36. Zadokh

4.7K 238 3
                                    


🌠

"Yaudah bayar sekarang."
Riska berhenti di depan pintu mobil Fathir tanpa membukanya.

"Ntar gue transfer. Buruan masuk!" perintah Fathir yang langsung membuka pintu dan menyalakan mesin.

Dengan cemberut Riska menarik gagang pintu, lalu menghempaskan tubuhnya.

"Eh, ngapain lu cemberut kayak gitu?"

"Lu tuh, ngapain coba cerita kalo gue semalem tidur di rumah sakit."

"Kan udah gue bilang ntar gue transfer." Fathir meliriknya sekilas seraya memasang sabuk pengaman.
"Lu bisa pake tuh duit buat tidur di hotel bintang lima seminggu penuh dari pada ngemper di sini."

Mobil melaju mulus di satu ruas jalan yang lebar.  Tak ada suara yang saling berdebat lagi selama sepersekian detik. Sampai kekesalan itu tak bisa lagi Riska kurung lama-lama.

"Sial!" Riska tiba-tiba memukuli bahu Fathir dengan kepalan ringan. Kesal rasanya. Ingin mencabik-cabik pria di sampingnya ini dan berteriak di depan wajahnya. 'Cari duit itu susah woi!' Apalagi kalo cuma dibuat nginep di hotel.

"He. Gila lu ya! Gue lagi nyetir nih." Fathir mendorong ke samping lengannya, terpaksa menghentikan kekesalan Riska yang belum tuntas.

"Dari pada tuh duit gue pake nginep di hotel mending gue habisin buat judi."

Fathir menghentikan mobilnya tiba-tiba. Membuat Riska terantuk ke depan. Ia memegangi jantungnya yang berdegub kencang sembari mengomel pada Fathir yang kini balas menatapnya dengan jengkel.

"Awas lu kalo duit yang gue bayar buat judi."

"Terserah gue.  Kan udah jadi hak gue. Inget ya di perjanjian tertulis 'nggak boleh ikut campur masalah pribadi masing-masing.' Lu harusnya yang lebih inget, lu kan yang bikin."

Fathir membuka sabuk pengamannya, memblokir gerak Riska hingga menyudutkannya ke ruang yang tidak seberapa. Riska mengerjap-ngerjap, seketika akalnya menumpul.

"Inget gue yang punya kuasa di sini, gue yang punya duit." desisnya membangkitkan aroma yang lama terkubur.
Riska gelisah di tempat, wajah Fathir kini mendekatinya. Udara kembali terasa berat, Riska kesulitan bernapas karena detaknya  semakin keras.

"I--iya gue ngerti, lu jangan deket-deket." Riska berusaha menepis apa yang mengabutkan matanya.

Fathir mengendurkan tubuhnya seiring tatapan yang mengangsurkan kehangatan saat menyapu sekilas dahi Riska. Wajah itu bergulir ke atas dan dengan gerakan perlahan tangannya yang bebas menepuk puncak kepala Riska beberapa kali.

"Bagus." ucap Fathir seperti memberi pujian pada anak anjing yang baru ia latih.

Dan keheningan menjadi teman disisa perjalanan mereka kembali menuju kantor.
Riska tetap kesal, otaknya kembali menyusun rencana tentang bagaimana besok lusa ia bertemu dengan Mahesa tanpa ketahuan Dimas. Rasanya tidak mengapa kalau malam ini ia kembali ke kosannya, lagi pula Dimas sudah tak memperlihatkan batang hidung.

"Jangan lupa besok lu urus pengajuan cuti."
Fathir akhirnya membuka suara ketika mobil bergerak mendekati parkiran.

"Ha? Berarti habis itu gue masih tetep kerja di elu dong?" tanya Riska tak percaya.

"Liat ajah ntar. Lu jangan males-malesan, mentang-mentang udah gue kawinin."

"Eh. Japa! Siapa juga yang ngarep lu kawinin? Gue cuma butuh duitnya. Inget baek-baek lu!"  sembur Riska begitu mobil berhenti dan tanpa perlu berlama-lama ia lepas sabuk pengamannya lalu melesat keluar.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang