Tuk tuk tuk tuk...Heels sepatu pantofelnya yang tidak seberapa menderap lantai, menggiring langkah kakinya menuju ruangan yang lebih dari 24 jam lalu telah memaksanya keluar.
Riska tidak terima dengan keputusan yang dianggapnya sepihak."Sst! Dengerin dulu, gue minta lu buat ngelakuin sesuatu yang sedikit menarik. Kayaknya ini salah satu keahlian lu selain jadi barista dan simpanan."
Riska teringat obrolannya melalui ponsel dengan Umar semalam.
"Anj*! emang apaan sih?"
"Gue kirimin web profilenya dulu oke."
Riska tersenyum puas, berhenti sesaat memandangi pantulan dirinya dari kaca lobby dan merapikan anak rambut yang mencuat dari balik daun telinganya. Riska mendorong pintu dan melangkah masuk, di sambut oleh senyuman hangat dua gadis resepsionis di balik meja .
"Pagi Mbak Riska." sapa mereka bersamaan.
"Pagi Sayang," sahutnya sembari
melangkah tegap menuju belokan yang langsung mempertontonkan suasana khidmat semenjak kedatangan seorang penguasa baru di perusahaan tersebut.
Kali ini Riska tidak hanya akan mempertaruhkan harga dirinya, tapi juga satu-satunya sumber finansialnya. Ia memantapkan diri kalau sampai rencananya gagal—dia akan membuatnya agar jangan sampai itu terjadi, apapun caranya."Sst Riska? Lu nggak jadi dipecat?" tanya Imam sambil berbisik dari arah mejanya.
"Ehem." Riska sengaja menarik perhatian rekan kerjanya yang tampak duduk dengan serius di tiap bilik mereka.
Beberapa menoleh, beberapa tak menghiraukannya—mungkin sudah bosan akan tingkah nggak penting Riska yang selama ini memang sering bikin iseng di kantor.
Yang terpancing mendekat hanya segelintir orang yang iseng juga, bisa ditebak mereka adalah Sitha dan Imam serta beberapa yang tampak gengsi di tempat duduknya sementara kedua telinga mereka siaga dengan apa yang akan dituturkan Riska."Gue mau bikin taruhan ke kalian."
Dia mengisyaratkan rekan kerjanya lebih dekat ke arahnya sambil merendahkan suara, "Begitu gue keluar dari pintu di depan itu dan langsung balik ke meja kerja gue, kalian masing-masing bayar gue 100 ribu, tapi begitu gue gak jadi duduk di situ artinya gue udah hengkang selamanya dari sini dan gue bakal bayar kalian ceban, gimana?" cengiran Riska diiringi huuu rekan kerjanya."Kelakuan dari dulu nggak ada habisnya." seru Sitha kembali ke mejanya.
"Eh gue serius tau."
"Gue pasang buat lu deh, dua kali lipat," sahut Imam terlihat senang sebelum menang.
"Okeh," balas Riska tersenyum riang. Ia lalu melanjutkan langkah menuju pintu pertaruhannya, membuat pasang mata melirik penasaran akan apa yang terjadi berikutnya.
Riska berhenti sejenak di depan pintu yang tinggal sejengkal lagi ia buka, dia mengetik sesuatu di ponselnya dan mengirim sebuah link ke nomor seorang pria yang bersarang di dalamnya.
Tanpa perlu ketukan di pintu, Riska langsung membukanya.
Seorang pria tengah duduk di meja kerjanya memeriksa beberapa berkas sembari sesekali melihat ke arah laptop di depannya."Selamat pagi Pak." sapa Riska, masih berdiri di depan mejanya dengan kedua jari ia silang di belakang tubuhnya—memohon keberuntungan.
"Ya," sahutnya tanpa menengadah sedikitpun seakan ia sudah melupakan kejadian kemarin, bukan hanya lupa tentang kejadiannya, tapi sepertinya lupa juga dengan sosok di depannya—yah mantan karyawan yang tidak berguna, mungkin itu lebih tepatnya. Dalam hati Riska menggeram.
"Bapak sudah lihat pesan yang barusan saya kirim?"
tunjuk Riska ke arah ponsel yang tergelatak di meja."Main nyelonong aja pagi-pagi, mau bikin ulah apa lagi."
tanpa perlu menjawab pertanyaan Riska terlebih dahulu, Fathir langsung meraih gagang telepon—tahu kemana ia akan menghubungi, Riska pun buru-buru menahan lengannya sambil cengar-cengir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Riska
RomancePRIVATE ONLY 21+ 🔞 --(Konten Dewasa) Menghabiskan banyak uang di perjudian mungkin menjadi cara Riska menikmati hidupnya selain karena sebuah janji yang ia buat. Ketika segalanya berada di titik serba tidak pasti dan situasi dimana ia didesak dana...