80. Pulang kampung

4.8K 241 5
                                    


Halo, saya mau ngasih tahu dulu ya mulai dari bab ini beberapa scene akan diringkas karena cerita Riska sebetulnya udah tamat di part 79 kemarin sesuai konsep awal. Mohon diterima dengan lapang dada :)

Oke sekian. Selamat membaca bagi yang udah nungguin😘

....

Riska tak pernah merasa selinglung ini. khawatir akan masa depannya akan sesuatu yang kini hidup dalam dirinya terus mendesaknya keluar mencari solusi yang paling tepat hingga lama-lama ia tak sanggup lagi. Riska duduk di kasur memandang jendela kamar yang tirainya ia buka semua memerlihatkan langit sore yang sebentar lagi menggelap.

Sudah lebih dari 2 minggu semenjak kepergian Fathir dan semenjak itu pulah dia tengah berada dalam fase kebimbangan sekaligus kekosongan dalam hidupnya terlepas dari ia pernah merasa demikian sebelumnya dan kali ini ia kembali memilih menyimpannya sendiri. Jadwal bulanannya sudah telat lebih dari satu minggu, Riska langsung terduduk lemas di closet begitu menarik test pack dan membaca strip yang menandakan dua garis di sana, bukannya tak senang ia justru bingung harus bagaimana. Menghabiskan waktunya curhat bersama Sitha, ternyata tak kunjung merasa lega.

Ia bangkit dari tempat tidurnya dan menutup tirai lalu kembali ke kasurnya dengan kehampaan yang sama. 
Beberapa kali abi dan maminya menanyakan perihal keadaannya yang terlihat lesu, Riska hanya menimpali kalau sedang tidak mood. Maminya juga memaksa untuk pergi ke dokter yang langsung di tolak Riska dengan berbagai alasan, ia tak mau kecolongan kalau ternyata menyembunyikan kehamilannya. Disamping itu ia juga tak mengerti apa maunya Fathir,  kenapa lelaki itu menggantungnya seperti ini?

"Mami sebenernya nggak rela kalo kalian cerai. Kamu memang masih bisa tinggal di rumah ini, tapi pasti lain. Mami masih pengen kalian sama-sama, terus punya anak yang lucu-lucu."

Yah kan ntar mami juga dapet cucu dari Jeje." celutuk Riska yang sudah tak tahan akan apa yang ia pendam selama ini.

"Kamu kok ngomong gitu sih Nik." maminya tak terima, ia bersedekap dengan gusar sembari menatap ke arah lain.

"Maaf Mi. Tapi Riska ngomong gini karena emang kenyataannya Japa mau ngawinin jeje kan?"

"Siapa bilang?" mami tiba-tiba melepaskan pautan tangannya dan kembali menatapnya.

"Iya dia kan rencana habis keluar negeri mau ngawinin Jeje, sementara percerain Riska yang ngurusin pak Febri di sini."

"Anak itu! Keterlaluan banget sih. Kok kamu nggak bilang dari kemarin-kemarin kalo Japa mau ngawinin Jeje?" Terbersit curiga di raut muka Mami yang mendesaknya. 

Tentu saja hal ini adalah kesimpulan yang bisa ia tarik selama ini. Engkong sudah meninggal otomatis perjanjian mereka sudah berakhir sekaligus Fathir sudah bisa melakukan hubungan intim, menegaskan kenormalan dalam dirinya. Dan tujuan akhir dari pria tersebut adalah menikahi Jeje setelah menceraikannya. Riska berkali-kali memantabkan dalam hati, kalau ia harus menerima semua ini meski jujur saja ia masih tak rela.

Mei!" teriak abi memasuki ruang keluarga dengan menenteng ponselnya yang masih menampakan panggilan video. Bayangan wajah itu bergerak-gerak begitu abi menyodorkan ponsel ke arah mami dan Riska langsung bisa tahu bayangan wajah siapa itu.

"Si Japa." abi sesaat menggantung ponselnya lalu beralih menatap Riska. "Jap, udah ngomong sama Nonik?" Abi mengarahkan layarnya kembali menghadap wajahnya. 
Tak ada sahutan di sana. Riska ikut mengintip lewat bahu maminya, tahu-tahu Fathir langsung memutus panggilannya. Dadanya langsung menggelenyar nyeri. Sebegitunya kah pria itu tak mau bicara padanya? Bahkan beberapa kali Riska mencoba menghubunginya itu pun tak ada balasan, dan semenjak itu Riska tak mau menghubunginya terlebih dahulu.

Mami yang melihat cuplikan kejadian ini buru-buru mengusap bahunya sementara abi memilih duduk di hadapannya kemudian meletakkan ponselnya di meja.

"Kamu  ke Depok berapa lama? Tau sendiri mami nggak bisa kamu tinggal lama-lama."  Abi menatapnya serius.

"Bentar kok Bi, cuma pengen tau kabar uwa ajah, habis gitu balik ke sini." Riska menoleh ke maminya yang sekarang mencengkeram pergelangan tangannya. Seakan perpisahaan besok adalah momen terakhir dirinya di rumah ini. Riska juga tak tahu ia akan kembali ke rumah ini atau tidak namun, ia lebih memilih mengatakan sesuatu yang menyenangkan hati maminya agar tak terlampau kecewa.

"Tau gini pas awal-awal kalian nikah mami langsung pantau kamu biar ikut program kehamilan. Kalo kamu hamil sekarang pasti Japa nggak bakal punya alasan buat pisah sama kamu."

Tentu saja ia sudah hamil. Riska membatin.

" Oh iya Bi, kenapa Japa mau nyuruh nunda proses perceraiannya sampe dia balik lagi?" tanya Riska kembali ke arah abi. Mami semakin mengencangkan tangannya, seakan dirinya bisa kabur sewaktu-waktu. Riska meliriknya sekilas sembari tersenyum dan cengkeraman itu pun berangsur mengendur.

"Dia mau datang sendiri ke persidangan." jawab abinya singkat sembari memijit pelipisnya.

.....

Sudah lewat 2 bulan ini ia tinggal bersama uwanya dan selama itu pula tiap minggu mami mengunjunginya kadang bersama abi kadang bersama anggota keluarga lain, Riska jadi semakin merasa tak enak. Perihal dirinya akan bercerai sepertinya menarik para anggota keluarga Anggawarsito. Riska sebenernya tak ingin jadi seperti ini.

"Sebenernya gua udah curiga pasti ada yang nggak beres pas lu kawin sama tuh anak orang kaya." uwanya tengah menyuapi mamang yang tengah menatapnya dengan wajah setengah mengantuk di atas kursi roda.

"Riska kan sekarang udah balik Wa, jadi nggak usah cemas kayak dulu pas sering ke kosan."

"Lu kata gua ngomongin idup lu pas di kosan? Gua sih sempet tenang pas keluarganya ke sini ziarah. Mereka juga baek, baek banget sampe ngebiayain hidup kita di sini. Bikinin kafe di Margonda sono sampe lu juga nguliahin si Ulfa. Tapi ternyata sampe sini gua tau kalo anak mereka yang punya masalah. Lu ada perjanjian apa sama laki lu?" Uwa mengakhiri berondongan kalimatnya yang langsung membuat Riska mendongak dari lamunannya.

"Mau gimana lagi Wa, udah takdir kali."

"Gua nggak paham sama jalan pikiran orang kaya. Anaknya mau cerai tapi keluarganya masih keberatan. Terus elu?" desak uwanya kembali.

"Tau ah. Riska berangkat dulu." ia bangkit lalu mencium punggung tangan uwanya.

• suka sama cerita Riska?Yuk tekan bintang, jangan ragu ya😘 komen juga boleh :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

suka sama cerita Riska?
Yuk tekan bintang, jangan ragu ya😘 komen juga boleh :)

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang