Keseharian Riska selama ini ikut mengawasi sebuah kafe yang dibangun dari warisan engkong yang tentu saja hasilnya masih berlebih lebih. Dia sudah merencanakan untuk masa depan anaknya kelak dan hidupnya juga.Siang itu ia langsung masuk ke pintu 'manajer' tempat di mana dia bisa melamun seharian di balik laptop. Ada beberapa karyawan dan seorang supervisor yang ia rekrut namun, dengan dalih mau ikut langsung terjun ke lapangan Riska justru menghabiskan sebagian besar waktunya di ruangan tersebut dengan melamun.
Sebuah ketukan bernada mendesak membuyarkan lamunannya. Riska menegakkan punggung.
"Iya masuk."
Pintu terbuka salah seorang karyawannya masuk dengan sopan.
"Permisi, Bu sudah ditunggu pak Salim dari Sinar ice cream."
Riska mengangguk tersenyum lalu berjalan keluar.
Pria yang ia temui itu adalah sales marketing dari produk yang akan menjadi supplier tetap penunjang kebutuhan di kafenya. Setelah berbincang dan menegosiasikan bentuk kerjasama mereka maka disepakatilah Riska mengambil kontrak 3 bulan dulu untuk uji coba produk, kalau ternyata pengunjung memberi respon positif maka ia akan melanjutkan kontraknya.Pak Salim pamit sudah lebih dari sejam lalu namun, Riska masih tak beranjak dari tempat duduknya. Ia menopangkan dahi dengan salah satu tangannya sementara satu tangannya diam-diam mengusap perutnya. Bagaimana kalau kehamilannya semakin membesar? Apa yang harus ia katakan pada uwanya? Pada keluarga Fathir yang masih sering mengunjunginya? Kenapa Fathir belum kembali juga? Padahal ia ingin segera menyelesaikan ini. Abi dan mami juga tak memberi alasan pasti kapan Fathir kembali karena mereka sendiri juga tak tahu kenapa Fathir masih di sana lebih dari permintaan abinya dulu, menurut celetukan yang ia dengar kalau Fathir memang masih harus menyelesaikan beberapa hal di sana.
Kini Riska menopang dahinya dengan kedua tangan sembari mengurutnya sekilas. Ia memejamkan mata sejenak yang tahu-tahu dirinya merasa ringan, kedua lengannya terkulai seiring dengan kepalanya yang membentur meja, semua berubah kabur dan menggelap seketika.
Wangi lavender bercampur bau antiseptik yang samar perlahan mengusik hidungnya. Riska membuka mata lalu berusaha bangkit namun, sejenak ada yang menahan pergelang tangannya. Riska menoleh dan mendapati seorang pria tengah tersenyum ke arahnya. Pria itu tampak sedikit berbeda penampilannya, sekeliling rahangnya ditumbuhi cambang halus, sorot matanya cekung dan sayu, rambutnya tampak lebih lebat.
"Ngapain lu ke sini?" itulah kalimat pertama yang meluncur dari mulutnya.
Fathir tak menjawab, ia justru langsung memeluknya dan berbisik. "Jemput bini sama anak gue yang masih di perut."
Riska terhenyak. Jadi Fathir tahu kalau dirinya tengah hamil, ia semakin yakin kalau sebentar lagi seluruh keluarga akan tahu. "Lu nggak perlu susah-susah nyamperin ke sini." Riska berusaha menarik lepas lengan yang melingkari tubuhnya.
"Kangen banget." Fathir mencium kepalanya sebelum melepas kedua lengannya dengan enggan.
Riska berusaha turun dari ranjang, Fathir yang melihat ini sigap memapahnya. Riska justru gusar dan menepisnya kembali.
Uwa dan Ulfa berjalan tergesa memasuki kamar, melihat dirinya yang kini tengah berdiri dalam lingkaran lengan Fathir— setelah sekian kali Riska berusaha menampiknya, mereka tampak lega. "Riska. Lu hamil kok nggak bilang-bilang sih." Uwa berkata lemah mungkin sudah lelah mengomel.
Riska tak mau menyahut, ia kini lebih memilih diam bahkan saat Fathir berkali-kali mengajaknya bicara sepanjang jalan menuju parkiran rumah sakit. Pria itu membukakan pintu depan mobilnya namun, Riska berdiri diam di pintu penumpang. "Ulfa lu yang duduk di depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Riska
RomancePRIVATE ONLY 21+ 🔞 --(Konten Dewasa) Menghabiskan banyak uang di perjudian mungkin menjadi cara Riska menikmati hidupnya selain karena sebuah janji yang ia buat. Ketika segalanya berada di titik serba tidak pasti dan situasi dimana ia didesak dana...