--------"Bang! Bang Japa!" suaranya terdengar dekat.
Riska masih menahan napas."Bang! Tau kak Noni di mana? Aku ke kamar tante kok nggak ada!" teriaknya.
"Sst, suara Khaila nyariin lu bisik Fathir tepat di depan wajahnya hingga udara yang keluar dari mulutnya menjadi satu-satunya aroma yang bisa ia hirup. Wangi sabun bercampur mint yang segar.
Posisinya saat ini sungguh sangat rawan, tubuh Fathir menguncinya dengan kedua tangan menyangga langit-langit lemari. Pria itu membungkuk karena posturnya yang tinggi sementara kedua tangan Riska terpaksa berpegangan pada bahunya, karena memang tidak ada tempat lagi untuk ia jadikan pegangan. Lagi pula Riska berjaga-jaga agar pria itu tidak terdorong ke luar.
"Bang! Aku tunggu di kasur ya," teriak Khaila lagi, masih mengira bahwa Fathir tengah berada di kamar mandi.
"Jap, tuh anak malah di sini. Gimana nih?" Riska berbisik dengan memalingkan muka sebisa mungkin.
"Sst. Jangan ngomong dulu."
"Lagian lu kenapa sih, pake acara dorong gue segala."
"Bisa rame ntar kalo ketaun lu di kamar gue."
"Rame gimana? Ah elu. Yaudah gue keluar aja sekarang." Riska berusaha melepaskan diri tak tahan karena oksigen yang menipis sementara kepalanya semakin pening karena aroma Fathir memenuhi kepalanya. Lama-lama di sana bisa mati lemas.
"Eit. Jangan dulu!" desis Fathir memaksa Riska bertahan dengan posisinya.
"Enggak!" Riska berusaha menarik lengan yang masih menyangga di langit-langit lemari.
"Lu bisa diem nggak!" Fathir mendorongnya hingga terantuk hanger baju, Riska merasa handuk yang membalut tubuhnya merosot.
Ia diam sesaat, tidak mungkin bisa meraih handuknya dengan posisi seperti ini.
"Jap?" ucap Riska ragu-ragu. Ia mendongak menatap Fathir yang langsung menyambutnya dengan kedua mata menyala.
"Sst." bisik Fathir kembali. Napasnya benar-benar menyeruak lebih pekat dari ruang yang menghimpitnya.
"Jap. Gu--"
"Diem!" Fathir menariknya dalam pelukan seolah desisan sudah tak lagi mempan untuk dirinya.
Riska terhenyak, dilingkupi dalam keadaan tanpa benang sehelai pun, tiba-tiba saraf di tubuhnya seperti tersengat.Ini sudah tak bisa dibiarkan pikir Riska. Ia mengumpulkan sisa kesadarannya dengan mencengkram kuat kedua lengan pria yang memeluknya kini. Riska berusaha menekan semua indera yang bekerja lebih responsif dari sebelumnya: bau yang ia hirup, sorot mata yang ia lihat dan sentuhan eksplisit antara kulit dengan kulit menjadi rekam yang terpatri di otaknya.
"Jap?" sekali lagi Riska berkata dengan intonasi lebih pelan dan gerak wajah yang ia silang ke pipi pria di dekatnya ini agar bibir itu tak ikut-ikutan menganggu pikirannya lagi.
"Gue bilang diem!" desisnya kembali disertai sebuah tepukan yang tak pernah Riska kira sebelumnya. Tepukan yang tak terlalu kencang namun, cukup membuat Riska menyalang karena tangan itu mendarat di pantatnya yang tanpa penutup apa-apa. Tetap di sana tak beranjak. Riska berdebar. Ingin memastikan bahwa Fathir tak mungkin melakukan ini. Mungkin hanya ilusinya. Lamat-lamat ia mengalihkan wajahnya, menatap mata yang kini juga menadahnya dengan sorot redup.
Riska tak tahan berada dalam situasi seperti ini. Ia kembali berucap namun, kali ini dengan setengah berbisik mungkin terdengar seperti desahan. "Jhhapm....""Hmm?" balas Fathir.
Dan rematan pun menggilas pantatnya. Riska menahan napas. Berdebar lebih kencang dari sebelumnya."Uhm...Ja...." belum selesai dengan kalimatnya, Riska harus kembali tertahan. Fathir menubrukkan dahinya. Tak menyisakan sejengkal jarak pun. Napas Fathir terdengar bergemuruh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Riska
RomansaPRIVATE ONLY 21+ 🔞 --(Konten Dewasa) Menghabiskan banyak uang di perjudian mungkin menjadi cara Riska menikmati hidupnya selain karena sebuah janji yang ia buat. Ketika segalanya berada di titik serba tidak pasti dan situasi dimana ia didesak dana...