55. Bertamu

3.8K 219 4
                                    


Setelah kejadian yang ia curi dengar di ruang kerja, Meilani—menantu Anggawarsito memutus menggunakan caranya sendiri.
Masih belum sepenuhnya yakin bahwa menantunya adalah keturunan Zadokh yang selama ini mereka cari, ia dikejutkan dengan fakta lain dari laporan detektif yang baru disewanya kurang dari 24 jam. Sungguh kerja yang sangat efektif dan efisien, tak rugi ia mengeluarkan banyak biaya.

Dalam balutan tunik kelabu dan boot pendek, Mei  berjalan tergesa memasuki sebuah coffeshop yang cukup terkenal tak jauh dari kediamannya. Di salah satu meja oval pendek dengan sofa kulit yang mengelilinginya, seorang pria paruh baya tengah duduk menunggunya.

"Selamat Malam Bu Mei." Pria itu serta merta bangkit dan mengulurkan sebelah tangannya dengan sopan.

Mei menyambutnya dan langsung duduk.
"Gimana info yang kamu dapat?"

Tanpa perlu basa-basi lagi si pria yang berpenampilan klimis itu pun membuka ke inti pembicaraan.
"Bu. Perempuan ini bapaknya pernah ditahan karena sebuah kasus perjudian kemudian dia stres selama di sel, mogok makan lalu mulai tidak waras dan akhirnya meninggal di rumah sakit jiwa."
Ia menjeda sejenak untuk menyodorkan berkas di depannya. "Ini laporan sementara yang sudah berhasil kami kumpulkan."

Mei meraih berkas tersebut kemudian membuka-bukanya sekilas. Pada beberapa halaman, kedua alisnya tampak mengerut sembari berdecak.
"Ada lagi selain itu?" Ia mendongak sekilas ke lawan bicaranya.

"Dia punya kelompok perjudian di kampung-kampung."

"Maksudnya perempuan itu bandar?" Mei menutup berkasnya. Ia tahu rencana apa yang akan dilakukan selanjutnya.

"Bukan, tapi menurut informasi yang saya terima dia pemain yang cukup sering membuat keributan bersama kelompoknya."

"Okeh. Kamu cari tahu semua orang yang berhubungan dengannya saat ini, habis itu laporin ke saya secepatnya."

"Baik Bu."

"Denger ya saya mau secepatnya."

"Siap." pria itu berkata tegas.

......

Malam itu suasana di ruang keluarga tampak lenggang, hanya ada abi yang sedang membaca di pojokan sofa dan engkong yang tertidur di tengah televisi yang masih menyala.
Riska masuk dan ingin meminta maaf karena seharian tak ada di rumah.

Riksa menghampiri abinya terlebih dahulu dan mencium tangannya."Bi. Maaf Riska nggak pamit dulu
jadinya telat pulang."

"Dari mana emangnya?" tanya abi beralih ke bukunya kembali.

"Riska dari apartemen Japa langsung ke rumah temen."

"Owh. Dia yang nganterin?" jelas sekali ada nada selidik di kalimat abi.

Ia menggeleng. "Riska yang nggak mau ngrepotin Bi. Lagian Japa kan masih kerja."
Riska mengendus ketidakberesan di rumah ini, kebohongannya pun sepertinya akan menjadi sedikit ganjalan kalau dia tidak segera mengalihkan pembicaraan.

Engkong yang dia kira tertidur kini menyahut dari tempatnya "Kagak usah ngurusin tuh bocah, sekarang lu sini Nik pijitin gua."

"Kong, dapet salam dari anak-anak warung." Kilah Riska membelokkan pembicaraan.

"Oh jadi lu tadi abis dari sono. Kok lu kagak bilang engkong. Tau gitu gua nyusulin."

"Inget Pa, jangan klayapan lagi." timpal si abi kalem.

"Diem lu!"

"Mami kemana? Riska belum ngeliat?" tanya Riska memulai pijitan di bahu engkong.

"Kagak tau." Engkong tampak gusar. "Kagak usah urusin mereka, lu fokus ajah sama gua," lanjutnya.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang