22 | CEMBURU MODE ON.

9K 709 16
                                    

^^^

Suasana ruangan coklat susu itu nampak mencekam, suhu AC yang dinyalakan seakan tidak berpengaruh untuk Arneta. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, jujur ia takut dan juga gugup menghadapi pak pol dihadapannya yang ia ketahui adalah salah satu petinggi polri. Bagaimana Arneta tahu? Tentu saja dari atribut di bahunya.

Domi berdiri anteng di samping kanannya sedangkan Rangga di sisi kirinya berdiri dengan sikap istirahat ditempat, tatapannya tajam terhunus kedepan.

"Untuk Anda. Saudara Dominic, apakah anda ingin mengadukan masalah ini. Kami akan menindak lanjuti jika anda ingin mengadukan perbuatan AKP Dwi Rangga!" Tanya Irjen pol Surmadin berwibawa.

Domi yang ditanya hanya tersenyum tipis sambil menggeleng. "Tidak perlu pak ini cuma salah paham biasa. Tak usah di perbesar." Sahutnya santai.

Irjen Sumardin nampak sedikit terkejut atas jawaban Domi namun hanya sebentar, karena setelahnya ia meminta maaf mewakili Rangga dan kepolisian atas perlakuan tidak mengenakan dari salah satu anggotanya yang seharusnya melindungi rakyat bukan main hakim sendiri.

"Kalo begitu kalian bisa keluar, dan melanjutkan urusan kalian." Arneta dan Domi mengangguk sebelum berlalu keluar ruangan meninggalkan Irjen Sumardin dan pak Rangga.

Sebelum berlalu Arneta menyempatkan diri untuk tersenyum kearah pak Rangga, entah ia melihatnya atau tidak yang pasti Arneta ngacir keluar dari kantor polisi.

"Huuff.. leganya."

Domi menoleh kearah Arneta yang berjalan di sampingnya. "Kenapa loh?"

Keduanya berhenti di beranda depan polres.

"Gue gemetaran anjing." Kesalnya.

"Takut sama bapak tadi?" Tebaknya. Arneta mengangguk sebagai jawaban.

"Oh kirain kenapa? Nih." Domi menyerahkan kunci mobilnya yang disambut Arneta dengan girang.

"Loh bawah mobil, gue duluan. Bye!" Tanpa ba-bi-bu Domi berlalu meninggalkan Arneta yang masih bengong.

"Lah, gue ditinggalin nih jadi ceritanya." Tanyanya dengan tampang bloon.

"Iya iyalah loh ditinggalin." Sahut sebuah suara yang berasal dari seseorang disampingnya.

Arneta menoleh kesamping kirinya. "Kayak ada yang ngomong?" Ucapnya polos.

Saat merasa bahu kanannya ditepuk sepontan kepalanya menoleh.

"Gue yang ngomong, kampret!" Sembur sang empunya suara ngegas.

"Pak Budi?"

"Iya gue. Napa loh mau ngajak gelut!?" Budi pura-pura menggulung lengan baju seragamnya layaknya orang yang bersiap tauran.

"Hahahaha.." Arneta tergelak mendengar nada ketus pria disampingnya.

"Napa loh! Ketawa kek gitu. Jangan bilang loh kesurupan?"

Arneta mencoba menghentikan tawanya yang masih tersisa. "Nggak kok lucu aja." Cengirnya.

"Aneh! Mana ada di ketusin lucu."

"Beneran. Coba pak Budi kayak tadi sambil ngaca di cermin,, pasti ngakak. Hahahaha.." gadis blasteran Tionghoa indo itu kembali tergelak saat otaknya kembali membayangkan ekspresi judes Budi yang menurutnya lucu.

"Anak cewek ketawanya kek nenek lampir. Nggak ada anggun-anggunnya." Budi meraup wajah Arneta menggunakan tangannya.

"Tyuhh.. tyuhh.. Ya Allah bang! Itu tangan bau bangke, huek. Habis cebok nggak cuci tangan ya loh! Jorok banget sih." Todongnya.

ARNETA UNTUK RANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang