74. Konferensi pers

4K 202 8
                                    


"Wah! Kak Noni cantik banget!" seru Khaila dari balik punggungnya.

"Kamu juga cantik," balas Riska tidak berbohong melihat tampilan khaila yang berdarah timur tengah tampak anggun berbalut gaun hitam  bermodel cocktail dengan rambut digelung ke atas.

"Bang Japa ke mana Tante?" tanya Khaila pada mami yang masih menggandeng lengan Riska.

Ia jadi merasa gugup setengah mati. Acara ini tampaknya lebih menegangkan dari pada acara ijab kabulnya. Riska berkali-kali mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Udah dateng duluan sama om. Tante kan masih harus dandanin Nonik." mami sesekali mengamati wajahnya. Mungkin memastikan hasil riasannya tidak akan memalukan khalayak umum.

Riska melihat beberapa wanita dari keluarga besar tampak berjalan ke arahnya. Sudah pasti ia akan jadi sorotan. Riska benar-benar kikuk. Ia jadi merasa tak yakin dengan penampilannya sekarang. Dan detik berikutnya di tempat Riska kini berdiri sudah dipenuhi perempuan dan juga lelaki dari keluarganya. Berkali-kali mereka tak menyangka bahwa dirinya bisa berubah seperti artis luar negeri, ada yang bilang terkecoh karena mengira dia tamu undangan. Riska harus bertahan disituasi seperti ini beberapa saat. Ia kemudian melihat rekan-rekan kerjanya yang baru masuk. Sitha tampak kalem dengan dress panjang warna ungu berkardigan. Ia datang di gandeng dengan seorang lelaki yang dulunya berambut biru—itu pasti Aryo. Dengan segala upaya Riska berhasil melepaskan diri dari kerumunan lalu dengan sopan meminta ijin untuk masuk menyapa rekan-rekan kerjanya.

Ia tahu apa yang dilakukannya hanya alibi karena kini langkahnya  bergegas menuju sebuah meja yang sudah diisi bebarapa orang dan salah satunya Riska kenali. Zaki tampak manis dengan blazer coklat yang ditarik se siku, dua kancing atas kemejanya dibiarkan terbuka, rambutnya diikat sebagian. Ia tampak tertawa sekilas disela-sela obrolannya.

"Hai. Jak." sapa Riska sembari menggigit bibir bawahnya.
Yang disapa tampak heran beberapa saat diikuti kawan-kawannya yang juga tak kalah takjub. Seseorang di sebelah Zaki menyenggol lengannya dengan sengaja dan berbisik sembari tersenyum.

"Oh. Hai. Riris." Zaki bangkit lalu menyalaminya. "Cantik banget kamu."

Riska tersenyum malu namun, entah kenapa jantungnya sudah tak berdegub seperti dulu.

"Makasih udah datang ya."

"Sama-sama. Oh iya kenalin nih istrinya yang punya acara." Zaki memperkenalkan sekilas pada teman-temannya di meja.

"Istrinya? Cucunya kali." timpal seorang bapak-bapak selepas menyalami Riska.

"Oh. Iya ini dokter yang selama ini ngerawat pak Dewo." Zaki menunjuk seseorang yang baru saja meralatnya sebagai cucu.

"Istrinya Fathir ya?" tanya bapak tersebut meyakinkan diri.

Riska hanya mengangguk dan tersenyum sopan.

"Wah maaf ya dokter Ryo, saya kira tadi pacarnya," bisik pak dokter ke telinga Zaki yang jelas-jelas masih terdengar dari tempat Riska berdiri.

"Maaf saya tinggal dulu ya," pamit Riska kemudian yang dianggukki dengan ramah oleh para tamu di meja Zaki. Padahal ia masih ingin bicara beberapa hal, ah sudahlah mungkin nanti selepas acara dia bisa ngobrol sebentar.

"Nik," maminya berseru tertahan sembari memberi isyarat untuk menghampiri meja mereka. Dari meja tersebut, dua di depannya tampak Jeje yang tahu-tahu menoleh ke arahnya. Perempuan itu tersenyum sekilas lalu berbisik ke telinga Fathir. Di meja yang berisi orang-orang penting pemegang saham dan sekaligus rekan bisnis keluarga Anggawarsito——begitulah yang dipikirkan Riska, Jeje tampak berbicara begitu antusias pada lelaki di sampingnya, Fathir pun menanggapinya dengan sesekali tersenyum. Riska tak tahan melihatnya. Tak tahan karena mereka memang tampak pantas seperti pasangan yang sesungguhnya.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang