Chapter 2 - Pulang

248 40 42
                                    

"Jangan biarkan kesulitan membuatmu gelisah. Karena bagaimanapun juga hanya di malam yang paling gelap bintang-bintang tampak bersinar lebih terang."

--• Ali bin Abi Thalib •--

***

Pagi telah tiba. Aku sibuk mengemasi barang-barangku yang akan dibawa pulang hari ini. Abah dan ummiku akan menjemput pukul sepuluh nanti. Dari rumahku di Malang sampai ke tempat ini membutuhkan waktu perjalanan kurang lebih 2,5 jam dengan kecepatan normal. Hari ini banyak santri yang akan pulang ke kampung halamannya, karena hari raya idul fitri terhitung sepuluh hari lagi, para santri diperbolehkan berhari raya di rumah masing masing bersama keluarga dan kerabat. Tapi ada juga yang tetap berada disini, tentunya dengan alasan.

"Kalian serius pada ngga pulang hari ini?" tanyaku. Entah mereka pulang atau tidak, mereka malah terlihat bersantai-santai.

"Ane besok kayaknya, Mi," jawab Jazil.

"Yg lain juga besok? Aku pulang sendiri nih? Kalau mau pulang bareng aku juga boleh. Muat, kok. Aku antar sampai rumah, loh. Itu kalau kalian mau, aku ngga maksa."

"Mungkin kamu pulang duluan sendiri, Mi. Kita belum pulang hari ini. Makasih tawarannya."

"Ya udah lah. Aku minta maaf kalo selama ini aku banyak salah dan menyusahkan kalian semua. Ya emang banyak salah si, bukan pakai kalau lagi," ucapku sambil tetap membereskan barang.

"Ya elah, ente kaya sama siapa, ngga usah minta maaf. Udah dimaafin," Azhar mewakili.

"Ya kan nanti lebarannya di rumah sendiri-sendiri. Makanya minta maafnya sekarang."

"Iya deh terserah ente, Mi."

"Eh, Mi! Ente selama di pondok, sering banget ngga masuk pelajaran. Kok ente bisa jawab pertanyaan ustadz Yasin kemarin?" tanya Jazil. Rupanya masih ingat kejadian kemarin siang itu. Sebenarnya bukan hanya kemarin siang, tapi banyak kali sebelumnya.

"Kan aku udah tanya sama kalian tentang itu, aku masih ingat sedikit-sedikit lah. Tapi kadang aku merasa mulutku gerak sendiri, Ja," jawabku tanpa keseriusan sama sekali.

"Masa iya si mulut gerak sendiri?" Jawabanku berhasil membuat Jazil membulatkan matanya. "Ente paham? Tanpa belajar? Bagaimana caranya?"

"Ya aku juga ngga tau. Aku udah paham aja, Alhamdulillah. Cuma kalo ditanya kadang jadi deg-degan ngga karuan."

"Ane ngga paham sama pikiran ente, Mi. Belajar sering ngga ikut plus terlambat, tapi paham."

"Udah cukup! Ngga usah bahas itu! Aku sebenarnya pengin banget coba sebulan ngajinya full. Tapi kan aku selalu aja diberi tugas lebih dari Abah Hasyim atau guru lain. Ngga mungkin aku menolak permintaan mereka kan?"

"Iya juga si, Mi."

"Emang iya."

"Tapi kamu beruntung loh, Mi. Kamu diberi tugas lebih, pasti kamu diberi do'a lebih banyak juga sama para ustadz dan kiyai. Fiks! Kmu emang beruntung banget jadi orang, Mi."

"Aamiin, semoga aja begitu."

"Kamu dijemput jam berapa, Mi?" tanya Syafiq.

Because I'm Santri [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang