18. Warung & model abal-abal

5.1K 237 7
                                    


Mentari terbit perlahan menyibak kabut di perkampungan padat pinggir kota, melucuti sisa hawa bekunya yang masih menjangkit di tiap renyap kepala. Dengan malas Riska mencengkram erat selimut yang membalut tubuhnya, meresapi dinginnya bagai sebuah suguhan yang hangat.

Kringgggggggg....

Ujung kakinya menyembul keluar dari selimut—mengapai-gapai benda bulat yang mendering di atas meja rias. Dengan sekali tendang ia hentikan suara bisingnya.

"Ah, Anj*! Udah tau hari minggu napa gue nyalain. Sial!"
Sempoyongan ia raih beker yang kini tergeletak di lantai. Kedua matanya masih mengatup seakan enggan mengikuti langkahnya yang kini terseret ke kamar mandi. Menyambut satu guyuran yang seketika memecut tiap sel di tubuhnya. Hidup! Itulah kata pembuka untuk hari ini.

"Pagi Mas Bram! Wah wangi banget gorengannya." Riska berucap riang begitu sampai di warung langganannya.

"Oi, pagi Ris."

Sesaat ekor mata Riska tertahan pada sosok yang tak terusik sama sekali akan kehadirannya. Sosok itu bukan hanya tak terusik namun kini perhatiannya memusat pada sebuah papan bermotif kotak hitam-putih dengan bidak-bidaknya yang masih tertata rapi dan lengkap.

"Pagi kong!" Riska sedikit meninggikan nada suaranya.

"Eh si Nonik kite!" seru engkong gelagapan membuat kedua bola matanya nyaris mengejang, ia pun membalikkan tubuh sepenuhnya menghadap Riska. "Tumben pagi bener?"

"Laper kong, mau nungguin bubur ayam mang Alwi." ucapnya sambil mencomot satu tahu goreng yang terlihat masih mengepul.

"Bram bikinin gua telur setengah mateng. Eh ngomong-ngomong bangun jam berapa tuh bocah? Gua udah nungguin dari tadi kagak nongol-nongol."

"Iye kong. Edwin kan biasanya emang abis dzuhur baru nongol. Tumben nggak sabaran."

"Gua nggak bisa lama-lama main di sini, ntar ada kunjungan."

"Buset kong, udah kayak pejabat ajah pake acara kunjungan hahahaha." Tawa Bram terdengar renyah disela-sela pekerjaannya.

"Palingan juga ke pasar burung ye kan Kong? Sini, Riska temenin ajah main caturnya."
Ada satu hal yang menggelitik rasa penasaran Riska meski untuk kesekian kalinya sudah ia tanyakan namun, dengan jawaban yang sama meski tak serupa.
"Sebenernya Engkong masih punya keluarga nggak sih? Cerita mulu soal keluarga, giliran ditanya mereka di mana, nggak jelas."

"Udah nggak usah bahas keluarga, engkong lagi sebel. Ayok lanjutin main."

"Kemarin cerita katanya cucu Engkong ada yang jadi TKI ya, udah dikirimin duit belom?" tanya Bram tiba-tiba.

Riska mendongak ke arah Bram, tahu bahwa semua yang diceritakan engkong cuma bualan. Kadang cukup mendengarkan saja asal bisa membuat senang sosok yang sudah ia anggap kakeknya sendiri itu sudah sangat luar biasa baginya.

"Gua udah bilang kagak usah bahas keluarga. Gua lagi nggak mood, ayo Nik, jangan diem ajah, giliran lu yang jalan tuh."

Riska hanya manggut-manggut dan sesekali tersenyum melihat binar yang mulai menyulut di mata yang kian layu itu.

"Hoiii Kong Dede!" teriak seorang remaja dari atas motor dari seberang jalan-tepat di depan warung.

"Ah! tuh bocah udah dateng. Eh Bram telur setengah matengnya gua bawa ajah."

"Mau kemana Win?" tanya Riska begitu remaja itu mengarahkan motornya menghampiri warung.

"Ke pasar burung Mbak. Kalo siang dikit keburu panas di jalan, macet lagi."

"Tuh kan bener, gitu pake alesan kunjungan segala."

Sebuah motor lain yang tidak asing bagi mereka—honda beat merah, melaju ke arah warung. Si pengendara melepas jaketnya lalu menyampirkan ke jok motor.
Dengan langkah lebar ia angkat kedua kakinya di bangku warung lalu mendudukan pantat di sana sambil sesekali menyugar rambut klimisnya yang tak berefek sama sekali dari cetakan helm.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang