19. Tebusan

4.6K 234 1
                                    


Bulan bersinar muram dari balik kabut awan putih di langit malam. Dengan langkah ketergesaan dan pikiran yang tak karuan Riska menenteng tas kresek hitam yang berisi uang tebusan. Uang yang tak seberapa itu tersimpan dalam sebuah amplop coklat.

Udara yang bertiup terasa lebih dingin, jaket hoodie besar yang menenggelamkan sebagian tubuhnya tidak sanggup melawan deraan angin yang melewati kedua sisi telinganya. Riska pun mencepol rambutnya asal-asalan lalu menutup kepalanya dengan tudung hoodie.

Jalan yang ia lalui mulai menyempit dengan selokan di sisi kiri.
Angin kembali berdesir melewati kepalanya, membuat tudung yang menyembunyikan wajahnya seketika jatuh, Riska menaikkannya kembali sambil bergegas menuju gang yang sudah tidak jauh lagi.
Kedua kakinya tiba-tiba terhenti ketika sebuah sepeda motor dengan laju cukup kencang nekat menerobos jalanan sempit yang ia lewati.

Bau yang tajam dan khas ikut terbawa angin sampai menggelitik hidungnya, bau tengik dan amis itu  menandakan bahwa gang jambu sudah berada di depannya. Riska melangkah hati-hati melewati rongsokan yang menggunung dan di antara drum-drum kosong yang penuh sampah berceceran itu lah dua manusia tengah menunggunya dengan tatapan tidak sabar. Riska mengernyitkan hidung ketika melewati tumpukan sampah.

Klontang!

langkah kakinya kembali terhenti ketika seekor tikus nekat nyelonong menabrak botol-botol bekas.

Dari tempatnya berjalan Riska bisa menangkap siluet dua orang yang sedang merokok di sana, bersandar pada tembok pembatas yang mengelilingi bekas pabrik tahu. Dua orang itu adalah Dimas dan seorang laki-laki lagi yang tidak dikenali Riska. Tidak ada penerangan yang memadai di sepanjang jalan yang ia lewati, hanya sebuah lampu jalan yang menyala temaram di ujung gang besar.

"Hoi!" teriak seorang teman Dimas yang tidak dikenali Riska.
Dua orang itu pun menyongsongnya, mata keduanya terlihat waspada saat mengedarkan pandang, memastikan bahwa tak ada orang lain lagi yang datang bersama Riska.

"Mana duitnya?"
Dimas mendekat ke arah Riska, dia sesekali mengelus gagang pisau yang disematkan di saku celananya. Pisau itu terlihat berkilat menantang sebagai tanda peringatan bahwa siapapun yang berani menantang si empunya senjata, ia akan berakhir dijilat perihnya bilah yang bersembunyi di dalam sana.

"Nih." Riska menyerahkan amplop coklat berisi uang cash seperti permintaan Dimas waktu itu.

"Lu itung dulu jumlahnya Vin." Dimas menyambar amplop tersebut lalu menyerahkannya ke arah pria bernama Vin.

Riska menunggu dalam diam, kedua tangannya dia masukkan ke dalam kantong jaketnya untuk menghentikan rasa dingin yang mulai menjalar. Sementara itu Dimas tengah mengawasinya seperti seorang tawanan.

"Gimana Vin, duitnya pas nggak?"
Dimas menoleh, tidak sabar melihat gerak temannya yang lambat, ia pun meraih amplop berisi uang yang masih di hitung Vin.

"Ehh, kurang Bang," sahutnya gelagapan begitu Dimas menginterupsi aktivitasnya.

"Kurang berapa?" tanya Dimas sambil merapikan isinya.

"Lumayan banyak sih Bang."
Vin beralih menatap Riska yang masih berdiri dalam diam, tatapannya menyelidik.

"Gue belum bisa bayar semuanya, adanya cuma itu," sahut Riska santai.

Dimas menyembunyikan amplop tersebut ke dalam jaketnya, ia melangkah ke arah Riska dengan tatapan penuh ancam, seakan tidak percaya bahwa perempuan yang  berhasil ia lukai tempo hari tidak menunjukkan rasa gentar sedikitpun.

Dia menarik lalu memelintir ke belakang salah satu tangan Riska yang masih bersembunyi di kantong jaketnya. Riska merasakan aliran darahnya seketika berhenti diganti rasa kesemutan bercampur ngilu karena tangan yang sedari tadi ia sembunyikan akibat hawa dingin tiba-tiba ditarik.

"Sekali lagi gue ingetin, besok kalau lu nggak bisa ngelunasin, gue bakal bikin lu nyesel udah gabung sama kita."

"Achh! Gue nggak bisa kalau harus ngelunasin besok."
Riska berusaha melepaskan cengkeraman yang semakin kuat seakan menggigit sampai ke tulang belulangnya.

"Okeh. Gue kasih waktu lu sampai lusa, kalo lu nggak bisa ngelunasin, lu liat akibatnya!"
Dimas melepaskan cengkeramannya.

"Kapan gue bisa ketemu Esa?"
Perkara Esa adalah yang terpenting baginya diluar ia bisa melunasi hutang-hutangnya atau tidak.

"Mending lu lunasin dulu hutang-hutang lu. Bang Esa nggak bakal ngaladenin cewek yang level judinya payah."

"Terus gimana caranya biar gue bisa nantangin dia lagi?"

"Esa nggak mau cuma main ecek-ecek. Lu tau itu artinya apa?"

Riska mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosi tatkala ia menyadari dibalik semua ini ia hanya dipermainkan, diperas tanpa ada kepastian. Ia pun menendang kaleng kosong yang terongok di bawahnya ke arah Dimas.

"Lu jangan coba-coba ngelawan. Masih untung lu nggak gue apa-apain." Desis Dimas meraih dagu Riska lalu menariknya ke atas.

"Gue nggak takut, gue bakal cari cara buat nemuin Esa sendiri." Riska menatap kedua mata Dimas yang tampak menyala memerah karena amarah.

"Lu udah berani ngelawan ya, lu nggak inget dulu nyembah-nyembah biar bisa gabung sama kita."
Kini tangannya beralih mencekik leher Riska, mendorongnya ke tembok dan menekannya kuat-kuat.

Vin yang berada di belakangnya terlihat gugup sembari melihat sekelilingnya, mungkin takut ada orang yang kebetulan melihat mereka.

"Gu--gue--"
Riska terbata, tenggorokannya terasa panas, bekas luka dari pisau yang ditodongkannya kemarin tidak hanya pedih namun juga terasa semakin menggigit perih.

"Lu siapin uangnya buat nebus mereka semua. Bayar hutang-hutang lu! Roni yang bakal nganterin lu ntar ke orangnya."

"L--lu pikir gue percaya."

"Gue nggak main-main, gue bakal habisin lu, kalo sampe lu nggak ngelunasin hutang lu!"
Dimas mencekiknya semakin kuat. Riska terbelalak—susah payah menghirup oksigen di udara yang justru semakin membuat kerongkongannya serasa terbakar.

"Uhug-uhug…."
Riska terbatuk-batuk begitu Dimas melepaskan cengkramannya, ia menghempaskan tubuhnya begitu saja. Belum selesai batuknya, Riska yang berjongkok di bawahnya sembari mengusap-usap lehernya, kembali di tarik kerah depan hoodienya—membuatnya menengadah ke atas.

"Lu bener-bener nggak ada gunanya gabung sama kita. Gue tunggu sampe lusa siapin sisanya!"
Dimas lalu menjatuhkan Riska kembali di tempatnya.
Mereka berdua lalu pergi melewati sisi gang lain, meninggalkan Riska yang masih terduduk diam di sana sembari memegangi tenggorokannya yang masih kebas.

Dia menghitung berapa rupiah lagi yang harus ia kumpulkan untuk melunasi hutang-hutangnya, belum lagi menebus 2 ekor begundal judi yang masih di penjara.
Jika diakumulasi semua hutang dan tanggungan tahanan tentu saja tidak cukup upah yang diterimanya dari Fathir.

Riska menghela napas, ia mungkin akan kembali mengulur waktu, sementara ia akan mencari cara bagaimana mendapat uang sebanyak itu.
Dengan lunglai, Riska kembali menuju kos-kosannya. Matanya seolah tak sanggup lagi melihat ujung jalan yang terlihat kabur. Ia pun kembali berhenti sejenak.

Mahesa…di mana orang itu bersembunyi sekarang? Pikirnya menerawang.

.....***.....

Jangan lupa vote, komen buat jejak ya guys. Thanks dah baca.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang