"Kesempatan setiap orang dalam setiap hal itu berbeda-beda. Dan jangan lupakan bahwa Allah Maha Adil!"
--• Because I'm Santri •--
***
Tak jauh dari bangunan Masjid dengan cat putih yang mendominasi, aku dan Alvin duduk sejajar dengan sebuah peci hitam sebagai penyelanya. Duduknya aku disini tentu saja bukan hanya untuk berdiam diri apalagi bertapa, tapi untuk membahas sesuatu. Setelah acara mujahadah bersama, aku mengajak Alvin untuk duduk sebentar di kursi bambu di bawah pohon ini. Aku ingin tahu kemana Alvin pergi selama lima hari dan apa yang dia lakukan selama itu.
"Lo ngapain si, Mas, ngajak gue duduk di sini? Gue itu ngantuk, mau tidur."
"Sebentar aja, Al."
"Kurang kerjaan banget si Azmi, duduk disini malam-malam, kaya burung hantu," umpatnya.
"Aku mau ngomong."
"Iya gue tau lo mau ngomong, masa iya kita disini cuma diam. Cepetan ngomong, Mas!"
Aku menegakkan posisi duduk, meletakkan kedua tangan di depan dada. "Kemana aja kamu selama lima hari?"
"Kepo banget si–"
"Kamu kemana aja selama lima hari?!" Aku memotong perkataan Alvin dan mengulangi pertanyaanku dengan tegas dan sedikit menaikkan nada suara.
Alvin memutar bola matanya dengan malas, "Keluar pesantren nyari suasana baru," jawabnya.
"Untuk apa?"
"Ya untuk menghilangkan stress lah. Gue disini itu kaya di penjara, semuanya diatur, ngga boleh keluar pesantren, pegang handphone cuma Malam Jum'at sama Hari Jum'at. Pelajarannya susah banget lagi, telat sedikit kena hukuman, ngga ada enaknya," keluhnya.
"Itu karena kamu ngga menikmati apa yang kamu lakukan. Kamu hanya menuruti nafsumu, Al. Coba kamu belajar sabar dan ikhlas, bersyukur yang banyak. Banyak banget anak-anak di luar sana yang ingin menuntut ilmu seperti kita, tapi ngga bisa mereka lakukan karena ada kendala. Apa yang kamu lakukan diluar sana? Sama seperti di rumah? Apa kamu ngga mikirin abah sama ummi di rumah? Mereka kerja keras membiayai kita di sini. Mereka berharap kita menjadi lebih baik disini, bu–"
"Lo kalo mau tau apa yang gue lakuin, tanya sama abah! Gue udah ngomong berdua sama abah kemarin, kan? Dan abah udah ceramahin gue, jadi lo ngga usah nambah ceramah!"
Aku menghadap Alvin dengan tatapan tegas, "Aku berbicara seperti ini bukan karena benci, tapi karena peduli, Alvin! Kamu adikku, aku juga bertanggungjawab atas kamu. Aku ngga mau kamu salah pergaulan, ak–"
"Gue heran. Lo kalo di depan abah sama ummi kalem banget, banyak senyum. Tapi kalo lagi marah ke gue yang lo bilang adik, lo kaya singa, galak banget."
"Aku ngga lagi bercanda, Al! Aku serius. Masa iya aku ngomel di depan abah sama ummi? Ngga, kan?"
Susana disini mulai menegangkan. Yang aku takutkan adalah jika tiba-tiba ada ustadz atau santri lain melihat aku dan Alvin sedang adu mulut. Pastinya memalukan dan akan dihadiahi hukuman.
"Gue tau lo abang gue, lo disuruh abah sama ummi buat mengubah sikap gue yang orang-orang bilang BURUK! Kalo gue memang punya karakter seperti ini, bukannya karakter setiap orang berbeda? Lo paham ngga si?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Santri [End]
Teen FictionApa yang membuatku rapuh hari ini adalah pelajaran tentang bagaimana bisa menjadi pribadi yang kuat di hari esok. *** Muhammad Hisyam Ulul Azmi. Sebuah nama dengan berjuta harapan. Aku sama sekali bukan manusia sempurna, bukan pula manusia yang sela...