45. Disangka Pembantu

4K 231 3
                                    

Riska turun menuju arah dapur. Di depan pintunya mami terlihat berbicara melalui ponsel.

"Mi?" panggil Riska.

"Bentar ya." Mami menjauhkan ponselnya sesaat. "Kamu langsung masuk ke dalam aja. Mami ada perlu sebentar." Mami lalu melanjutkan obrolannya dan beranjak pergi.

Riska masuk ke dapur. Dan ia kembali melongo. Seperti dapur restoran sangat tidak wajar untuk ukuran rumah tangga. Ruangan di dalamnya membujur keluar dengan penanda jalan setapak yang langsung mengarahkannya ke kolam renang—yang rencananya akan dijadikan kolam lele kata engkong tadi.
Riska berjalan berkeliling di antara beberapa orang yang sibuk dengan masakan mereka, ia lihat dua orang tukang masak berseragam.

Seorang pria paru baya menepuk bahunya dan berkata, "Jangan bengong ajah. Bantu sana. Lu liat bu Yunita kesusahan nenteng barang-barang. Sono bantuin."

"Iya Bang," sahut Riska.

"Lu baru ya?"

"Iya." Riska mengangguk. Apa tampang dan penampilannya seperti pembantu?

"Pantesan nggak pernah liat. Buruan sono."

Riska bergegas menghampiri bu Yunita—seorang ibu-ibu seumuran uwanya tampak kesusahan menenteng belanjaan.

"Biar saya yang bawa Bu." Riska menawarkan diri.

"Ah makasih nduk ayu." ia menyerah kan satu tas belanjaannya ke arah Riska.

"Ini mau ditaruh mana Bu?"

"Di meja dekat kran air, biar langsung di potongi anak-anak," tunjuk bu Yunita ke arah dua orang  remaja perempuan yang tengah sibuk dengan bahan masakan mereka.

"Bu Yun, kok lama? Kenapa nggak diikutin orderan Bang Naim sih? Gini kan Bu Yun susah sendiri bawa nya." ucap salah satu cewek yang agak gemuk dengan rambut lurus sepunggung diekor kuda. "Sini belanjaannya." pintanya ke arah Riska. "Kok gue belum pernah liat lu ya?" lanjutnya kembali.

"Gue baru," timpal Riska.

"Ya sudah bu Yun tinggal dulu, masih ada yang belum keangkut."

"Iya Bu Yun, ati-ati," sahut kedua perempuan di depan Riska bersamaan. Kini mereka beralih ke Riska yang masih berdiri di sana.

"Nama lu siapa?" tanya si rambut panjang.

"Riska."

"Gue Tyas." Ia memperkenalkan diri sembari membuka barang-barang belanjaan. "Yang ini Wiwit." Tyas menepuk bahu si Wiwit yang tampak cuek. Ia memotong-motong sayuran dengan kecepatan penuh.

"Sori ya gue masih belom tau mau ngapain." Riska memulai obrolan.

"Lu cuci semua sayuran ni habis itu lu standby ajah ntar bantuin apa yang gue minta ya."

"Okeh." Riska mulai mencuci seabrek sayuran. Ternyata buat jadi mantu abal-abal harus begini juga ya, benar-benar penjiwaan. Pikir Riska sambil senyum-senyum.

"Ngomong-ngomong sapa yang bawa lu kerja dimari?" tanya Wiwit yang sedari tadi cuek.

"Adam," ucapnya refleks.

"Oh pantesan. Soalnya ibu nggak pernah nerima karyawan dari luar. Kita-kita semua yang bawa orang-orangnya bapak atau ibu," timpal Tyas sembari merajang bawang.

"Gue heran kenapa nggak pesen langsung jadi ya? Kenapa harus masak sendiri kayak gini?" tanya Riska sedikit penasaran untuk ukuran keluarga konglomerat harusnya tinggal beli jadi, lagi pula tidak akan makan waktu seperti ini.

"Ibu itu cerewet." Tyas memelankan suaranya meski mereka tahu yang dibacarakan tidak ada di sana.

"Hush." Wiwit tampak membela mami. "Ibu tuh orang baik, meski cerewet tapi perhatian, adek gue di kampung dibiayain sekolahnya. Liat ajah tuh kang Adam, dia lulusan S1 dibiayain keluarga ini juga, tapi malah milih jadi sopir pribadi nerusin bokapnya. Riska pasti udah tau ya kan?"

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang