36. Ar Sudah Tahu!

24 2 0
                                    

~•~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~•~

Malam ini Er membuka jendela rumahnya lebar-lebar. Menatap rembulan, tergambar senyum wanita idamannya. Angin bertiup kencang, membuat lembaran-lembaran kertas mulai berceceran. Tirai hitam milik pria itu hilang arah terbang sesuka hatinya.

Suasana ini sama dengan suasana di hatinya kini. Badai pun mengguncang perasaannya antara persahabatan dan cinta. Pria itu tak dapat memilih. Jika ia memilih salah satu di antara keduanya, mungkin saat ini persahabatan adalah jalan yang terbaik. Gue belum berani!

Ia sesekali memikirkan keadaan gadis itu. Ia mencoret-coret buku belajarnya, kemudian menyobek dan menelantarkannya saja di lantai. Gimana ya keadaannya sekarang?

Decitan pintu kamar Pria itu terdengar nyaring di telinganya. Sepertinya ada yang masuk ke kamar. Benar saja, Bu Mala dengan membawa gagang sapu masuk ke kamar itu. Er sesegera mungkin menatap Mamanya dengan keadaan yang kurang jelas karena kamarnya yang gelap. Mama?

Bu Mala mendorong saklar lampu. Kini kamar yang gelap sudah terang seperti sedia kala.

"Ma, ada apa?" tanya Er mengernyit keheranan.

Bu Mala berjalan mendekati tubuh Er yang masih duduk di kursi meja belajarnya. Sesegera mungkin Bu Mala menyisir rambutnya. Wanita itu mengelus-elus rambut Er bak kucing yang ingin sekali dimanja. Bu Mala sadar, kini Er butuh dukungan darinya.

"Er, sana tidur! Dah malam, besok lagi!"

"Ma, Er masih khawatir sama, Ar!" Er mendongak menatap mata Mamanya.

Bu Mala menggeleng tak mengerti dengan sikap anak ini. "Er ...."

Er menghela berat. Ia harus menuruti permintaan mamanya hari ini. Namun, percuma saja ia mencoba tidur. Malam ini bahkan pikirannya hanya tertuju pada sahabatnya yang masih di rumah sakit.

Huft ... sejak 3 hari yang lalu lo ada di rumah sakit. Lo enggak kangen sama gue? Hahaha ....

~*~

Ar terbaring kritis di ruangan yang terbilang cukup besar. Selang oksigen yang menempel padanya mengeluarkan uap-uap panas dari hidung wanita itu. Tampak usaha Ar untuk terus bernapas, berusaha tak akan pergi secepat ini. Ia terus bertahan. Dalam batinnya, ia masih memiliki secercah harapan memiliki pria yang dicintainya.

Sementara jasad Rama telah diambil oleh pihak keluarga. Sayangnya, pria itu bahkan tak mendapat perlakuan istimewa layaknya jasad Alfano. Bahkan saat-saat terakhirnya, Er dan seluruh orang yang terlibat tak dapat ikut ke sana karena lokasi yang sangat jauh. Mereka hanya dapat meminta maaf dan meyakinkan pihak keluarga bahwa takdirlah yang salah karena merenggut nyawa pria tak bersalah itu.

Ar mulai menggerakkan jari-jemarinya. Beberapa menit kemudian, telapak tangannya yang diinfus pun mulai bergerak. Bu Susi yang menemani anaknya itu, terperanga kaget. Dia siuman! Dia siuman! Bu Susi tak dapat menahan air mata kebahagiannya keluar. Sesegera mungkin ia memanggil dokter spesialis yang merawat Ar.

Tampak goresan senyum kini mendarat di pipi wanita itu. Saking tak sabarnya, Bu Susi sampai mendorong-dorong dokter itu agar segera bicara tentang keadaan anaknya saat ini.

"Alhamdulillah, anak ibu sudah siuman. Ia sudah melewati masa-masa sulitnya." Pria berjas putih itu tersenyum sembari menyentuh pundak Bu Susi.

Bu Susi menghembuskan napas lega. Bahkan paru-parunya kini sesak karena mendengar kabar baik ini.

"Terimakasih, Dok!"

Mata Ar kini mulai bergerak-gerak. Tiba-tiba saja, perlahan matanya terbuka. Ketika membuka matanya, Ar masih belum sadar ia berada di mana dan apa yang tejadi. Masih samar-samar untuk melihat wajah ibunya.

Ar mendesis kesakitan memegangi kepalanya yang habis terkena benturan aspal. "Ssssttsttsttstttsss ... ahh ...."

"Pelan-pelan, Ar ...." Bu Susi menopang kepala anaknya itu.

"Ma-mama?"

"Iya, Ar. Ini, Mama!"

Ar mulai bisa melihat wajah Mamanya itu dengan jelas. Gadis itu segera mengangkat badannya, berusaha untuk duduk.

"Al ... Alfano mana, Ma?" tanya gadis itu, membuat Bu Susi langsung tercekat.

Gadis itu mulai mengingat memori yang pernah ia alami. "Ma?"

Bu Susi berkeringat. Badannya gemetar. Jantungnya pun berdetup kencang. Ia tak kuat mengatakan hal ini kepada anaknya itu.

"MA, JAWAB, MA!" Ar mulai menyentak Mamanya. "MAMA JANGAN DIEM AJA GINI!"

Bu Susi tak dapat menjawab.

"MA! KALAU AR ENGGAK DAPET JAWABANNYA SEKARANG, AR MAU CARI SENDIRI KE LUAR!" ancam gadis itu, kemudian seakan-akan ingin mencopot infusnya.

"Eh, eh, Ar! Jangan dilepas!" Bu Susi menggelayut lengan Ar. "Al ...."

"Al kenapa?" tanya Ar menggebu mencoba fokus menatap mata Mamanya.

"Dia sudah enggak ada!"

Arve terdiam. Dia tertawa cekikikan. Ini semua tidak mungkin baginya. Ia tak percaya Al pergi.

"Hahaha, pergi, Ma? Jangan bercanda!" Ar langsung mencabut infusnya dan berjalan ke luar ruangan.

Bu Susi berusaha mencegatnya, tetapi tak bisa.

"Ar, tunggu!"

Bu Susi tak dapat mengejar anak gadisnya itu yang mulai menjauh. Ar tampak frustrasi dibuatnya. Ia membuka satu persatu pintu rumah sakit. Bahkan ia menerobos pengawas kamar jenazah, kemudian mengacak-acak kerukup jenazah mencari orang yang kini sudah tak ada lagi di dunia.

Bu Susi mengikuti langkah Ar masuk ke kamar jenazah itu.

"Ar, kamu udah enggak waras?"

"Ma, Al enggak ada di sini. Pasti dia di rumah, kan?" Ar menyahut.

"Al sudah pergi ke rumah yang di atas, Ar! Tolong kamu ngerti!"

Bu Susi kini melangkahkan kakinya menuju anak gadis itu yang kini tersungkur di kaki-kaki ranjang jenazah.

"Ar harus sabar, ya?"

"Sabar terus sampai kapan, Ma?"

Bu Susi memeluk hangat anaknya itu. "Tuhan punya rencana. Ia baik."

"Enggak, Tuhan tuh jahat, Ma! Tuhan buat Ar selalu menderita!"

"Ar, lihatlah segalanya lebih dekat! Renungkan ... ada rencana yang indah di balik ini semua. Mama yakin, kematian Alfano enggak selalu bawa kesedihan, akan ada hari yang indah. Mama sangat-sangat yakin ...."

Ar mengisak tangisnya. Mama benar. Ia harus melupakan kejadian kemarin dan berfokus ke masa depan. Seharusnya ia bersyukur karena masih diberi keselamatan. Apa kata Alfano di sana saat melihat ia menangis? Pasti sangat sedih!

Gue harus hidup! Dan gue harus tetap kuat! Ar mengsap air matanya. Badannya tegak, mencoba bersikap tegar. Gue bisa keluar dari kesedihan ini!

~*~

Ar bisa yuk ...🥺💛
Semangat dong!
Dan vote and comment nya jg wajib semangat:)))
Papay!

Jumpa lagi di part berikutnya yang membagongkan:))

Sidoarjo, 06 Desember 2021

Authormu 💛☺️

Er & Ar  ✔️ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang