fokus mencoreti buku fisika yang tebalnya sekitar 60 halaman. Bukan tanpa alasan, saking jengkelnya Pak Sulaiman kemudian mengambil sebuah penggaris bak laras panjang berwarna coklat yang sedikit menyeramkan.

Sebelum beraksi, Pak Sulaiman meniup penggaris itu seakan menakuti murid-murid yang lain. Ia menyayat, kemudian mengelap penggaris tersebut dengan kertas. Segera setelahnya, Ia mengangkat penggaris tersebut dan ....

BLUM!

"Arrrrkgg!"

Erhone menjerit kesakitan. Sontak semua murid mendesis bak ular. Bagaimana tidak? Penggaris kayu itu sampai patah hanya karena memukul anak satu saja.

Er beberapa detik menatap tak berdosa gurunya. Tepat di lengannya, langsung membiru bengkak karena ini. Sang guru hanya menatap tajam murid didiknya itu. Bahkan ia sempat menempeleng kepala Er dengan sangat menyakitkan. Guru itu seakan tak peduli bagaimana sikap orang tua Er jika perlakuannya itu ketahuan oleh banyak orang.

Air mata Er tak terbendung lagi. Karena malu, ia langsung mendorong meja kemudian bergegas pergi keluar. Kemana saja, pokoknya jauh dari guru aneh itu.

"Sialan, sialan, sialan, guru gak berperasaan! SIAL!" geming pelan Er seraya berlari menuju kamar mandi.

Di kamar mandi, Er raup untuk membasuh air matanya. Sumpah, sangat menjijikkan. Ia sangat malu. Bahkan pipinya sempat tersipu merah karena dalam perjalanan ke sini tadi, ia masih menangis sesenggukan. Ya, enggak salah juga sih, laki-laki juga punya perasaan. Dan tentunya boleh menangis kapan saja.

Setelah semua selesai, Er menarik napas sejenak. Ia berusaha menyiapkan mental selagi belum kembali ke kelas. Mau tidak mau ia harus kembali. Okey, lets go Er, kamu enggak boleh malu-maluin lagi!

~*~

"Kantin, yuk!" ajak Mimi, teman Ar.

Ar mendorong pelan tubuh Mimi dengan lemas. "Gak ah, lo aja."

Mimi mengernyit. "Kenapa Ar? kamu ada masalah? Sini ceritain sama aku!"

Ar hanya menghela napas. Ia tak ingin menjawab pertanyaan temannya itu.

Siang ini kantin dipenuhi para pencari isi lambung. Hah, sepertinya Ar masih memikirkan kejadian tadi. Perutnya tak menerima makanan untuk sekarang. Sementara itu, Er dan Fatimah duduk bersama di tangga sekolah yang alhamdulillah sepi.

"Sorry, gue salah." Er menunduk sayu.

Fatimah mendongakkan kepala Er dengan kedua tangannya, kemudian menatapnya lama. "Kamu enggak salah! Dengerin, kamu enggak berhak seperti ini."

"Ta-tapi ...."

"Stttssst ... Jangan bicara lagi!"

"Fat, lo enggak tau. A-Ar itu sahabat gue dari kecil. E-lo tau kan gimana perasaan gue?"

"Aku tau Rhone, A-aku juga enggak nyangka." Fatimah mulai meneteskan air matanya, kemudian jatuh ke ubin putih tangga. "A-aku tau perasaanmu. AKU TAU! Tapi aku minta, kamu bisa memaafkan, Ar. Dia sahabatmu. Dia lebih berharga ketimbang aku. Ini bukan kesalahan satu sampai dua kali, kan? Kamu pasti udah ngalamin banyak masalah dari kecil sama dia! Jadi kamu enggak usah merasa down banget, aku enggak apa."

"Tapi tetep aja gue salah. Gue nyesel temenan sama dia. GUE NYESEL. GUE NYESEL UDAH JATUH ..."

Fatimah mengernyit. "Jatuh?"

"Emm ..., maksud gue kejebak sama pertemanannya." Er langsung menghembuskan napas lagi.

"Oh, kamu enggak perlu nyesel kok. Aku tau, Ar itu wanita yang baik. Buktinya, dari dulu pertemanan kalian masih tetap jalan, kan? Pasti Ar punya alasan Rhone. Kamu enggak perlu cemas. Tapi ...." Fatimah langsung menangis sejadi-jadinya. Ia memegangi dadanya yang sesak, kemudian sesenggukan. "A-aku sempet mikir, adilah ini? A-aku pingin keadilan. A-aku ingin kamu putusin segala hubunganmu dengan, Ar. Ta-tapi aku enggak bisa egois gitu. Kamu sahabatan udah dari kecil, a-aku memaklumi itu. Cuma aku ... a-aku hanya ingin meminta keadilanmu, Er."

Er terdiam. Bagaimana ia sanggup jauh dari Ar? Sedangkan melihat wajah polos Fatimah, Er juga enggak tega. Ini merupakan kesalahan besar dengan menerima cinta Fatimah yang jelas-jelas Er enggak cinta dia.

"Gu-gue akan berusaha semaksimal gue." Er menatap Fatimah seraya tertunduk. Ia kemudian terpelungkup sembari menopang kepalanya.

"Thank you, Er!" sahut Fatimah lalu memeluknya dengan erat.

~*~

Pikir author, Ar juga ga sala si ..😭
Tapi gimana lagi ya, Ar udh buat kesalahan besar.
Ntah hukuman apa lagi yang menimpa Ar selanjutnya? 😌
Happy Independen Day Indonesia 🇮🇩🇮🇩🇮🇩

Sidoarjo, 17 Agustus 2021

Athormu ...💛

Er & Ar  ✔️ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang