12. Mahesa

7K 280 0
                                    


As dan King—memungkas permainan 1 round nya seorang pria berkepala plontos, ia lalu menenggak sisa bir di botolnya dalam sekali tandas.

"Gue cuma mau pemanasan ajah, lama nggak main di tempat kayak gini," sahutnya beralih ke rokok yang sempat ia tinggalkan di asbak.

sebuah tempat karaoke di pinggiran kota menjadi kamuflase sekelompok orang yang berjudi pada hari-hari tertentu. Ruangan yang tidak terlalu luas itu penuh kepulan asap rokok bercampur bau minuman keras.

"Heheh saya kira Abang udah tobat," balas seorang pemuda berambut gondrong sembari menyodorkan sebotol bir yang baru waitress buka untuknya.

"Gue tau lu ada maksud nyariin gue kan?" tanya si plontos sembari mengambil bir yang disodorkan tersebut, ia kembali menenggaknya.

"Roni sama yang lainnya masih di tahan, apa Abang nggak kasihan mereka lama di sana?"

"Dimas lu emang masih bocah, tapi bukan berarti lu bisa di suruh sana-sini kayak jongosnya Roni." Ia kembali memghembuskan asap rokoknya.

"Jadi Bang Esa sebenernya mau nganggep kita apa?" tanya Dimas takut-takut sambil sesekali melirik tumpukan rupiah di meja taruhan.
Esa yang menangkap ke mana mata itu tertuju, segera mengisyaratkan seorang pemandu wanita untuk membereskan uang hasil kemenangannya.

"Lu mau gue bebasin mereka?"
Esa mengamati pemuda yang duduk di sampingnya itu dengan tidak sabar, menggaruk-garuk lehernya yang dipenuhi rajah hingga menjalar ke balik telinganya.

"Sejak Roni ketangkep, kita udah jarang main Bang. Nggak ada yang percaya mau bawa kita. Sekarang sepi, banyak yang nganggur."

Tumpukan uang sudah dimasukan ke dalam sebuah tas tangan hitam. Si pemandu wanita menggesernya ke arah Esa, berjongkok sesaat sambil berbisik ke telinganya, bagian belakang blouse putihnya yang super ketat terangkat sementara bagian depannya semakin mempertontonkan belahan dadanya yang cukup lebar.
Esa hanya mengangguk, ia ambil beberapa lembar uang dari dompet tersebut lalu menepukkannya ke pantat si wanita yang di balas dengan senyum sumringah. Si wanita mendaratkan kecupan di pipi Esa sebagai tanda terimakasih lalu berbalik pergi.

"Gue sebenernya nggak mau ngurusin ginian, siapa ajah yang ikut main pas mereka ketangkep?"

"Edi bos kayu dari Kalimantan dia nggak ditahan, yang di penjara tiga orang, Rony, Putra, Ismo sama si Karina–bininya, tapi tuh cewek udah dibebasin ortunya. Terus Riska, dia nggak di tahan kayaknya sih dia punya kenalan orang kaya."

Esa menggeser kursinya ke belakang, mengangkat kedua kakinya ke meja. Lampu yang berpendar warna-warni di setiap sudut ruangan sesekali menyorot wajahnya yang terdapat beberapa bekas luka.

"Tuh cewek masih ajah nggak kapok, masih sering ikut kalian main?"

"Riska maksudnya Bang?"

"Hmm."

"Iya Bang, dia kan pengen banget nantangin Abang."

Tawa nyaringnya seketika menggelegar berpadu dengan dentuman musik yang menggema.
"Hahahah. Riska-Riska, ditidurin nggak mau, malah maksa nantangin gue, sampe lebaran monyet juga nggak bakal menang."

Dimas mundur untuk menggeser duduknya. Mungkin sedikit ngeri baginya mendengar tawa nyaring Esa.

"Eh, Bang maaf sebelumnya nih, jadi bantu buat bebasin Roni apa enggak Bang?" tanya Dimas sembari membungkukkan badannya di kursi tanda hormat pada seseorang yang dianggap legend nomor satu di dunia perjudian kampung mangga.

"Gue pengen tau niat tuh cewek sampe mana ngikutin lu pada."
Melihat ekspresi Dimas yang bergeming di kursinya, Esa pun menambahkan. "Lu tau kan maksud gue apa?"

"Eh,I--iya Bang," jawab Dimas tergagap

"Lu harusnya banyak belajar ke mereka jangan cuma jadi jongos ajah."

Pikiran Dimas sepertinya tengah berkelana, menimbang lalu memutuskan aksi apa yang akan dilancarkannya.

-------

…Ia merasakan bilah logam yang dingin menyentuh kulit lehernya, Riska melirik sekilas—sebuah pisau tampak berkilat di temaramnya ruangan.

Kalo lu teriak, gue bakal gorok nih leher."
Ancaman dari sebuah suara yang terdengar tidak asing bagi Riska, dia sedikit mendongak hati-hati dan melihat wajah dari si penodong adalah Dimas—komplotannya Roni dan juga termasuk kawan judi Riska.

"Mau apa lu?" tanya Riska dengan tenang.

"Lu tau kan mereka lagi di penjara. Dasar pengkhianat!" makinya sambil mengeratkan cengkaramnya di pergelangan tangan Riska.

Merasa disebut pengkhianat tentu saja Riska tidak terima karena justru dirinyalah yang merasa dikhinati.

"Lu pada tuh yang pengkhianat! Udah pantes masuk penjara, biar mampus sekalian di sana!" teriaknya, Riska berusaha melepaskan diri namun, pergerakannya benar-benar dikunci.

Riska lalu berusaha menendang tulang keringnya sekuat tenaga, Dimas sedikit goyah namun, hal ini justru membuat pisau di leher Riska berhasil melukainya, dia merasakan sedikit rembesan dari kulit lehernya.

"Diem lu! Kalo lu gerak dikit, gue serius bakal ngiris leher lu lebih dalem."

"Apa mau lu?" tanya Riska agak terbata karena kini dia merasakan perih di tenggorokannya.

"Gue mau lu dalam waktu 3 hari ngelunasin hutang-hutang lu, dan bebasin mereka dari penjara. Kalo lu sampe lapor polisi, lu bakal tau akibatnya"

"Ka--kapan gue punya utang ke lu pada ha?"

"Sebelum Roni masuk penjara lu udah numpuk utang ke kita. Lu nggak sadar apa.Lu pikir gratis maen sana-sini tapi ujung-ujungnya kita yang minjemin."

Riska mengingat-ingat kapan ia pinjam uang ke mereka, main sih sering, kalah juga apalagi, tapi pinjam duit ke mereka? Tunggu- jadi selama ini Riska di bohongi? Katanya 'tenang ajah, nggak usah mikir duit, yang penting lu main dulu ajah'. Itulah kalimat yang sempat ia ingat.

"Ber--rengsek lu!" seru Riska. Namun, suaranya seakan tertelan kembali.

"Denger ya, gue tunggu lu buat bayar tebusan Roni dulu, kalo lu coba-coba lari atau ngomong ke seseorang, gue bakal pastiin lu nggak bakal bisa lihat Mahesa lagi."

Mahesa–mendengar nama itu lagi membuat Riska kembali membulatkan tekadnya. Hanya melalui lelaki itulah satu-satunya cara agar Riska bisa bertemu dengan sesorang yang selama ini ia cari. Janji yang sudah ia ikat dalam hidupnya akan memulai langkah awal perjalanannya.

"Gue tunggu lu 3 hari lagi di gang jambu, di belakang bekas pabrik tahu jam 9 malem. Dan inget jangan  sampe ada yang tau!"

Dimas melepaskan cengkramannya dan mendorong Riska hingga jatuh. Ia membuka pintu lalu pergi begitu saja.

Riska buru-buru membuka laci di meja riasnya, mencari-cari plester atau apapun yang bisa menghentikan darah yang tak seberapa itu di bandingkan rasa nyerinya. Riska membersihkan lukanya dengan hati-hati lalu menutupnya dengan plester. Ia menatap pantulan lehernya di cermin lama sekali sampai sebuah kalender di ujung ruangan membuyarkan lamunannya, tanggal yang tercetak di sana—yang ia lingkari dengan spidol merah mungkin masih sangat lama namun, di tanggal itulah ia merasa harus membayar janji hidupnya yang mungkin terdengar tak masuk akal.

.....***......

- makasih udah baca jangan lupa tinggalin vote/komen ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

- makasih udah baca jangan lupa tinggalin vote/komen ya

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang