73. Ada yang berbeda

4.5K 222 9
                                    


Terdengar bunyi seseorang membuka pintu perlahan, Riska buru-buru menutupi kepalanya dengan selimut. Kini ia meringkuk di kasur dan pura-pura tertidur pulas sementara telinganya menajam, menangkap bunyi sekecil apapun termasuk langkah kaki yang kini berhenti di dekatnya. Sesuatu melesak tepat di belakangnya tanda seseorang duduk di sana.

"Ris. Lu hamil ya?" suara Fathir terdengar mengambang.

Riska tak merespon. Ia masih menunggu kalimat berikutnya yang mungkin muncul.

"Kenapa lu nggak bilang ke gue." Fathir membuka selimut yang menutupi mukanya. "Gue tau lu belum tidur."

Riska akhirnya berbalik dan membuka mata. Menyaksikan ekspresi Fathir yang terlihat cemas. "Siapa bilang gue hamil?"

"Abi tadi ngasih tau. Kok lu malah nggak ngasih tau gue dulu sih."

"Ngacoh ah."

Kalau benar ia dinyatakan hamil pasti dokter kandungan yang didatanginya bersama mami sudah memberi tahu mereka. Riska berpikir sejenak. Tak salah lagi ini pasti ulah mami.

"Kok lu bilang abi ngacoh sih."

"Bukan abi, tapi mami."

"Jadi lu nggak hamil." Fathir merendahkan suaranya. Rautnya terlihat lesu seketika. Ia memandang langit-langit sesaat kemudian menghembuskan napas. Riska tak tahu apa artinya ini. Senang? Kecewa? Lega?

"Gue masih waras Jap. Tadi kan gue udah bilang, gue nggak mau kalo akhirnya punya anak, lu bakal bawa bayi gue lagian gue kan nggak mau dimadu."

"Gue mau tanya, lu ngerasa kebebani nggak nikah sama gue?"

Pertanyaan macam apa ini? Tumben sekali pria ini menanyakan soal perasaannya?

"Napa lu nggak nanya gini dari dulu?" Riska menegakkan punggung lalu bersandar di sandaran kasur. "Denger Jap, sekarang gue ngelakuin semua ini cuma karena engkong persis kayak yang lu lakuin sekarang." Ia berhenti sesaat mengamati ekspresi Fathir yang susah ditebak. Pria itu kini hanya menatap kosong ke depan. Apa yang ia rencanakan? batin Riska.

"Okeh. Kalo lu lupa biar gue ingetin soal perjanjiannya. Lu nawarin gue karena dua kepentingan. Yang pertama karena lu nggak bisa on dan yang kedua karena engkong." Riska menghentikan kalimatnya kembali, mengamati Fathir yang juga belum ada tanda-tanda meresponnya lalu Riska pun melanjutkan. "Gue nerima tawaran lu juga karena dua hal, yang pertama karena duit dan yang kedua karena engkong. Lu liat sekarang kita udah nyelesain 2 kepentingan, tinggal engkong yang jadi alasan sama-sama kita masih di sini."

Riska berusaha membuat semua kalimatnya sesuai fakta, ia tidak ingin drama perasaannya terkuak. Cukup dirinya saja yang tahu kalau perasaan lain tumbuh dalam hubungan mereka dan sayangnya hanya ia yang merasa demikian.

"Lu serius pengen kita pisah sebelum opa meninggal?" tanya Fathir masih dengan wajah menatap ke depan.

"Plis, jangan bikin gue ngerasa berdosa dengan ngomongin umur seseorang."

"Gue cuma nyimpulin kata-kata lu tadi sebagai alasan perjanjian terakhir kita."

"Iyah." jawab Riska tak mau panjang lebar lagi.

Fathir kembali menghembuskan napas lalu beralih menatapnya lekat-lekat. "Kayaknya gue nggak perlu nunggu lagi buat ngasih tau lu ini. Habis konferensi pers gue mau berangkat ke luar negeri. Soal perceraiannya biar Febri yang ngurusin."

Serta merta jantungnya serasa tertikam. Riska tahu hal ini akan terjadi. Fathir pasti berencana ke luar negeri bersama Jeje. Ah sepertinya mereka sudah tidak sabar. Ia jadi semakin ngilu membayangkannya.

"Jadi habis itu gue bebas?" tanya Riska dengan senyum dipaksakan.

"Hmmm."

"Tapi Jap soal keluarga gimana?" inilah yang sesungguhnya dikhawatirkan Riska bagaimana respon dari pihak keluarga besar. Sepertinya ia memang harus siap dengan semua konsekuensinya.

"Tenang ajah. Lu nggak usah mikirin itu. Gue yang beresin. Dan lu juga dapet bayaran sesuai di perjanjian."

Riska terdiam. Bukan bayaran yang diinginkan saat ini. Oh andai saja ia bisa memilih ke mana dan pada siapa hatinya berlabuh. Lagi-lagi ia selalu kalah dalam segala hal termasuk perasaannya sendiri.

Fathir pun bangkit tanpa menunggunya berkomentar.

"Yaudah lu tidur ajah dulu, ada yang mau gue kerjain sekarang." Ia melangkah tegap menuju pintu.
Riska mengawasinya dan berpikir hari-harinya di rumah ini seakan ditarik kembali ke Riska yang dulu bukan siapa-siapa. Fathir begitu mudah melupakan semua yang pernah terjadi diantara mereka. Meski cuma 2 bulan, tapi nyatanya ciuman selamat malam itu sudah berakhir. Tak ada ritual bermanja-manja lagi dan pelukan sebelum tidur terasa seperti hantu yang akan terus membayang di kepalanya.

"Jap," panggil Riska sebelum pria itu benar-benar menghilang di balik pintu.

"Hmmm?" Fathir menoleh seraya memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Celana trainning abu yang tadi sempat dia lorotkan karena ada ganjalan yang harus dituntaskan. Kini Riska lihat ganjalannya yang justru belum tuntas, ganjalan lain yang rasanya menyesaki dadanya.

"Pas konferensi pers gue undang Jaki boleh?" Riska bertanya dengan senyum memaksa.

"Yah, Terserah lu mau undang siapa aja boleh." Fathir balas tersenyum lalu berbalik pergi.

Riska beringsut menutupi kembali tubuhnya dengan selimut. Tak terasa sebutir air mata menetes di pipinya, buru-buru ia seka lalu merangkak ke tepi tempat tidur
untuk meraih ponselnya yang tergeletak di sana.
Ia menuliskan pesan ke sebuah nomor yang rasanya sudah lama tak ia hubungi, sebuah pesan singkat yang mengundang si pemilik nomor ke sebuah acara resmi keluarga.

....

Hari-hari berlalu begitu cepat, kali ini Riska jadi mensyukurinya karena Fathir tampak tak seperti yang ia kenal lagi. Sepulang dari kantor, pria itu menghabiskan semalam suntuk di ruang kerja abi, yang jelas begitu Riska bangun Fathir sudah tak ada di sampingnya. Kadang ia sengaja menunggu diam-diam namun, lagi-lagi ia tak menemukan suaminya di tempat tidur mereka. Saat kebetulan berpapasan pun Fathir hanya tersenyum sekilas. Selalu bangun lebih awal, berangkat lebih pagi tanpa sarapan. Kehidupan mereka kembali terasa asing dan herannya mami tampak biasa-biasa saja. Kadang Riska berpikir mungkin ini situasi yang tepat menuju akhir hubungannya tanpa menguras emosi terlalu dalam, tapi tetap saja Riska tiap malam menekuri diri sendiri dengan berlinang air mata. Apa yang terjadi pada dirinya? Apa ia belum bisa rela meninggalkan semua ini. Belum lagi ia harus pura-pura bahagia di depan engkong. Ia tak mungkin mengatakan yang merisaukannya akhir-akhir ini.

"Nik, kalo gua nggak bisa liat anak lu sama Japa. Lu mau kan bawa dia ke kuburan gua." engkong mengawali obrolan sore itu di kebun belakang. Tempat sebagian besar kakek itu menghabiskan waktunya.

"Jangan ngomong gitu dulu ah Kong."

"Lu kalo ada apa-apa jangan dipendem sendiri. Gua kan pernah bilang lu sekarang jadi tanggung jawab si Japa."

"Iyah. Kong."

"Kagak kerasa yah besok udah waktunya ajah. Gua nggak sabar buat ngenalin lu ke orang-orang."

Riska terhenyak. Bukan karena besok adalah acara konferensi pers, tapi ada nada tidak wajar di kalimat engkong yang justru membuat Riska cemas tanpa sebab.

❤❤❤

Hheyy yang pada baca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hheyy yang pada baca....heheh gakpapa lagi pengen nyapa ajah...
Apa kalian masih betah😁

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang