51. Malam Fathir&Jeje

6.2K 211 7
                                    

....

Sepulang dari kampung halaman menantunya, abi duduk diam di belakang mobil. Kedua matanya fokus keluar, ke jalanan yang berkelebat.

"Beneran nggak jadi mampir pabrik Pak?" tanya Adam memecah lamunannya.

"Iya. Langsung ke rumah ajah."

Dalam benaknya ia sedang menyatukan puzzle sederhana yang membingkai sebuah wajah seorang perempuan muda—perempuan yang baru saja menjadi menantunya.
"Zadokh." Gumamnya.

"Dam kamu tahu sejak kapan tuan besar sering nongkrong di kampung mangga?"

"Pastinya saya tidak tahu Pak. Soalnya saya selalu disuruh ninggal tuan besar, balik lagi kalo beliau yang menghubungi."

"Kira-kira sejak kapan tuan besar kenal Nonik?"

Adam tampak menelengkan kepalanya sesekali.

"Itu…saya juga kurang tahu."

Abi menghembuskan napas dengan kasar, ia meraih dompet besar di sebelahnya dan menarik sebuah kartu nama yang tersemat di antara deretan kartu sakti miliknya. Abi menyodorkan ke arah Adam.

"Kamu hubungin orang itu lagi. Jangan bilang orang rumah."

Perintah abi langsung dipahami Adam, ia raih kartu nama tersebut dan mengantonginya di saku kemeja.

Sebuah kasus lama sepertinya akan diangkat kembali, sebuah kasus yang sudah dihabiskan 3 generasi mulai dari kakek Adam tanpa menghasilkan petunjuk apa-apa.
Sampai sebuah kunjungan ke makam yang membuat air muka majikannya tampak mengerut.

"Tuan besar nggak pernah cerita apa-apa sama kamu soal Nonik?"

"Pernah, tapi sekedar obrolan mereka saja selama di warung kopi."

"Kalo Japa?"

"Eh…mas Fathir?" Adam terdengar ragu.

"Iya, udah lama mereka pacaran?"

Adam diam sesaat. Tak tahu pasti hubungan apa antara anak majikannya dengan salah satu karyawannya tersebut kecuali pada suatu malam.

"Dam!"

"I--iya Pak."

"Japa udah kenal lama sama Nonik? Duluan mana Tuan besar apa Japa?"

"I--itu." Adam kembali ragu.

"Bilang ajah apa yang kamu tahu." Desak abi tak sabar mendengar Adam yang terus tergagap.

"Sebenarnya…." Adam garuk-garuk kepala.

"Apa Dam?!" bentakan si majikan membuatnya terlonjak hingga mobil yang ia kemudikan berhenti mendadak.

"Dam ati-ati." kata abi lirih, lupa sejenak bahwa malaikat maut mengintai setiap saat.

"Maaf pak, mengenai yang tadi…sebenarnya saya cuma pernah sekali saja lihat mereka barengan di luar."

"Di mana?" tuntut abi kembali.

"Di hotel, waktu itu mbak Riska mabuk."

"Apa?!" teriak abi sembari mengusap wajahnya. "Anak itu! Gua nggak habis pikir, anak satu-satunya yang gua didik nggak punya moral."

"Sebenernya pas kejadian itu mas Fathir nyelametin mbak Riska dari Orion pak."

"Udah-udah. Biar Febri ajah yang ngurusin masalah ini."

Pembicaraan penuh emosi sepihak ini pun berhenti, mobil kembali melaju dengan lebih kalem, takut kalau peringatan dadakan itu kembali. Adam tampak berkeringat meski dalam keadaan AC yang menyala.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang