14. Bukan Obat Hati

43 5 0
                                    

"Nih, obat buat lo!" Ar menyodorkan sebuah kotak P3K sembari tersenyum. Hening. Er tak dapat berkata apa-apa. Hari ini adalah hari sialnya. Entah mengapa Geng Bayu kampret itu memukulinya disaat yang tidak tepat.

"Sakit?" tanya Ar sembari mengangkat satu alis kanannya.

"Ya, sakitlah Dora!"

Ar langsung tertawa kecil sembari membungkam mulutnya. Al kemudian datang, dan Er mulai membuka kotak P3K tadi.

Kabut asap bakar-bakar terus menyengat dari arah kanan. Kebetulan di taman ini, sekitar beberapa centi meter ada tempat pembuangan sampah organik. Namanya sampah organik, dampaknya pun tak separah sampah anorganik. Contoh sampah organik ialah daun.

Al menghela napas. "Ar, dah sore?! Ayo pulang! Ngapain sih, enggak ada habisnya nungguin anak manja di taman sampai jam segini."

Er menatap Al tajam.

"Ar, lo pulang aja sana!" Er tertunduk pasrah.

"Ta-tapi, Es? Eh, Er!"

"Ya Tuhan, apa dosa gue? Lo enggak denger?"

"Enggak!" bentak Ar, lalu menatap Al. " Sorry Al, Er sahabat gue dari kecil. Seculun-culunnya dia, enggak ada yang lebih baik dari dia."

Ar kemudian duduk jongkok. Ia mengambil sebuah plester, obat merah, alkohol, dan kapas. Kemudian ia membuka setengah baju Er, dan mengobatinya dengan penuh rasa.

Untuk luka memar, ia memoleskan salep dan membasahi kapas dengan air hangat yang telah dibawanya sedari tadi.

Er hanya menatap Ar nanar. Janjungnya berdetup dua kali lipat. Wajahnya tiba-tiba pucat. Ini membuat rasa semakin tergores terlalu dalam. Entah bagaimana menghilangkan rasa itu. Semakin coba tuk menjauh, rasa itu semakin mendekat.

Al menatap Er dengan geram. Napasnya panas. Matanya memburu sedari tadi. Ia tak tahan dengan perlakuan Arve yang sok perhatian dengan Pria Es itu. Dasar caper!

Setelah beberapa menit, Ar sudah selesai mengobati pasiennya. Kini, Al langsung menarik lengan Ar dengan paksa.

"Sudah selesai kan pengobatannya? Ayo pulang, Ar!"

"Al, stop lo ngatur gue! Gue bisa pulang sendiri!" Ar langsung pergi, tapi Al langsung menggelayuti lengannya.

"Maaf."

Ar terhenti. "Ok."

"Lo mau pulang bareng gue, kan?" Al menatap Ar serius.

"Ok."

Al langsung sumringah. Ia menghembuskan napas lega. Kemudian ia langsung menarik lengan Ar dan memintanya naik ke motor. Sebelumnya ia menggunakan helm terlebih dahulu, baru mereka cus pergi meninggalkan seberkas luka dalam di hati Er. Er hanya tersenyum menyembunyikan luka.

Selang beberapa menit, suara klakson sepeda metik dengan merek scup* terdengar. Seorang wanita hijab merah, melepas helmnya. Er menyempitkan matanya. Ternyata Fatimah datang.

"Ma-maaf, kamu enggak apa? A-aku habis ada rapat OSIS. Apa kamu sudah diobati? Aku juga baru dapat kabar tentang ini."

"Satu-satu atuh, Neng. Gue enggak apa. Gue udah diobati."

"Siapa yang mengobati kamu? Aku ... enggak lihat siapa-siapa di sini?"

"Ar!"

Fatimah terdiam.

~*~

Malam ini Al berada di rumah di rumah Er bersama Ar. Niatannya hanya main-main saja. Ibu Er, mempersilahkan mereka main di kamar tidur, atau lebih baik di ruang tamu.

"Ar, lo ngajak si anak ceplos ini ke rumah gue? Buat apa, Ar?" Er menarik napas panjang.

"Anak ceplos?"

"Ya-ya kan mulutnya suka ceplas-ceplos!"

"Oh. Ya main lah, terus ngapain lagi?"

"Kita kan bisa main berdua aja!"

"Enggak seru, Beb."

Al tiba-tiba datang. Tanpa sengaja ia mendengar percakapan mereka. Ia menggaruk dagunya yang tak gatal. Rasa curiga mulai muncul. Benarkah ada rasa di antara mereka? Rasa yang tak dapat ia pahami jika hanya sekedar dilihat.

"Eh, Al. Maap, ya!" Ar tertawa pelan.

Al hanya tersenyum canggung. Ia seperti kacang saja di rumah ini. Lantas, siapa yang pacar siapa yang sahabat?

Al tak mengerti itu. Ia langsung memasuki kamar Er tanpa sepengetahuan Ar dan Er. Kebetulan Ibu Er ada di dapur. Ini kesempatan berharga untuk menyelidiki rasa terpendam yang selama ini menjadi tanda tanya.

Al membuka pintu kamar coklat Er. Ia kemudian mulai mencari tanda-tanda cinta di almari. Insting Al memang tepat. Tanpa mencari ke mana-mana, ia malah memutuskan mencari di almari terlebih dahulu.

Ia menemukan secarik kertas. Tulisannya rapi dan penuh cinta. Al mulai menggaruk kepalanya. Apakah ini surat pribadi Er yang pernah ditulisnya?

~*~

Author deg-degan nih kalau sampai Al tau surat itu:)
Takut, cemas, rasanya aneh. Random and campur sari. Eh, campur aduk.
Gimana part ini?
Aku harap kalian ninggalin komentar dan vote. Aamiin.

Sda, 30 Mart 2021

Sda, 16 Sya'ban  1442

Authormu 💛🇮🇩

Er & Ar  ✔️ [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang