31. Dewo Anggawarsito

3.9K 218 1
                                    

Terbangun dengan selimut rumah sakit dan segelas teh panas yang masih mengepul di sebelahnya, Riska lantas mengedarkan pandang namun, tak menemukan siapa-siapa kecuali petugas kebersihan.
Ia melihat pesan yang tertulis di cupnya, 'Good morning, Riris' lalu menghirup aromanya-teh hijau. Tak salah lagi itu pasti Zaki. Riska tersenyum, telapaknya melingkari gelas, menggenggamnya erat.

Ia hanya perlu menghindari Dimas sampai beberapa hari, sampai ia mendapat sejumlah uang. Riska berencana untuk diam-diam kembali menemui Mahesa bersama Karina. Dan lagi-lagi jalan yang memuluskannya hanya uang. Tidak mengapa pikirnya, bila ia mencoba peruntungan dengan tawaran virtualnya kembali.

Meski sedikit ragu Riska mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu ke nomor seorang pria. Tiba-tiba jemarinya tertahan. Waktunya tidak banyak, ia tak mungkin terus-terusan menginap di ruang tunggu rumah sakit, lama-lama bisa diusir juga kalau ketahuan tidak jelas seperti malam ini.

Sejak beberapa hari di kantor, Riska memang tidak bisa fokus dengan pekerjaannya. Ia sudah mengirimkan beberapa pesan ke Fathir, tapi tak mendapat respon sama sekali, dibaca pun tidak.

"Mbak Riska, kemarin ada yang nyariin loh." cegah pak Dadang begitu Riska melewati meja resepsionis.

"Siapa pak?"

"Nggak jawab ditanyain, cuma nanyain Mbak ajah."

"Orangya kayak gimana?"

"Pake jaket Mbak, gondrong. Nggak jelas mukanya, di pakein masker soalnya."

Tak salah lagi pasti Dimas. Ia harus bergerak cepat, tak peduli entah apa yang akan diterima, cacian lagi atau yang lebih buruk. Riska kembali memantapkan langkah menuju ruangan yang kemarin sempat menggagalkannya.

"Makasih Pak Dadang."

"Sama-sama Mbak."

Baru setengah jalan menuju ruangan bosnya, Riska kembali dihadang. Kali ini Sitha yang menggeret ke mejanya.

"Pak Fathir nggak ada, dia tadi pergi. Lu ada apaan sih nyariin dia? Mau Resign?"

"Sembarangan lu, gue mau pinjem duit."

"Hahahhaha."
Tawa Sitha sontak membuat rekan-rekan kerjanya menoleh ke arahnya.

"Ups. Sori-sori." Sitha mengisyaratkan permintaan maaf.

"Apaan sih?" tanya Riska kemudian, sembari membetulkan letak nametagnya. Padahal dia sedang malas berbincang dengan orang saat ini, apalagi dengan Sitha-yang pasti tidak akan jelas juntrungnya.

"Lu kemarin gue telponin kok nggak bisa sih? Tau nggak pas keluar dari parkiran kemarin gue ditabrak."

"Uh?" Riska mendongak karena sedikit menarik baginya.

"Untung yang nabrak cakep, manis lagi kalo senyum ada lesung pipinya. Ughh."

"Nggak penting banget. Gue kira lu kenapa-napa."

"Tapi nggak segampang itu, kemarin dia gue suruh ngojekin sampe ke rumah. Eh, pas nyampe rumah malah dia nggak dibolehin balik sama nyokap."

"Terus?" timpal Riska malas-malasan. Tak ada yang lebih penting daripada uang pikirnya saat ini.

"Nyokap langsung suka pada pandangan pertama, dikira dia cowok gue. Cakep sih, cuma gue nggak suka sama kerjaannya."

"Hum?"
Riska memainkan pulpennya di meja. Benar-benar enggan pikirnya.

"Dia DJ, pasti seliweran di dunia malem gitu. Gue nggak suka. Herannya nyokap langsung suka padahal dia kan-"

"Gue balik dulu ke gudang, kerjaan gue numpuk." Riska bangkit dari duduknya.

Dunia RiskaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang