47. Sandiwara

4.2K 238 6
                                    

🌠

Disisa malam pernikahannya sepasang pengantin itu tampak masih betah di ruang tengah, mendengar para anggota keluarga saling bercerita dari mulai membahas soal silsilah sampai membahas negara dan seisinya. Riska berusaha mengimbangi obrolan dengan cara paling aman yaitu hanya mengangguk-angguk dan sesekali tersenyum. Agar tak terlihat bodoh pikirnya, tapi Fathir beberapa kali mengajukan pertanyaan yang mengundang pendapatnya dan sekali lagi Riska semakin terlihat bodoh.

"Selera Japa berubah rupanya. Gini dong biar nggak tegang-tegang amat hidup kamu." Om Hasan—salah satu nama kerabat yang berhasil Riska ingat, menimpali disela-sela obrolan.

Apa dirinya benar-benar terlihat payah? Selain tampangnya yang seperti pembantu apa harus dipertegas lagi dengan jangkauan pemikirannya yang tak seberapa?
Riska merasa insecure, padahal dirinya belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Kini saat dirinya berada di tengah-tengah keluarga Anggawarsito ia merasa cuma kutu yang kebetulan tertiup angin kemudian bertengger di rambut Fathir, jadi semua perlakuan dan fasilitas yang nantinya akan ia terima semacam kebetulan saja dan sementara. Riska mengecamkan itu berkali-kali di benaknya hingga tak sadar kepalanya sesekali terantuk bahu Fathir.

"Lu kalo ngantuk tidur sana." bisiknya.

Riska mengerjapkan mata beberapa kali. Menahan agar tidak menguap.

"Lu ngantuk Nik!" seru engkong langsung menyadarkannya seketika.

"Nggak kong!" tampik Riska menegakkan punggung.

Buru-buru ia meraih gelas minuman di meja lalu mereguknya. Berpikir mungkin hal ini bisa membuatnya tak mengantuk, tapi ia salah. Seiring anggota keluarga dan tamu yang beranjak pulang satu persatu sementara engkong masih meluap-luap dengan cerita-ceritanya, Riska perlahan terbius hingga wajah-wajah di sekelilingnya tampak mengabur. Ia pun tertunduk karena matanya semakin berat.

.........

Kilau matahari menerobos lewat celah-celah gorden yang sedikit terbuka. Riska menggeliat di kasur. Aroma yang ia kenal semakin menyeruak, terasa memikatnya untuk membenam lebih lama lagi. Riska mengusap-usapkan muka ke bantal, baunya khas dan Riska menyukai itu. Ia berguling-guling sesaat membuat selimut yang membebat tubuhnya sudah tak karuan lagi.

"Nik! Nonik bangun!" terdengar suara nyaring mami disertai ketukan di pintu.

Riska bangun menggosok-gosok matanya.
"Iya Mi."

"Cepet turun, sarapan sama-sama." teriak maminya kembali.

"Iya, Riska bentar lagi nyusul Mi."

Dan langkah mami pun terdengar menjauh.
Riska terdiam sesaat, ia pandangi sekelilingnya. Tak ada tanda-tanda seseorang di kamar itu. Benar sekali mungkin Fathir tidur di kamar lain atau dia sudah bangun lebih dulu? Sepertinya dugaan yang terakhir lebih masuk akal karena Riska bisa mencium arom pria itu memenuhi tempat tidur. Ia meraih bantal di dekatnya dan menghirupnya dalam-dalam. Mengapa aromanya begitu menyenangkan dari pada orangnya? lalu ia pun teringat perkataan Fathir agar tidak 'kebaperan' . Riska langsung melempar bantalnya dan beranjak ke kamar mandi.

Saat bercermin ia amati pantulan tubuhnya, memastikan tidak ada bercak di sana. Riska lega karena Fathir tidak melanggar perjanjian mereka.

Di ruang makan hanya ada dua orang yang sudah duduk di meja, abi bersama mami. Sementara engkong dan Fathir tak terlihat.

"Duduk Nik!" perintah maminya.

Riska duduk sembari meminta maaf karena bangun kesiangan.

"Nggak pa-pa mami maklum kalo malam pertama pasti capek." Sindiran
yang membuat Riska jengah dan tak perlu meresponnya kembali.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang