37 | ANDIN.

1.3K 70 1
                                    

^^^

Suasana sejuk pedesaan di sore hari sangat asri. Jalan setapak berkerikil tersebut banyak di lalui warga.

Andin melangkah dengan wajah kesal dan gerutuan di setiap langkahnya. Mengabaikan beberapa sapaan warga desa yang berpapasan dengan nya.

Wajahnya masam tidak sedikitpun menunjukkan keramahan.

"Assuuuuu.."

"Kampret!!"

"Dasar ulat ketket. Haaaaaa."

Mulutnya misuh-misuh tidak jelas.

Kakinya berjalan seraya menendang kerikil di sepanjang jalan.

"Dominic kampret!! Gini-gini gue cantik anjir! Nggak malu-maluin juga di bawah kondangan. Kenapa sih loh nggak tertarik atau noleh sedikitpun malahan mili sih ulat ketket kek Ningsih! Kan asuuu gue jadi panas cuukk!!!"

Andin misuh-misuh dengan raut kesal.

Ia tidak habis pikir kenapalah orang seperti dirinya yang bisa di katagorikan cantik tidak bisa mendapatkan Dominic padahal sudah lama ia terang-terangan tertarik pada pria bulek itu tapi tidak juga di lirik.

Andin itu menarik tahu setidaknya itulah yang di katakan Dimas penggemar setianya.

Jari telunjuknya menepuk dagu, langkahnya terhenti sejenak. "Apa gue pake ajian nasi kangkang biar Dominic takluk."

"Nggak mau ah,, nanti matinya gue kagak masuk surga. Ngeri beh!" Menggeleng kepala membuang pikiran gilanya Andin frustasi sendiri oleh perasaan sialan di hatinya.

"Dominic asuuuuu!!" Jeritnya.

Mencak-mencak tidak jelas Andin menggerutu dengan tangan terkepal.

Langkah kaki wanita dengan paras manis itu terus berjalan tidak tahu tujuan. Dengan gerutuan dan makian di setiap langkahnya Andin menyusuri jalan setapak tanpa sadar tidak ada lagi orang yang berpapasan dengannya jalan in sepi, kakinya melangkah terlalu jauh hingga memasuki hutan di belakang desa.

Kekesalannya membawa petaka. Terlalu lama memaki dengan unek-unek yang ia keluarkan sesuka hati hingga Andin tidak sadar di mana ia sekarang. Jalan setapak yang tadi ia susuri kini berubah menjadi jalan terjal bersemak-semak seperti tidak pernah di lewati.

Kepalanya mendongak ke kiri dan kanan menetap awas sekitar dengan gusar. Rasa takut terpampang jelas di wajahnya.

"Mama Andin takut." Lirihnya.

Dengan sisa-sisa keberanian nya yang tinggal seperempat itu. Andin melangkah kembali sambil mencoba mengingat-ingat jalan awal dia bisa sampai di sini. Tapi sayang berulang kali ia mencoba mengingat, yang ada ia semakin lupa. Rasa kesal dan marah yang tadi menyelimuti hatinya kini tergantikan oleh rasa panik dan rasa takut.

Kakinya melangkah hingga persimpangan tiga. dengan mantap ia belok ke kanan.

Jauh kakinya melangkah tapi sialnya ia kembali ke tempat awal dia berbelok.

Wajahnya sudah pias menahan tangis.

"Mama." Lirihnya.

"Oke kita coba lagi belok kiri." Tidak putus asa Andin mencoba mencari jalan keluar dari arah berlawanan.

Berjalan tak tentu arah Andin terus melangkah mengikuti arah matahari yang mulai beranjak dari tempatnya. Kakinya terus melangkah hingga rasanya betisnya mau pecah sangking pegalnya. Matahari sudah mulai melengser meninggalkan senja yang menambah kepanikannya. Tanpa sadar air mata mulai mengalir deras membasahi kedua pipinya.

Kakinya berhenti. Berjongkok sambil memeluk diri sendiri Andin terisak pilu.

"Hiks.. hiks.. hiks.. mama Andin takut, hiks.." Isak tangis gadis itu menggenggam di penjuru hutan.

ARNETA UNTUK RANGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang