30. Masa lalu

3.9K 216 4
                                    

......

Riska menyeruput tehnya, terasa pahit mengendap di kerongkongan, lebih pahit dari biasanya, dan seketika hatinya pun ikut tersaput getir.

"Gimana kalo kamu ternyata nggak bisa nemuin orang itu? Kamu masih terus main?"

Riska menghela napas. Sedikit berat karena ganjalan di dadanya belum sepenuhnya hilang. "Aku pasti nemuin orangnya, itu udah janji seumur hidupku Jak."

"Aku tau, hanya saja aku nggak bakal ngebiarin kamu terlalu jauh, aku juga udah janji sama almarhum."

"Jak, aku emang nggak kenal kamu cukup lama, tapi apa yang udah kamu lakuin selama bapak di rumah sakit, itu lebih dari cukup."

"Dendam mungkin bisa menjadi alasan paling kuat seseorang untuk bertahan hidup, tapi secara nggak sadar hidupnya digerogoti pelan-pelan."

"Tanpa kamu bilang aku udah ngerasa diriku sebenarnya semakin menjauh dari semestinya."

"Bulan depan tanggal 25, ulang tahun beliau. Yang dia minta hanya main kartu sama kamu, bukan kamu yang main judi sama orang itu. Kamu menawarkan persepsi yang berbeda pada dirimu sendiri."

Sudah setengah jalan Riska melakukan segala cara, mempertaruhkan sebagian hidupnya. Tak hanya materi, tapi juga masa depannya, ia lebih memilih menepati janjinya lalu kembali ke Depok dan membenamkan karirnya yang tidak seberapa di sini. Apalagi yang bisa ia gapai di ibukota ini? Alasan satu-satunya ia bekerja dan tinggal di kampung mangga hanya karena pencariannya yang konyol.

Dia jadi teringat kata uwanya kalau lebih baik jaga tokonya kong Sabri, sekalian merawat makam orangtuanya—pilihan itu mungkin bisa jadi pertimbangan.

"Ternyata nggak semudah itu ya Jak." Riska tersenyum pahit.
Benaknya kembali menerawang ke beberapa tahun silam di mana kenangan bapaknya di sebuah rumah sakit jiwa menjadi momen terakhir yang sulit ia lupakan karena permintaan terakhirnya.

"Om Danar cuma minta kamu nemenin dia main, itu yang terakhir kali dia bilang secara sadar. Dia nggak minta apa-apa di ulang tahunnya. Dia cuma minta kamu. Waktu kamu Ris."

"Kalo nggak gara-gara dia, bapak nggak akan sampe kayak gitu." 

"Kamu udah bilang kayak gini buat keberapa kalinya Ris. Kamu nggak bisa hidup di masa lalu. Kamu nggak bisa ngubah apa yang udah terjadi, itu cuma bikin kamu menderita."

"Aku butuh jawaban. Aku pengen tau kenapa orang itu ngejebak bapakku, aku pengen denger langsung dari mulutnya dan aku bakal nantangin dia main. Urusan kalah menang aku nggak peduli."

Giliran Zaki yang menatap keluar. Riska yang menangkap geraknya otomatis mengikuti kemana arah mata itu beralih —air mancur taman, setidaknya lebih menarik saat ini.

"Yah, aku udah pernah dengar dan ingat semua. Aku bakal tetep dukung kamu sepenuhnya, aku tau meski aku udah ngomong sampe berbusa."

Riska menoleh, menangkap sorot mata yang kini kembali menghangat. Zaki adalah pria idamannya, dia mungkin rela mempertaruhkannya setelah posisi bapaknya. Zaki benar-benar pria yang tulus.

"Jak. Aku selalu ngrepotin kamu. Tapi buat urusan yang sekarang, aku bisa ngelakuin sendiri." pungkas Riska merebakkan senyuman.

"Aku yang terima kasih. Kasus om Danar secara nggak langsung ngangkat nilai di tesis yang aku bikin. Jadi kita impas."

Riska memaksakan senyumnya, ia tahu bukan itu alasannya, tapi karena sekelumit memori yang mengingatkan pria itu akan sosok ayahnya, sosok yang berakhir sama dengan bapaknya.
Riska mengingat bahwa kesadaran bapaknya perlahan hilang paska dipindahkannya dari tahanan ke Rumah sakit jiwa, itulah mengapa Riska menganggap bapaknya sudah mati jauh sebelum dirawat, dan permintaan terakhirnya lah yang merunut janji antara dia dan bapaknya, antara dua orang yang salah satunya harus tetap hidup agar ikatan itu terus berlanjut.

Dan demi melanjutkan pencariannya, ia juga rela masuk gerombolan judi kelas teri, yang sebagian besar preman. Membiarkan bapaknya dalam pengawasan Rumah sakit dan Zaki sudah menjadi rumah kedua baginya saat ia pulang dari Jakarta—menumpahkan keluh kesahnya. Semuanya.

"Okeh, kalo gitu kamu mau bantu aku nggak, sekarang?" tanya Riska, tentu saja dengan maksud lain yang ia sembunyikan. Dia tak mungkin benar-benar melibatkan Zaki untuk urusan uang, Mahesa dan teror yang dilancarkan Dimas secara bersamaan.

"Apapun itu." singkat Zaki tanpa perlu penjelasan lagi.

"Aku cuma butuh dukungan ajah dari kamu."
Riska tersenyum dibalas uluran yang meraih telapaknya dengan erat.

"Dan aku mau kamu janji satu hal Ris."

"Hum?"

"Setelah kamu ketemu sama Jamal, aku pengen kamu berhenti judi dan nikah sama aku."

Seketika langit seakan runtuh. Zaki mengajaknya menikah? Apa ia tak salah dengar? Riska memang mendamba pria itu, tapi tak sampai sejauh ajakan menikahnya yang tiba-tiba. Apa ini yang namanya gayung bersambut?

"He kenapa malah bengong. Aku cuma bercanda."
Zaki sepertinya tak bisa menyembunyikan ekspresi isengnya, ia kemudian tertawa sampai memegangi perut. "Sumpah kamu lucu banget kalo bengong kayak tadi hahaha."

Riska menyandarkan punggungnya dengan kesal, melempar tisu ke arah Zaki yang masih terpingkal.

"Eh, tapi kalo misi kamu beneran udah kelar, kayaknya nggak masalah kan kalo aku tarik lagi candaan tadi?"

"Hmm, maksudnya?"

"Yah beneran aku bakal ngelamar kamu. Hahahah."

"Kebangetan kamu kalo becanda."

Riska melihat sekilas binar di balik kacamatanya. Zaki kini menelengkan kepala mencoba untuk mengerjainya lagi.

⏳⏳⏳

Tak terasa waktu yang ia habiskan bersama Zaki mengulurnya sampai beberapa jam, ia pun tak berharap bisa menemui engkong karena mungkin jam berkunjungnya sudah lama lewat.

"Adam!" panggil Riska begitu ia sampai di koridor yang menuju kamar engkong. Adam di sana terlihat seperti penjaga di luar pintu. Ia pun langsung menoleh dan menyongsong Riska.

"Kamu sudah ditunggu engkong dari tadi. Tapi maaf sekarang jam kunjung sudah habis."
Adam berkata tanpa ekspresi, Riska  mulai terbiasa setidaknya engkong diperlakukan dengan baik, buktinya engkong ditempatkan di ruang vip yang cukup mewah. Riska bisa bernapas lega.

"Maaf ya tadi gue ada urusan. Ngintip ajah nggak pa-pa kan? Besok gue kesini lagi."

"Iya silahkan."
Adam mengantarnya ke kamar pasien.
Riska mengulas senyum, Adam ini sopan sekali batinnya, dia jadi merasa sedikit bersalah. Mungkin Adam sekarang sudah sadar untuk lebih memerhatikan engkongnya.

• Makasih ya, buat kalian yang mantengin cerita ini terus😊jangan lupa buat terus kasih dukungan dengan ninggalin jejak atau komen buat pembenahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

• Makasih ya, buat kalian yang mantengin cerita ini terus😊
jangan lupa buat terus kasih dukungan dengan ninggalin jejak atau komen buat pembenahan.
Thank you so much🙏😉

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang