4. Makna Kunang-kunang

90 16 6
                                    

"Kunang-kunang sudah gue anggap seperti hidup gue sendiri. Bila satu persatu mereka mati, maka gue pun akan ikut mati. Lo lihat lampu itu?" Arve menunjuk beberapa kunang-kunang yang telah menyinarkan lampunya.

Erhone hanya mengangguk.

"Kau tahu, ada makna dibalik semua ini? Gue bisa dibilang over ceria. Di umur gue yang sekarang ini, seharusnya tingkah gue enggak kayak anak remaja. Seharusnya gue kayak lo. Masih polos dan belum bau tanah. Sedangkan gue? Gue dipaksa hidup menderita, karena Papa sama Mama gue selalu bertengkar. Itu sama aja buat gue gak betah lama-lama di rumah. Lo tahu? Setiap kunang-kunang besinar, gue selalu berharap kehidupan gue nantinya bakalan lebih indah dari kehidupan biasanya. Gak kayak lo?! Kalau kata orang Jawa, culun, adem, ayem, lan tentrem. Kehidupan indah bagi gue, yaitu punya kekasih yang bisa sayang gue, walau gue bodoh. Dan ... gue juga ingin, orang tua gue kembali normal seperti kala mereka jatuh cinta."

"Gede juga ya, harapan kamu." Er menggaruk dagunya yang tak gatal.

"JANGAN PAKAI KAMU AKU?! Emang lo sama gue udah pacaran apa?" balas Ar cepat.

"Kalau di sini, pakai kamu dan aku itu, bukan berarti pacaran." Er tersenyum, kemudian menatap lembut Ar.

"Kalau lo mau temenan sama gue, lo harus pakai aksen ini! Kalau lo tetap kayak gini, berarti fix kita pacaran malam ini?!" Ar menatap tajam Er.

Er tersentak. Ia mendongak, lalu membesarkan matanya. Bisa-bisanya cewek gila kayak gini ngajak pacaran dengan begitu cepat? Er yakin, gadis itu sudah memiliki banyak mantan. Apa itu wajar?

"Gimana sayang? Kamu setuju?" Arve mengusap pipi Er perlahan-lahan, dari kanan sampai kiri.

Er meneguk ludah."Enggak, gu ... gue masih kecil. Gu-gue ... pingin jadi sahabat e-elo aja."

"Sahabat?"

Er hanya mengangguk. Bahkan untuk sekedar mengucapkan kata jadian saja sudah jijik. Ia sama sekali tak ingin menjadi manusia bejat, hanya karena cewek cerewet ini.

"E-elo itu remaja sebelum waktunya, ya?" tanya Er, tampak tercekat.

"Menurut lo?"

Er mengangguk, lalu meneteskan keringatnya.

"Gue kelihatannya aja polos. Tapi ... sebenarnya gue suka jingkrak-jingkrak."

Ar dan Er kemudian tertawa sangat kencang.

"Oh ya, lo itu tinggal dimana sebelumya?" Entah kenapa semenjak Ar cerewet, Er juga ikutan angkat bicara. Padahal sebelum ini, dia sangat pendiam seperti ikan.

"Jakarta." Ar menarik napasnya, kemudian membuangnya secara perlahan.

"Ar, masuk rumah cepat! Kita tidur."

Dari dalam rumah, Bu Susi sudah koar-koar. Daripada ibunya marah, mendingan Ar cepat masuk rumah.

"Gue pergi dulu, ya?" Arve meminta izin kepada Rhone.

"Pergi aja sana. Gue gak bakal rindu kamu kok?! Eh, elo!"

Ar hanya menatap Er selama sedetik, kemudian beranjak ke kamarnya. Sebelumnya ia meletakkan kunang-kunangnya dibawah pohon. Sementara Er, hanya diam dan berpikir aneh-aneh mengenai gadis cilik itu. Antara anak brandal, atau anak baik-baik? Apakah pantas menjadi sahabatnya?

~*~

Beberapa tahun kemudian ...

Seorang gadis bermata sipit sedang berlari mengejar seorang pria bertubuh tinggi. Tinggi pria itu mungkin sekitar 170 cm. Berbanding terbalik dengan gadis yang dikejarnya. Tinggi gadis itu hanya 162 cm. Lumayan tinggi, tapi mungkin memerlukan beberapa susu dan gandum untuk perkembangannya.

"Woi, seragam gue basah tau?!"

Gadis rambut panjang itu merasa gusar, karena sahabatnya menyiramkan air ke baju putih abu-abunya.

"Biar lo dimarahin guru?!" Sahabatnya itu malah mengejeknya. Namun ia tetap tak peduli dengan kondisi  gadis tadi. Ia masih tetap sama. Pria berhidung mancung, dengan karakter es batu.

"Er?! Dengerin gue. Gue gak kencan sama cowok itu kok?!"

Arve. Seorang gadis kecil, yang kini usianya sudah menginjak 17 tahun.

"Gak peduli. Lo bukan siapa-siapa gue?!"

Erhone. Cowok 17 tahun dengan emosi yang sama. Mata besarnya terbelalak ketika Arve makan berdua bareng cowok lain. Kali ini, Arve harus bisa mencari alasan agar Erhone percaya padanya.

"Lo cemburu, ya?" tanya Arve. Ia masih mengejar sahabatnya itu.

Er mendadak berhenti jalan. Ia kemudian membalikkan badannya ke arah Arve di belakang.

"Cemburu lo bilang? Gue cuma gak mau lo bergaul sama cowok brandal gitu?!" sahut Er.

"Terus gue harus gimana? Gue gak betah gak pacaran, kayak lo." Arve meninggikan suaranya.

"Serah lo, gue gak peduli." Er langsung pergi dengan jalan cepat. Di susul oleh Ar, yang menggelayuti lengan Er.

"Er, Er. Tunggu gue dong. Gue mau jelasin?!"

Er menepis tangan Ar.

"Gue mau ke kelas. Mulai sekarang gue gak peduli sama lo!"

"Beb, Beb. You crazy?" Arve memelas, seakan tak berdosa.

"YOU CRAZY MY FRIEND?!" balas Er.

"Sayang? Emm ... lo sayang gue, kan?" 

~*~

Cukup banyak dialognya ya?
Spesial deh buat yang setia nunggu cerita ini up!!
Semoga suka ya ^^
Insyaallah

Sidoarjo, 20 Januari 2021

Er & Ar  ✔️ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang